TUGAS PKPA APOTEK SWAMEDIKASI SAKIT GIGI
TUGAS PRAKTIK KERJA PROFESI
APOTEKER
SWAMEDIKASI SAKIT GIGI
Oleh :
HADI KURNIAWAN,
S.Farm.
NIM. 12811090
PRAKTIK KERJA PROFESI
APOTEKER (PKPA)
APOTEK BABARSARI
PERIODE 1 OKTOBER-30
NOVEMBER 2012
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
keadaan sehat biasanya kita merasa bahwa sehat itu adalah sesuatu yang wajar. Namun
ketika dalam keadaan sakit betapa kita sangat mendambakan kesehatan yang selama
ini di sia-siakan, berbagai upaya dilakukan berapapun biaya rela kita keluarkan
untuk memperoleh kesembuhan sehingga mendorong kita untuk melakukan pengobatan
sendiri. Untuk meningkatkan kemampuan kita dalam menolong dirinya sendiri dalam
mengatasi masalah kesehatan maka perlu ditunjang sarana yang dapat meningkatkan
pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional. Dan sebagai penyumbang
omzet terbesar di apotek selain resep adalah dengan pelayanan swamedikasi.
Dewasa ini masyarakat telah menyadari pentingnya
menjaga kesehatan diri dan keluarga. Masyarakat membutuhkan penyuluhan maupun
informasi yang jelas dan tepat mengenai penggunaan obat-obatan agar aman dan
manjur. Obat-obat ini dapat didapatkan di apotek guna melakukan pengobatan
mandiri atau swamedikasi.
Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri
sendiri dengan obat-obatan yang dapat dibeli bebas di apotek atau toko obat
dengan inisiatif atau kesadaran diri sendiri tanpa nasihat dokter. Beberapa
keuntungan swamedikasi adalah memberikan tuntunan dan informasi yang jelas dan
tepat penggunaan obat, dimana obat ini biasanya tersedia di rumah tangga,
selanjutnya bagi masyarakat di daerah terpencil swamedikasi akan menghemat
banyak waktu yang diperlukan untuk ke kota mengunjungi seorang dokter (Tan
& Rahardja, 1993).
Sakit gigi bagi kebanyakan orang
terasa menyakitkan. Rasa sakitnya yang bervariasi mulai dari tajam, berdenyut,
hingga konstan. Dari rasa sakit yang ditimbulkannya, tentu saja akan mengganngu
aktivitas keseharian kita mulai dari tidak bisa tidur hingga hilang selera makan.
Selain itu, jika dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, kerusakan gigi akan
bertambah parah sehingga harus dicabut. Seringkali setelah mengkonsumsi obat sakit yang di derita tidak segera
sembuh, ternyata banyak faktor yang mempengaruhi efektifitas obat dan
keberhasilan terapi diantaranya: dosis obat, waktu minum obat, aturan minum
obat, interaksi obat, kantraindikasi, dan cara pemakaian obat yang memerlukan
teknik-teknik khusus. Kini sakit gigi dapat diobati dengan berbagai macam obat
sakit gigi yang tersedia di apotek. Untuk itu perlu kiranya untuk membahas apa
saja jenis obat sakit gigi yang manjur dan aman. Untuk mendapatkan informasi
mengenai terapi atau pengobatan sakit gigi, memilih obat yang tepat serta cara
penggunaannya maka masyarakat dapat mengobati diri sendiri atau disebut juga
dengan pengobatan mandiri (swamedikasi) yang dipandu oleh apoteker. Apoteker
berperan dalam membantu masyarakat yang ingin melakukan pengobatan sendiri. Oleh
karena itu, makalah ini membahas tentang swamedikasi pada sakit gigi.
B.
Tujuan
1.
Mengetahui sakit
gigi dan terapinya.
2.
Mampu
memahami keluhan pasien, membantu memilihkan obat, memberikan informasi/advice yang di perlukan pasien dalam swamedikasi sakit gigi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pelayanan Obat Non Resep (Swamedikasi)
1. Definisi
Pelayanan
obat non resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan
pengobatan sendiri atau swamedikasi. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat
yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat
bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Obat wajib apotek terdiri dari kelas
terapi oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut serta tenggorokan, obat
saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit dan
obat kulit topikal.
Pelayanan
obat non resep merupakan pelayanan yang penting di apotek sehubungan dengan
perkembangan pelayanan farmasi komunitas yang berorientasi pada asuhan
kefarmasian. Pasien mengemukakan keluhan atau gejala penyakit, apoteker
hendaknya mampu menginterpretasikan penyakitnya kemudian memilihkan alternatif
obat atau merujuk ke pelayanan kesehatan lain.
Untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri dan untuk
mengatasi masalah kesehatan perlu ditunjang dengan sarana yang dapat
meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional. Sarana
penunjang berupa obat yang dibutuhkan untuk pengobatan sendiri dan peningkatan
peran apoteker di apotek dalam pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi.
Apoteker dalam melayani OWA diwajibkan memenuhi ketentuan dan batasan tiap
jenis obat per pasien yang tercantum dalam daftar OWA 1 dan OWA 2 serta wajib
pula membuat catatan pasien serta obat yang diserahkan. Apoteker hendaknya
memberikan informasi penting tentang dosis, cara pakai, kontra indikasi, efek
samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi adalah
pemilihan dan penggunaan obat baik obat modern maupun obat tradisional oleh
seseorang untuk melindungi diri dari penyakit dan gejalanya (WHO,1998). Sedangkan menurut The International Pharmaceutical
Federation (FIP)
yang dimaksud dari swamedikasi atau self medication adalah penggunaan obat non
resep oleh seseorang atas inisiatif sendiri (FIP,1999).
Pengobatan
sendiri atau swamedikasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah
kesehatan dengan menggunakan obat-obatan yang dapat dikonsumsi tanpa pengawasan
dari dokter. Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan sendiri atau
swamedikasi biasa disebut dengan Obat Tanpa Resep (OTR) / Obat Bebas / obat OTC (Over The Counter). Biasanya obat-obat bebas tersebut dapat diperoleh di toko
obat, apotik, supermarket hingga di warung-warung dekat rumah. Sedangkan
obat-obat yang dapat diperoleh dengan resep dokter biasa disebut dengan obat
resep.
Menurut
situs.wsmi (world self-medication
industry), pengobatan sendiri atau swamedikasi yang bertanggung jawab (responsible self-medication) biasa
digunakan untuk menegaskan penggunaan obat bebas yang tepat oleh pasien atau
konsumen, dengan bantuan tenaga kesehatan bila diperlukan. Sebaliknya, untuk
peresepan sendiri (self-prescription),
mengacu pada penggunaan yang tidak tepat dari obat resep oleh pasien atau
konsumen karena tanpa pengawasan dari dokter. Sayangnya hingga saat ini
peresepan sendiri masih banyak terjadi di banyak negara, terutama di negara
berkembang termasuk Indonesia.
Swamedikasi
berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obat yang dibeli
bebas di apotek atau toko obat atas kemauan sendiri tanpa nasehat dokter. Keuntungan swamedikasi adalah
tersedia obat yang dapat digunakan di rumah kita dan akan menghemat waktu yang
diperlukan untuk pergi ke dokter yang jauh dari tempat tinggal. Kerugiannya
bila keluhan yang dialami dinilai salah dan bila penggunaan obat kurang tepat,
terlalu lama, atau dalam dosis yang terlalu besar.
2. Alasan Melakukan Swamedikasi
Selain
pengobatan sendiri atau swamedikasi, saat ini juga berkembang perawatan sendiri
(self care). Perawatan sendiri ini
lebih bersifat pencegahan terjadinya penyakit atau menjaga supaya penyakitnya
tidak bertambah parah dengan perubahan pola hidup, menjaga pola makan, menjaga
kebersihan dan lain-lain.
Menurut
WHO, peningkatan kesadaran untuk perawatan sendiri ataupun pengobatan sendiri
(swamedikasi) diakibatkan oleh beberapa faktor berikut ini :
a.
Faktor sosial ekonomi
Dengan meningkatnya pemberdayaan
masyarakat, berakibat pada semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin mudah akses untuk
mendapatkan informasi. Dikombinasikan dengan tingkat ketertarikan individu
terhadap masalah kesehatan, sehingga terjadi peningkatan untuk dapat
berpartisipasi langsung terhadap pengambilan keputusan dalam masalah kesehatan.
b.
Gaya hidup
Kesadaran mengenai adanya dampak
beberapa gaya hidup yang dapat berakibat pada kesehatan, membuat semakin banyak
orang yang lebih perduli untuk menjaga kesehatannya daripada harus mengobati
bila terjadi penyakitnya kelak.
c.
Kemudahan memperoleh produk obat
Saat ini pasien dan konsumen lebih memilih kenyamanan
membeli obat yang bisa diperoleh dimana saja, dibandingkan harus menunggu lama
di rumah sakit atau klinik.
d.
Faktor kesehatan lingkungan
Dengan adanya praktek sanitasi yang
baik, pemilihan nutrisi yang tepat serta lingkungan perumahan yang sehat,
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan serta
mencegah terkena penyakit.
e.
Ketersediaan produk baru
Saat ini, semakin banyak tersedia
produk obat baru yang lebih sesuai untuk pengobatan sendiri. Selain itu, ada
juga beberapa produk obat yang telah dikenal sejak lama serta mempunyai indeks
keamanan yang baik, juga telah dimasukkan ke dalam kategori obat bebas, membuat
pilihan produk obat untuk pengobatan sendiri semakin banyak tersedia.
3.
Peran Farmasis/Apoteker dalam Swamedikasi
Pengobatan sendiri atau swamedikasi
semakin banyak dilakukan masyarakat, sehingga informasi mengenai obat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan mereka juga
semakin diperlukan. Berdasarkan hal itulah maka apoteker mempunyai peranan penting untuk
memberikan informasi yang tepat tentang obat kepada pasien atau konsumen.
Pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari drug oriented menjadi klien oriented/patient oriented yang berdasarkan pada konsep “ Pharmaceutical Care” . Yang dimaksud dengan Pharmaceutical care adalah tanggung jawab
farmakoterapi dari seorang farmasis untuk mencapai dampak tertentu dalam meningkatkan
kualitas hidup klien (ISFI, 2004). Peran farmasis diharapkan tidak hanya menjual obat tetapi
lebih kepada menjamin tersedianya obat yang berkualitas, mempunyai efikasi,
jumlah yang cukup, aman, nyaman bagi pemakaiannya dan harga yang wajar serta pada
saat pemberiannya disertai informasi yang cukup memadai, diikuti pemantauan
pada saat penggunaan obat dan akhirnya di evaluasi. Pekerjaan kefarmasian
dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan,
dan perlindungan serta keselamatan klien atau masyarakat yang berkaitan dengan
sediaan farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan
kemanfaatan. Menurut World Health organization (WHO), peran farmasis atau
apoteker
dalam
pengobatan sendiri (swamedikasi) yaitu (WHO,1998) :
a. Peran apoteker sebagai komunikator (Communicator)
1) Apoteker harus menginisiasi dialog
dengan pasien atau dokter pasien tersebut bila diperlukan, untuk memperoleh
riwayat pengobatan pasien sebelumnya.
2) Untuk dapat memberikan saran
mengenai obat bebas yang sesuai, maka apoteker harus bertanya pertanyaan yang
sesuai kepada pasien dan juga mampu memberikan informasi penting yang dibutuhkan
(seperti cara konsumsi obat atau indeks keamanan obat).
3) Apoteker juga harus mempersiapkan
diri dan dilengkapi dengan peralatan yang
memadai untuk melakukan skrining terhadap kondisi atau penyakit tertentu, tanpa
melampaui kewenangan seorang dokter.
4) Apoteker juga harus menyediakan
informasi yang objektif tentang obat.
5) Apoteker juga harus dapat
menggunakan dan
mengartikan sumber informasi lain, untuk dapat memenuhi kebutuhan pasien atau
konsumen.
6) Apoteker harus dapat membantu pasien
melakukan pengobatan sendiri atau swamedikasi yang tepat dan bertanggung jawab, atau memberikan
saran ke pasien untuk konsultasi lebih lanjut ke dokter bila diperlukan.
7) Apoteker harus dapat menjamin
kerahasiaan informasi tentang keadaan kesehatan pasien.
b.
Peran apoteker sebagai penyedia obat yang
berkualitas (quality drug supplier)
1)
Apoteker harus dapat menjamin, bahwa obat-obatan yang
disediakannya berasal dari sumber resmi yang dapat dipercaya serta mempunyai
kualitas yang baik.
2)
Apoteker juga harus menyediakan penyimpanan yang tepat untuk
obat-obatan yang ada.
c. Peran apoteker sebagai seorang
pengajar dan pengawas (trainer and supervisor)
Untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik, maka apoteker
juga disarankan untuk membekali diri dengan ilmu-ilmu terbaru dan berpartisipasi dalam kegiatan
peningkatan kemampuan diri (profesionalisme) yang berkelanjutan, seperti misalnya
melanjutkan pendidikannya lagi. Selain itu, apoteker biasanya juga didampingi
oleh staf non-apoteker lain, yang perlu untuk diawasi dan diberikan pelatihan yang sesuai. Farmasis harus menjamin bahwa pelayanan yang dilakukan oleh staf-staf yang bukan farmasis
memiliki kualitas yang sama. Oleh karena itu, apoteker juga sebaiknya membuat :
(a)
Pedoman penyerahan ke apoteker (protokol sebagai referensi bagi
farmasis).
(b)
Pedoman untuk tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam
hal penanganan obat (protokol bagi pekerja kesehatan masyarakat yang terlibat dengan
penyimpanan dan distribusi obat).
d.
Peran apoteker sebagai rekan setara (collaborator)
Untuk
dapat memberikan informasi yang tepat, maka sangat penting bagi apoteker untuk
dapat memiliki kerja sama
dan
membangun hubungan professional yang baik dengan berbagai kalangan, seperti :
1) Tenaga kesehatan (professional)
lainnya.
2) Perkumpulan seprofesi (asosiasi
profesi nasional).
3) Industri farmasi.
4) Pemerintahan (baik lokal maupun
nasional).
5) Pasien/klien & masyarakat umum.
Pada akhirnya hubungan yang
baik ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam swamedikasi.
e.
Sebagai promotor kesehatan (Health promotor)
Sebagai
seorang anggota atau bagian dari tenaga kesehatan, maka apoteker juga
harus dapat :
1)
Berpartisipasi dalam skrining masalah kesehatan untuk dapat
mengidentifikasi adanya masalah kesehatan dan resikonya bagi masyarakat.
2)
Berpartisipasi dalam hal promosi masalah kesehatan dan
pencegahan penyakit serta memberikan saran secara individual untuk membantu
dalam menentukan pilihan informasi tentang kesehatan, sehingga dapat meningkatkan
kesadaran mengenai masalah kesehatan ataupun pencegahan penyakit.
3)
Menyediakan saran kepada individu untuk membantu mereka
membuat pilihan yang tepat.
4.
Tanggung Jawab dalam Swamedikasi
Tanggung jawab dalam swamedikasi menurut World Health Organization (WHO) terdiri dari dua yaitu
(WHO,1998) :
a. Pengobatan yang digunakan harus
terjamin keamanan, kualitas dan keefektifannya.
b. Pengobatan yang digunakan
diindikasikan untuk kondisi yang dapat dikenali sendiri dan untuk beberapa
macam kondisi kronis dan tahap penyembuhan (setelah diagnosis medis awal). Pada seluruh kasus, obat harus
didesain spesifik untuk tujuan pengobatan tertentu dan memerlukan bentuk
sediaan dan dosis yang benar.
c. Masalah-masalah yang umum dihadapi pada
swamedikasi antara lain sakit kepala, batuk, sakit mata, konstipasi, diare,
sakit perut, sakit gigi, penyakit pada kulit seperti panu, sakit pada kaki dan
lain sebagainya (Edwards & Stillman, 2000).
FIP juga merumuskan empat
tanggung jawab farmasis dalam swamedikasi yang dituangkan dalam kesempatan
bersama asosiasi industri obat (WSMI). Empat tanggungjawab tersebut
yaitu (FIP,1999) :
a. Tanggungjawab profesional
farmasis untuk memberi informasi dan saran yang objektif tentang swmedikasi dan
obat-obatan yang tersedia untuk
swmedikasi.
b. Tanggungjawab profesional
farmasis untuk melapor kepada pemerintah dan industri farmasi apabila ditemukan
adanya efek samping yang muncul pada individu yang melakukan swamedikasi dengan
menggunakan obat produk dari industri farmasi tersebut.
c. Tanggungjawab profesional
farmasis untuk merekomendasikan rujukan kepada dokter apabila swamedikasi yang
dilakukan tidak tepat.
d. Tanggungjawab profesional
farmasis untuk memberi penjelasan kepada masyarakat bahwa obat adalah produk
khusus dan harus disimpan serta diberi perhatian khusus. Farmasis juga tidak
diperbolehkan melakukan hal yang dapat memicu masyarakat membeli obat dalam
jumlah banyak sekaligus.
5.
Hal yang
Harus Diperhatikan Pasien Saat Melakukan Swamedikasi
Ketika pasien atau konsumen memilih untuk melakukan
pengobatan sendiri atau swamedikasi, ada beberapa hal yang perlu untuk
diperhatikan supaya pengobatan sendiri tersebut dilakukan dengan tepat dan bertanggung jawab, seperti dari
situs chpa (consumer healthcare products
association) berikut ini :
a.
Pada pengobatan sendiri, individu atau pasien memegang
tanggung jawab utama terhadap obat yang digunakan. Oleh karena itu, sebaiknya baca label obat dengan
seksama dan teliti. Kemudian perhatian khusus
perlu diberikan bagi penggunaan obat untuk kelompok tertentu, seperti pada
anak-anak., lanjut usia ataupun wanita hamil dan menyusui.
b.
Jika individu atau pasien memilih untuk melakukan pengobatan
sendiri, maka ia harus dapat :
1) Mengenali gejala yang dirasakan.
2) Menentukan apakah kondisi mereka
sesuai untuk pengobatan sendiri atau tidak.
3) Memilih produk obat yang sesuai
dengan kondisinya.
4) Mengikuti instruksi yang tertera pada
label obat yang dikonsumsi.
c.
Pasien juga harus mempunyai informasi yang tepat mengenai
obat yang
dikonsumsi, dengan cara membaca label obat dengan teliti. Berkonsultasi ke dokter bila perlu, hal ini
terutama bila dirasakan bahwa pengobatan sendiri atau swamedikasi yang
dilakukan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
d.
Setiap orang yang melakukan pengobatan sendiri atau
swamedikasi juga harus menyadari kelebihan ataupun kekurangan dari pengobatan
sendiri yang dilakukan. Dengan mengetahui manfaat dan resikonya, maka pasien atau
konsumen tersebut juga dapat melakukan penilaian apakah pengobatan sendiri atau
swamedikasi tersebut perlu dilakukan atau tidak.
6.
Penggunaan Obat yang Rasional dalam Swamedikasi
Swamedikasi
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pemerintah dalam pemeliharaan
kesehatan secara rasional. Namun bila tidak dilakukan secara benar justru
menimbulkan bencana yaitu tidak sembuhnya penyakit atau munculnya penyakit baru
karena obat dengan segala konsekuensinya. Untuk melakukan swamedikasi secara
aman, efektif dan terjangkau, masyarakat perlu melakukan bekal pengetahuan dan
ketrampilan. Masyarakat mutlak memerlukan informasi yang jelas dan terpecaya
agar penentuan kebutuhan jenis atau jumlah obat dapat diambil berdasarkan
alasan yang rasional (Suryawati,1997).
Untuk
mengetahui kebenaran swamedikasi (menggunakan obat secara rasional) dapat digunakan indikator sebagi berikut
(Depkes RI, 1996) :
a.
Tepat obat
Pelaku swamedikasi dalam
melakukan pemilihan obat hendaknya sesuai dengan keluhan yang dirasakannya dan
mengetahui kegunaan obat yang diminum.
b.
Tepat golongan
Pelaku swamedikasi hendaknya menggunakan obat yang termasuk
golongan obat bebas dan bebas terbatas.
c. Tepat dosis
Pelaku swamedikasi dapat
menggunakan obat secara benar meliputi cara pemakaian, aturan pakai dan jumlah
obat yang digunakan.
d. Tepat waktu
Lama pengobatan terbatas,
pelaku swamedikasi mengetahui kapan harus menggunakan obat dan batas waktu
menghentikannya untuk segera meminta pertolongan tenaga medis jika keluhannya
tidak berkurang.
e.
Waspada efek samping
Pelaku swamedikasi mengetahui efek samping yang timbul pada
penggunaan obat sehingga dapat mengambil tindakan pencegahan serta
mewaspadainya.
7.
Hal
yang Harus Dikuasai oleh Seorang Farmasi
Terdapat beberapa hal yang harus di kuasai oleh seorang farmasis
pada pelayanan swamedikasi, yaitu (Blenkinsopp & Paxton,2002) :
a. Membedakan antara gejala minor dan gejala yang lebih serius.
“Triaging” adalah istilah yang diberikan untuk membedakan tingkat
keseriusan gejala penyakit yang timbul dan tindakan yang harus di ambil.
Farmasis telah memiliki prosedur untuk mengumpulkan informasi dari klien,
sehingga dapat memberikan saran untuk melakukan pengobatan atau menyarankan
rujukan ke dokter.
b.
Kemampuan mendengarkan (Listening skills)
Farmasis membutuhkan informasi
dari klien untuk membatu membuat keputusan dan merekomendasikan suatu terapi.
Proses ini dimulai dengan suatu pertanyaan pembuka dan penjelasan kepada klien
kemungkinan diajukannya pertanyaan yang bersifat lebih pribadi. Hal ini
diperlukan agar farmasis dapat mengenali gejala lebih jauh, sehingga dapat merekomendasikan
terapi yg benar.
c.
Kemampuan bertanya (Questioning skills)
Farmasis harus memiliki kemampuan untuk mengajukan pertanyaan
dalam usaha untuk mengumpulkan informasi tentang gejala klien. Farmasi harus
mengembangkan suatu metode untuk mengumpulkan informasi yang terdiri dari
pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus diajukan. Ada dua metode umum yang
digunakan.
1) Metode pertama disingkat sebagai WHAM
W : Who is the patient and what are the
symptoms (siapakah
klien dan apa gejalanya)
H : How long have the symptoms (berapa lama timbulnya gejala)
A : Action taken (Tindakan yang sudah dilakukan)
M : Medication being taken (obat yang sudah digunakan)
2) Metode kedua dikembangkan oleh Derek
Balon, seorang farmasis di london yaitu ASMETHOD
A : Age / appearance (Usia klien)
S : Self or someone else (dirinya sendiri atau orang
lain yang sakit)
M : Medication (regularly taken on
preskription or OTC) (Pengobatan yang sudah digunakan baik dengan resep maupun
dengan non resep)
E : Extra medicine (Usaha lain untuk mengatasi
gejala sakit)
T : Time persisting (lama gejala)
H : History (iwayat klien)
O : Other symptoms (gejala lain)
D : Danger symptom (Gejala yang berbahaya).
d. Pemilihan terapi berdasarkan bukti keefektifan
Farmasis memiliki dasar
pengetahuan farmakologi, terapeutik dan farmasetika yang dapat digunakan untuk
memberikan terapi yang rasional, didasarkan pada kebutuhan klien. Selain
melihat kefektifan bahan aktif suatu obat, farmasis juga harus memperhatikan
interaksi potensial, kontraindikasi, peringatan, dan profil efek samping dari
bahan-bahan tambahan yang terkandung.
Farmasis dapat menyarankan
rujukan kepada dokter jika gejala timbul dalam waktu yang lama, masalah
berulang dan semakin parah, timbul nyeri yang hebat, penggobatan gagal, timbul
efek samping, dan gejala yang berbahaya.
8. Informasi Obat dalam Swamedikasi
Salah satu faktor penentu yang
berperan dalam tindakan pengobatan sendiri atau self medication yaitu tersedianya sumber
informasi tentang obat dan pengobatan. Ketersedianya sumber informasi tentang
obat dapat menentukan keputusan dalam pemilihan obat (Sukasedati, 1999).
Informasi obat disini merupakan tanggungjawab farmasis dan merupakan bagian
dari konsep pharmaceutical
Care.
Seorang farmasis harus memberikan
informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis,
bijaksana dan terkini. Informasi yang dapat diberikan oleh seorang farmasis
dalam pelayanan swamedikasi yaitu (Jepson, 1990; Rudd C.C, 1983;
WHO, 1998; MENKES RI,2004 ; ISO, 2012) :
a.
Nama obat dan kekuatannya, farmasis harus menjelaskan
kesamaan penggunaan obat paten dan obat generik, apabila suatu saat terjadi
penggantian obat.
b. Indikasi dan aturan pakai
(dosis, rute (oral, topical), frekuensi penggunaan, waktu minum obat (sebelum/sesudah
makan, tidak bersama obat lain). Hal ini merupakan faktor penting yang harus di ketahui klien saat
menerima obat. Sehingga klien benar-benar mengerti tentang waktu penggunaan obat dan instruksi khusus
yang harus di perhatikan oleh klien, misalnya “kocok dahulu” atau “harus
diminum saat lambung kosong”.
c. Cara menggunakan:
1)
Sediaan berbentuk sirup/suspense harus dikocok
terlebih dahulu.
2)
Antasida harus dikunyah terlebih dahulu.
3)
Tablet sublingual diletakkan dibawah lidah, bukan
ditelan langsung, tablet bukal diletakkan diantara gusi dan pipi, bukan ditelan
langsung.
4)
Teknik khusus dalam menggunakan inhaler, obat tetes
mata/telinga/hidung dan suppositoria.
5)
Sediaan dengan formulasi khusus seperti tablet lepas
lambat (sustained-released (SR)/controlled release (CR) atau sediaan
tablet yang harus hancur di usus (Enteric-coated)
harus ditelan utuh dan tidak boleh digerus.
d. Berapa lama obat harus digunakan.
e. Apa yang harus dilakukan jika terlupa minum atau
menggunakan obat.
f. Mekanisme kerja obat, farmasis harus menjelaskan
kerja obat sesuai dengan gejala yang diderita klien. Sebab beberapa obat
memiliki mekanisme kerja yang berbeda, sesuai dengan indikasi terapinya.
g. Efek pada gaya hidup, beberapa terapi dapat menimbulkan perubahan pada gaya hidup klien
misalnya mengurangi mengkonsumsi alkohol, merokok, mengurangi olah raga
berlebihan.
h. Cara penyimpanan obat, informasi tentang cara
penyimpanan obat sangat penting terutama untuk obat-obat yang memiliki aturan
penyimpanan tertentu, misalnya harus di simpan di lemari es, harus disimpan
terlindung dari cahaya atau di jauhkan dari jangkauan anak-anak.
i.
Kemungkinan
terjadinya efek samping yang akan dialami dan bagaimana cara mencegah atau
meminimalkannya/Efek samping potensial, klien harus diinformasikan
tentang efek samping yang mungkin timbul dalam penggunaan obat. Efek samping
tersebut dapat berupa efek samping ringan yang dapat di prediksi, contoh
perubahan warna urin, sedasi, bibir kering dan efek samping yang perlu
perhatian medis, misalnya reaksi alergi, nausea, vomiting dan impotensi.
j.
Interaksi antar obat dan makan, farmasis harus memberikan
informasi tentang kemungkinan adanya interaksi antar obat yang digunakan
ataupun dengan makan yang di konsumsi oleh klien, sehingga klien dapat
mengetahui aturan pakai yang benar dari masing-masing obat, contohnya pemberian antikoagolan berinteraksi dengan
pemberian aspirin.
k. Informasi tambahan lainya, yaitu pembuangan obat yang
telah kadaluarsa dan kapan saatnya berkonsultasi ke dokter.
9. Bagaimana cara menggunakan obat?
Kapan dan dengan Apa Obat Harus
Diminum?
a. Sebelum atau sesudah makan?
a. Sebelum atau sesudah makan?
Obat diminum sebelum makan, karena
adanya makanan di dalam lambung akan menghambat pelarutan dan penyerapan/absorpsi obat. Obat diminum sesudah makan atau pada
saat makan, karena obat harus melarut dalam lemak agar dapat diserap dengan
baik. Jika obat ini diminum pada saat perut kosong, dapat menimbulkan mual dan
muntah serta akan mmengiritasi lambung.
b. Berapa kali sehari?
Lama kerja obat berbeda-beda. Ada
obat yang diminum1, 2, 3, atau 4 kali sehari. Obat yang harus ditelan 1x sehari
umumnya ditelan pagi hari, bila tidak diberi petunjuk lain. 2 kali sehari artinya obat diminum tiap 12
jam, 3 kali sehari artinya obat diminum tiap 8
jam dan 4 kali
sehari artinya obat diminum tiap 6 jam. Bila takaran 4 kali sehari sukar diwujudkaan, sebaiknya
obat diminum sebelum dan sesudah tidur pada malam hari, serta 2 kali lagi
dibagi rata sepanjang hari.
c. Dengan air, limun, atau susu?
Sebaiknya obat diminum dengan air
putih. Susu tidak selalu layak diminum dengan obat, karena mengandung kalsium,
khususnya zat-zat antibiotik seperti halnya tetrasiklin. Ini karena kalsium
dapat mengikat tetrasiklin, sehingga obat dari usus/saluran pencernaan tidak
dapat diserap oleh darah.
10.
Bagaimana Cara Menyimpan Obat?
Semua obat sebaiknya disimpan di tempat yang sejuk, dalam
wadah asli dan terlindung dari lembab cahaya.
11. Tanda-tanda Kerusakan Obat
Suatu obat telah menjadi rusak bila terjadi perubahan warna, larutan
yang bening menjadi keruh atau berjamur, bentuk dan baunya berubah. Obat yang
rusak tidak boleh diminum, karena akan dapat membentuk zat-zat beracun atau
menjadi tidak berefek pada tubuh. Pada waktu membeli obat, sebaiknya dilihat
tanggal kadaluwarsanya, juga bungkusan aslinya apakah masih dalam keadaan baik
atau sudah rusak.
12. Antibiotik
Obat yang tergolong antibiotic dalam pemakaiannya harus dihabiskan untuk menghindari kambuhnya penyakit. Bila masih ketinggalan sisa akibat dari bagian obat yang tidak habis, maka sisa obat tersebut tidak boleh disimpan.
Obat yang tergolong antibiotic dalam pemakaiannya harus dihabiskan untuk menghindari kambuhnya penyakit. Bila masih ketinggalan sisa akibat dari bagian obat yang tidak habis, maka sisa obat tersebut tidak boleh disimpan.
13. Konseling
Konseling umumnya berlansung sangat
kondisional dan hasilnya sering kali juga tidak bisa kita nilai hanya dengan
benar salah. Satu hal yang paling penting dalam konseling kefarmasian adalah
mengamankan klien atau pasien dari ESO atau dari bahaya penggunaan sediaan
farmasi lain, juga mengamankan dari bahaya penyakit yang diderita pasien atau
klien. Oleh karena itu, sebagian hasil konseling kefarmasian diapotek adalah
rujukan ke sarana kesehatan lain seperti praktek dokter atau rumah
sakit.
Konseling tersebut juga kategori
konseling efektif, karena berjalan sangat singkat, mungkin cuma 2 atau 3 menit
saja. Konseling seperti ini dampaknya akan sangat besar bagi pasien dan
lingkungannya sendiri, karena manusia adalah makhluk sosial, yang mana umumnya
pasien akan mengabarkan hasil ini kepada siapa saja yang ia kenal.
Pada konseling seperti ini
seringkali dibutuhkan waktu lebih dari sekedar 2 atau 3 menit, dan kadang kala
juga membutuhkan 2 atau 3 kali pertemuan. Pada kasus konseling ini pesan
utamanya adalah pasien tidak memahami efek samping obat dan kebutuhan pasien
adalah obat yang manjur dan aman sesuai kondisi pasien.
14. Standar
Operating Prosedur (SOP) Pelayanan Swamedikasi
a.
Apoteker
tersenyum menberi salam, memperkenalkan diri, menawarkan bantuan sebelum pasien
mendahului.
b.
Apoteker
melakukan penggalian masalah yang dihadapi pasien, riwayat penyakit, riwayat
pengobatan dan memberikan alternative pilihan obatnya dengan mempertimbangkan
prinsip 4T (tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis, tepat pasien) 1W (waspada
efek samping).
c.
Apoteker
menginformasikan harga yang harus dibayar pasien untuk obatnya.
d.
Apoteker
melakukan penyerahan obat ke pasien dengan disertai informasi berkenaan dengan
obat dan penyakitnya.
e.
Apoteker
melakukan dokumentasi meliputi identitas pasien, keluhan pasien, obat yang
diserahkan dan jumlahnya serta informasi.
f.
Mengucapkan
terima kasih dan memberi senyum.
15. Memandu Pasien dalam Berswamedikasi
Saat ini
masyarakat banyak melakukan pengobatan sendiri (swamedikasi) dimana mereka
langsung dating mencari obat untuk mengatasi gejala penyakit yang dirasakan
mereka. Masalah-masalah dalam swamedikasi yang perlu menjadi perhatian kita
adalah: swadiagnosis yang keliru, penggunaan obat yang salah, penggunaan obat
yang berlebihan, anggapan obat bebas pasti aman, dan anggapan swamedikasi saja
sudah cukup. Oleh karena itu, masyarakat perlu dipandu dalam melakukan
swamedikasi, antara lain:
a.
Mengenali gejala penyakit.
b.
Memilih obat bebas/bebas terbatas yang tepat.
c.
Membaca dengan teliti informasi pada kemasan:
indikasi, kontraindikasi, aturan pakai, efek samping obat, interaksi obat-obat,
obat-makanan,keadaan/hal-hal yang harus diwaspadai selama mengkonsumsi obat.
d.
Jika gejala menetap bahkan memburuk, segera konsultasi
ke dokter.
e.
Jika mengalami efek samping obat, hentikan pengobatan
dan konsultasi ke dokter.
f.
Ada beberapa obat keras yang dapat diperoleh tanpa
resep dokter yang penyerahannya dilakukan oleh Apoteker (DOWA=Daftar Obat Wajib
Apotek).
g.
Jika ada keraguan dalam berswamedikasi, konsultasikan
kedokter/apoteker.
(ISO, 2012).
B.
Sakit
Gigi
Agar
kesehatan gigi dan gusi bisa terawat dengan baik, perlu dilakukan perawatan
yang baik. Hal ini dikarenakan:
a. Kita memerlukan gigi yang sehat dan
kuat untuk mengunyah dan mencerna makan dengan baik.
b.
Gigi berlubang (caries)
yang sakit dan gusi yang sakit dapat dicegah dengan perawatan gigi yang baik.
c.
Pembusukan atau keroposnya gigi yang disebabkan oleh
kurangnya kebersihan dapat menimbulkan infeksi parah yang mengenai
bagian-bagian tubuh lainnya.
1.
Untuk menjaga agar gigi dan gusi tetap sehat
a. Hindari makanan yang manis. Makanan
yang manis seperti tebu, gula-gula, kue kering yang manis, teh atau kopi yang
bergula dapat merusak gigi dengan cepat. Jangan membiasakan anak-anak dengan
makanan dan minuman yang manis secara berlebihan.
b. Menyikat gigi dengan baik setiap
hari. Segeralah menyikat gigi setelah makan sesuatu yang manis. Mulailah
menyikat gigi anak-anak Anda ketika gigi tersebut mucul. Ajari mereka untuk
menyikat gigi secara mandiri, dan perhatikan apakah mereka menyikatnya dengan
benar.
c. Membubuhkan Fluoride di dalam air
minum atau langsung pada gigi akan membantu mencegah lubang pada gigi.
d. Jangan memberikan susu botol kepada
bayi yang sudah besar. Mengisap susu dari botol akan membuat gigi bayi
mengalami pembusukan.
e. Hindari merokok.
f. Mengonsumsi minuman beralkohol tidak
dianjurkan karena dapat merusak gigi dan gusi.
2.
Gigi Berlubang (Caries)
Untuk menjaga agar gigi yang
berlubang tidak menimbulkan rasa sakit atau membentuk kantung nanah (abses),
hindarilah makanan yang manis dan sikatlah gigi tersebut baik-baik setiap
sesudah makan. Kita dapat pergi ke petugas kesehatan gigi segera untuk membersihkan dan menambal gigi
tersebut sehingga gigi dapat bertahan selama bertahun-tahun.
Perhatian:
Jika gigi berlubang, jangan menunggu hingga rasa sakit menekan. Mintalah petugas kesehatan untuk segera menambalnya.
Jika gigi berlubang, jangan menunggu hingga rasa sakit menekan. Mintalah petugas kesehatan untuk segera menambalnya.
3.
Plak Gigi
Sesaat setelah selesai menggosok
gigi, akan tampak suatu lapisan tipis. Lapisan ini dinamakan plak dan berisi
berbagai macam bakteri. Makanan manis yang kita konsumsi akan membuat semacam
plak di sela-sela gigi, berubah menjadi asam, sehingga merusak gigi.
4.
Sakit Gusi
Plak yang telah mengoroti gigi lambat laun akan berubah
menjadi tartar. Plak dan tartar akan membuat gusi teriritasi, merah, dan sering
ngilu. Ini dinamakan gejala gingivitis. Tanda paling nyata terkena gingivitis
adalah gusi berdarah saat menggosok gigi. Agar kejadian ini tidak terulang,
usahakan menggosok gigi secara teratur. Gingivitis tidak dapat disembuhkan
karena tulang gigi secara berangsur-angsur hilang. Ini disebut periodontal
disease. Tidak
ada jalan lain untuk mencegah penyakit ini hanya dengan merawat kesehatan gigi
dengan baik.
5.
Cara Menggosok Gigi yang Benar
a. Gosoklah gigi minimal dua kali
sehari, atau sesudah makan dan sebelum tidur.
b. Gunakan pasta gigi berfluoride untuk
mencegah pengeroposan tulang gigi dan menjaga kesehatan gusi.
c. Mulailah dari sisi gigi satu,
diikuti sisi yang lain. Sikat seluruh permukaan gigi, baik yang di luar,
belakang, maupun bagian yang tersembunyi.
d. Harap hati-hati ketika menyikat plak
pada bagian gigi yang tersembunyi dan sulit dijangkau. Ini dikarenakan gusi
bisa berdarah karena gesekan sikat.
e. Jika memungkinkan, setelah menggosok
gigi gunakan mouthwas untuk mengurangi bahkan menghilangkan plak dari gigi.
f. Gantilah sikat gigi Anda setiap tiga
bulan sekali.
BAB III
PEMBAHASAN
Penjualan
obat di Apotek Babarsari untuk swamedikasi/pengobatan
mandiri meliputi penjualan tetes mata, salep, vitamin,
suplemen makanan, obat maag, obat panas/pusing,
obat sakit kepala, obat sakit gigi, obat batuk pilek, diare, konstipasi, minyak
urut, minyak gosok dan lain-lain.
Salah satu pengobatan mandiri/self
medication (swamedikasi) yang dilakukan pasien adalah sakit gigi. Pada
umumnya pasien yang datang mengeluhkan gejala gigi yang sakit, nyut-nyiut, kadang ada yang bengkak, maupun berdarah.
Pasien kebanyakan sudah mengalami gejala selama 1 hari dan datang ke apotek untuk
membeli obat dan memilih melakukan pengobatan sendiri.
Sakit
gigi yang dialami pasien ketika ditanyakan kebanyakan
tidak mengetahui penyebabnya.
Pasien yang datang ke apotek untuk meminta obat sakit gigi ditanyakan terlebih dahulu:
1.
Bagaimana keluhannya seperti rasa menusuk tajam, nyut-nyut atau konstan, bengkak,
berdarah, bernanah, merah, berlubang dan lain-lain dan apakah
disertai dengan demam atau tidak;
2. Obat diberikan untuk siapa, apakah untuk pasien itu
sendiri atau untuk anak dan ditanyakan umurnya berapa.
Setelah
ditanyakan keluhannya dan ketapatan
pasien sudah dipastikan baru diberikan obat sakit gigi yang sesuai dengan
keluhan pasien tersebut. Obat yang dapat diberikan diantaranya untuk sediaan
tablet/kaplet seperti Asam
Mefenamat (Mefinal, Ponstan),
Kalium
Diclofenac (Cataflam), Paracetamol, Celecoxib, Etocoxib dan lain-lain; kemudian diberikan konseling (pemberian informasi obat) berupa:
a.
Nama dan
kekuatan obat,
b.
Indikasi dan
aturan pakai atau cara minum obat (sebelum atau sesudah makan, berapa kali
sehari, dengan air, boleh dengan susu, dll, antibiotic diminum rutin sampai
habis).
c.
Mekanisme kerja
obat,
d.
Efek pada gaya
hidup pasien,
e.
Penyimpanan
obat,
f.
Efek samping,
g.
Interaksi obat
dan makanan,
h.
Informasi
tambahan tentang pembuangan atau pemusnahan obat jika kadaluarsa dan kapan
harus konsultasi dan menghubungi dokter.
i.
Pengobatan tanpa obat (nir obat/nir
farmaskologis) maupun penanganan untuk mencegah terjadinya sakit gigi perlu
dilakukan berupa nasihat/motivasi usaha untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut
yakni menyikat gigi dengan benar minimal 2 kali sehari, dapat disempurnakan
dengan moutwash setelah menyikat
gigi, menghindari makanan dan minuman terlalu manis, asam, panas atau dingin
serta dapat mengkonsumsi suplemen/vitamin C, menggunakan cengkeh.
Antibiotika
terkadang juga diberikan apabila pasien sudah mengalami gejala infeksi. Pada penggunaan
antibiotik perlu diberitahukan kepada pasien untuk diminum rutin dan dihabiskan
agar tubuh tidak resisten terhadap
bakteri pada penggunaan antibiotik tersebut.
Istilah swamedikasi akhir-akhir ini
sering terdengar di kalangan masyarakat. Swamedikasi merupakan suatu usaha
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri.
Swamedikasi atau pengobatan sendiri bisa dilakukan untuk menangani
penyakit-penyakit ringan, misalnya sakit kepala, demam, sakit gigi, diare,
dengan menggunakan obat-obat yang di rumah atau membeli langsung ke toko obat
atau ke apotek.
Apoteker sendiri telah diberi
kewenangan untuk melakukan swamedikasi kepada orang yang datang ke apotek.
Pasien menyampaikan keluhan dan gejala yang dirasakan, kemudian Apoteker
menginterpretasikan penyakitnya kemudian memilihkan obat atau merujuk ke pelayanan
kesehatan lain (rumah sakit, laboratorium, dokter spesialis, dll). Obat yang
diberikan Apoteker meliputi obat wajib apotek (OWA, dengan ketentuan dan
batasan yang tercantum dalam daftar OWA 1 dan OWA 2, obat bebas terbatas, dan
obat bebas. Apoteker hendaknya membuat catatan pasien serta obat yang
diserahkan, serta memberikan informasi penting tentang dosis, cara pakai,
kontraindikasi, dan efek samping yang perlu diperhatikan oleh pasien.
Salah satu penyakit yang dapat
diswamedikasi adalah sakit gigi. Sakit gigi ini bisa terjadi karena beberapa sebab yaitu bisa disebabkan karena gigi
yang berlubang, makanan atau minuman yang terlalu manis, terlalu asam atau
terlalu dingin. Jika sering mengalami sakit gigi ini ada baiknya kita segera melakukan penanganan sendiri
terlebih dahulu yaitu obat tradisional sakit
gigi sebelum ke dokter.
Pada sakit gigi, biasanya terjadi
inflamasi atau radang di gigi atau gusi. Inflamasi ini menyebabkan bengkak dan
akan terasa sakit, berwarna kemerahan, serta kadang disertai panas. Untuk
memilih obat sakit gigi yang akan digunakan, kita hendaknya memperhatikan apakah
sakit gigi tersebut disertai gusi bengkak atau tidak. Parasetamol adalah obat
sakit gigi yang manjur. Mekanisme kerja parasetamol sebagai obat sakit gigi
adalah dengan menghambat enzim siklooksigenase 3 (COX3) sehingga meredakan
nyeri, akan tetapi tidak menyembuhkan bengkak. Khasiat parasetamol selain
sebagai obat sakit gigi adalah juga sebagai obat penurun panas.
Untuk sakit gigi yang disertai
bengkak, kita
hendaknya langsung menggunakan obat antiinflamasi non steroid/AINS (non steroidal antiinflammatory
drug/NSAID). Obat-obat NSAID ini meredakan sakit gigi dengan
cara menghambat enzim siklooksigenase 1 (COX1) dan siklooksigenase 2 (COX2). Obat sakit gigi jenis NSAID yang
bekerja tidak
selektif yakni menghambat
siklooksigenase 1 (COX1) dan siklooksigenase 2 (COX2) contohnya antara lain aspirin (asam
asetilsalisilat / asetosal), ketoprofen, diklofenak,
serta asam mefenamat. Obat-obat tersebut dapat
meredakan sakit gigi yang disertai gusi bengkak. Efek samping yang biasa
terjadi antara lain erosi lambung, sakit perut, kulit kemerahan, gangguan
pernapasan (asma) serta
kelainan pembekuan darah. Bagi penderita maag/ulkus peptikum/luka lambung
sebaiknya tidak menggunakan obat sakit gigi jenis ini karena akan memperparah
sakit maagnya.
Kenapa obat AINS menyebabkan
gangguan lambung? Obat-obat AINS bekerja dengan cara
menghambat sintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri
adalah suatu senyawa dalam tubuh yang merupakan mediator nyeri dan
radang/inflamasi. Ia terbentuk dari asam arakidonat pada
sel-sel tubuh dengan bantuan enzim cyclooxygenase (COX). Dengan
penghambatan pada enzim COX, maka prostaglandin tidak terbentuk, dan nyeri atau
radang pun reda. Namun COX
ini ada dua jenis, yaitu disebut COX-1 dan COX-2. COX-1 ini selalu ada dalam tubuh kita
secara normal, untuk membentuk prostaglandin yang dibutuhkan untuk
proses-proses normal tubuh, antara lain memberikan efek perlindungan
terhadap mukosa lambung. Sedangkan COX-2, adalah enzim yang terbentuk
hanya pada saat terjadi peradangan/cedera, yang menghasilkan prostaglandin yang
menjadi mediator nyeri/radang. Jadi, sebenarnya yang perlu dihambat hanyalah COX-2
saja yang berperan dalam peradangan, sedangkan COX-1 mestinya tetap
dipertahankan. Tapi masalahnya, obat-obat AINS ini bekerja secara tidak
selektif. Ia bisa
menghambat COX-1 dan COX-2 sekaligus. Jadi,
ia bisa menghambat pembentukan prostaglandin pada peradangan, tetapi juga
menghambat prostaglandin yang dibutuhkan untuk melindungi mukosa lambung.
Akibatnya lambung
menjadi terganggu. Keadaan
normal COX1 selalu ada menghasilkan mucus sehingga dapat melindungi mukosa
lambung. Sementara COX2 terbentuk saat terjadi cedera/radang. Namun karena obat
NSAID yang tidak selektif dapat menghambat enzim COX1 dan COX2 maka tidak hanya
COX2 yang dihambat namun COX 1 sebagai protector lambung juga dihambat
akibatnya lambung dapat terganggu. Untuk mengatasi efek obat AINS terhadap
lambung, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni :
1.
Sebaiknya digunakan setelah makan (pc) untuk
mengurangi efeknya terhadap lambung,
2.
Obat
golongan AINS umumnya dalam bentuk bersalut selaput yang bertujuan
mengurangi efeknya pada lambung, maka jangan digerus atau dikunyah, dan
3.
Jika
memang menyebabkan lambung perih atau sudah ada riwayat maag atau gangguan
lambung sebelumnya, bisa diiringi penggunaannya dengan obat-obat yang menjaga
lambung seperti antasid;
golongan H2 bloker (simetidin atau
ranitidin);
golongan penghambat pompa proton/PPI
(omeprazol atau lansoprazol),
atau dengan sukralfat, misoprostol,
atau
4.
Alternatif lain yang aman adalah paracetamol/acetaminophen. Parasetamol
termasuk obat lama yang bertahan lama sebagai analgesik, karena relatif aman
terhadap lambung. Juga merupakan analgesik pilihan untuk anak-anak maupun ibu hamil/menyusui. Parasetamol memiliki
sedikit perbedaan dalam target aksi obatnya. Parasetamol tidak berefek sebagai
anti radang, tetapi lebih sebagai analgesik dan anti piretik (obat turun
panas). Selain COX-1 dan COX-2,
ada pula COX-3. Ada peneliti yang menyatakan bahwa COX-3
adalah varian dari COX-1, yang terdistribusi di sistem saraf pusat. Dengan
penghambatan terhadap COX-3 di otak/sistem saraf pusat, maka efeknya lebih
terpusat dan tidak menyebabkan gangguan pada lambung. Maka bagi mereka yang mempunyai gangguan lambung,
parasetamol adalah pilihan yang aman.
Tapi
bukan berarti parasetamol tidak mempunyai efek samping. Efek samping
parasetamol ke liver/hati. Ia bersifat toksik di hati jika
digunakan dalam dosis besar. Karena itu, dosis maksimal penggunaan parasetamol
adalah 4 gram/sehari atau 8 tablet @ 500 mg/sehari. Melebihi itu, akan berisiko
terhadap hati.
Selain berefek samping terhadap lambung,
AINS juga sering disebut-sebut bisa memicu kekambuhan asma buat mereka yang
sudah punya riwayat asma. Bahkan cukup banyak pula penderita asma yang sensitif
terhadap aspirin, yang terpicu kekambuhan asmanya jika minum
aspirin. Penyebabnya tidak diketahui pasti,
tetapi diduga hal ini berkaitan dengan dampak dari penghambatan terhadap enzim
COX. Penghambatan terhadap COX akan mengarahkan metabolisme asam arakidonat ke
arah jalur lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien.
Leukotrien sendiri adalah suatu senyawa yang memicu penyempitan saluran nafas (bronkokonstriksi).
Karena itu, penderita dengan riwayat asma juga harus hati-hati menggunakan
obat-obat AINS. Alternatif paling aman kembali ke parasetamol.
Alternatif lainnya adalah setelah mengetahui bahwa
enzim COX yang lebih berperan dalam peradangan adalah COX-2, bukan COX-1, maka
para ahli berpikir untuk membuat obat yang khusus menghambat COX-2 saja. Maka
muncullah obat-obat coxib, yaitu celecoxib, rofecoxib, valdecoxib,
dll.
Obat-obat ini sangat laris ketika
pertama kali dimunculkan, karena memenuhi harapan sebagian besar pasien yang
harus mengkonsumsi AINS dalam jangka waktu lama, tapi terhindar dari efek
terhadap lambung. Ternyata obat
ini tidak bebas dari efek samping. Beberapa tahun setelah
diluncurkan di pasar, mulai ada laporan-laporan kejadian efek samping gangguan
kardiovaskular pada penggunaan obat-obat ini, yaitu terjadinya gangguan jantung
iskemi atau stroke iskemi. Terjadinya
karena penghambatan secara selektif terhadap
COX-2 juga memunculkan masalah lain. Diketahui bahwa selain prostaglandin,
COX-1 juga mengkatalisis pembentukan tromboksan A2, suatu
senyawa dalam tubuh yang berperan dalam pembekuan darah dan bersifat vasokonstriktor
(menyebabkan penyempitan pembuluh darah). Ketika COX-1 dibiarkan tidak
terhambat, maka pembentukan tromboksan jalan terus, dan ini ternyata dapat
menyebabkan meningkatnya risiko terbentuknya gumpalan-gumpalan darah kecil (blood
clots) yang dapat menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah sehingga terjadilah gangguan
kardiovaskuler.
Karena itu, VIOXX (rofecoxib)
yang sudah beredar di pasar, pada tahun 2004 ditarik lagi dari peredaran oleh
produsennya. Sementara itu, celecoxib (Celebrex) tetap masih boleh beredar
tetapi perlu ada pelabelan ulang pada kemasannya, di mana perlu dinyatakan
bahwa obat ini harus digunakan secara hati-hati oleh mereka yang memiliki
riwayat gangguan kardiovaskuler.
Obat sakit gigi jenis NSAID lainnya adalah yang bekerja
menghambat siklooksigenase 2 (COX2), contohnya adalah celecoxib (dengan merek Celebrex), dan etoricoxib (dengan merek Arcoxia). Obat-obat ini dapat
menyembuhkan sakit gigi yang disertai bengkak. Orang yang mengidap maag/ulkus
peptikum/luka lambung dapat menggunakan obat sakit gigi ini. Namun perlu
berkonsultasi kembali kepada apoteker dalam hal pemilihan obat untuk
meningkatkan efek terapi dan meminimalisir terjadinya side effect dan adverse drug reaction. Jadi,
walaupun hanya mencari obat penghilang sakit, juga perlu ada ilmunya. Perlu
diingat, sebaiknya obat penghilang sakit ini digunakan hanya jika perlu saja, karena
obat-obat ini sifatnya adalah simtomatik, atau menghilangkan gejala. Jika
penyebab sakitnya sendiri belum hilang, maka nyeri masih mungkin akan muncul
kembali. Jika masih bingung dalam memilih obat analgesik, maka belilah di
Apotek, dan carilah Apotekernya untuk berkonsultasi dan membantu swamedikasi
atau pengobatan mandiri.
Apabila terdapat infeksi dapat ditambahkan antibiotik
seperti amoksisilin, kalmixilin,
clindamisin. Obat
yang tergolong antibiotic dalam pemakaiannya harus diminum
rutin dan
dihabiskan untuk menghindari kambuhnya penyakit. Bila masih ketinggalan sisa
akibat dari bagian obat yang tidak habis, maka sisa obat tersebut tidak boleh
disimpan.
Perbedaan Na
dan K Diclofenac
Natrium diklofenak dan
kalium diklofenak merupakan obat golongan AINS (Anti Inflamasi Non Steroid).
Keduanya merupakan obat AINS yang termasuk dalam bentuk diklofenak. Obat-obatan
jenis AINS sudah dikenal luas di dunia kedokteran digunakan sebagai obat
analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik. Obat yang termasuk dalam turunan
diklofenak sampai saat ini dianggap lebih aman dan beraksi lebih cepat
dibandingkan dengan ibuprofen dan aktif lebih lama di dalam tubuh dibandingkan dengan parasetamol.
dibandingkan dengan ibuprofen dan aktif lebih lama di dalam tubuh dibandingkan dengan parasetamol.
Golongan diklofenak
memiliki efek analgesik, antirematik, antipiretik dan antiinflamasi. Obat
tersebut merupakan COX-inhibitor nonselektif yang bekerja dengan menghambat
enzim siklooksigenase (COX). Enzim siklooksigenase berperan dalam produksi
sejumlah zat kimia dalam tubuh, salah satunya prostaglandin. Prostaglandin ini
diproduksi oleh tubuh sebagai respon dari cedera sehingga syaraf akan lebih
sensitif terhadap rasa nyeri.
Terdapat dua jenis
obat yang termasuk dalam golongan diklofenak, yaitu Na diklofenak dan K
diklofenak. Perbedaan dari keduanya adalah garam kalium yang ada di obat
diklofenak lebih mudah larut dalam air dibandingkan dengan garam natrium.
Sehingga kalium diklofenak dapat diabsorpsi lebih cepat dibandingkan dengan
natrium diklofenak. Kalium diklofenak dilepaskan lebih cepat dibandingkan
dengan natrium diklofenak. Hal ini berdampak pada penggunaannya secara klinis.
Pada keadaan yang akut dan nyeri yang agak berat, lebih baik menggunakan kalium
diklofenak dibandingkan dengan natrium diklofenak.
Proses absorpsi
dimulai segera setelah obat dikonsumsi, dan rasa nyeri biasanya berkurang dalam
15-30 menit. Kalium diklofenak dilepaskan dengan cepat dalam aliran darah untuk
mengurangi rasa nyeri lebih cepat. Sebagian dari diklofenak dimetabolisme di
hepar. Sekitar 60% akan diekskresikan melalui urin, dimana 1%nya masih bersifat
aktif. Sisanya dieliminasi sebagai metabolit melalui empedu dan di dalam feses.
Diklofenak dapat masuk
ke dalam cairan sinovial, dan konsentrasi maksimal didapatkan 2-4 jam setelah
kadar maksimal di dalam plasma darah didapatkan. Dua jam setelah kadar maksimal
dalam plasma didapatkan, konsentrasi diklofenak akan lebih tinggi di dalam
cairan sinovial dibandingkan dengan yang ada di dalam plasma. Waktu paruh akhir
diklofenak dalam plasma sekitar 1-2 jam, sementara waktu paruh eliminasi dari
cairan sinovial sekitar 3-6 jam.
Pengobatan
Tanpa Obat Nir Obat/Nir Farmakologi
1. Nasihat/motivasi usaha untuk menjaga kesehatan gigi
dan mulut yakni menyikat gigi dengan benar minimal 2 kali sehari, dapat
disempurnakan dengan moutwash setelah
menyikat gigi.
2. Untuk sementara hindarilah makanan
atau minuman yang mengandung gula dan pemanis buatan termasuk susu manis.
Sebagai gantinya, kita bisa mengonsumsi rasa manis alami, seperti buah semangka
atau mangga.
3. Jangan minum minuman yang panas.
Jika Anda minum minuman panas, jangan sekali-kali disertai dengan minum air
dingin atau es secara beruntun, atau sebaliknya.
4. Hindari konsumsi es secara
berlebihan.
5. Hindari makanan atau minuman yang terlalu
asam.
6. Dapat mengkonsumsi suplemen/vitamin C, menggunakan
cengkeh.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pada umumnya pasien
yang datang mengeluhkan gejala gigi yang
sakit, nyut-nyiut, kadang ada yang bengkak, maupun berdarah.
2.
Obat yang dapat
diberikan diantaranya untuk sediaan tablet/kaplet
seperti Asam Mefenamat (Mefinal, Ponstan), Kalium Diclofenac (Cataflam), Paracetamol, Celecoxib,
Etocoxib, jika infeksi dapat diberikan antibiotic (amoksisilin,
kalmixilin, clindamisin),dan lain-lain; kemudian diberikan konseling (pemberian informasi obat) serta pendokumentasian.
B.
Saran
Selain pengobatan secara farmakologis/obat maka
dilakukan terapi tanpa obat (nir obat/nir farmakologis):
1.
Nasihat/motivasi
usaha untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut yakni menyikat gigi dengan benar
minimal 2 kali sehari, dapat disempurnakan dengan moutwash setelah menyikat gigi.
2.
Untuk sementara hindarilah makanan atau minuman yang
mengandung gula dan pemanis buatan termasuk susu manis. Sebagai gantinya, kita bisa mengonsumsi rasa manis alami,
seperti buah semangka atau mangga.
3.
Jangan minum minuman yang panas. Jika Anda minum minuman
panas, jangan sekali-kali disertai dengan minum air dingin atau es secara
beruntun, atau sebaliknya.
4.
Hindari konsumsi es secara berlebihan.
5.
Hindari makanan atau minuman yang terlalu asam.
6.
Dapat
mengkonsumsi suplemen/vitamin C, menggunakan cengkeh.
DAFTAR
PUSTAKA
Tan, H.T. & K. Rahardja, 1993, Swamedikasi: Cara-cara Mengobati Gangguan
Sehari-hari dengan Obat-obat Bebas Sederhana, Edisi I, Cetakan I.
Tim
Editor, 2012, MIMS Indonesia Petunjuk
Konsultasi, Edisi 11 2001/2012, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Tim
Penyusun, 2012, ISO (Informasi Spesialite
Obat) Indonesia, Vol 46. Jakarta: P.T. ISFI Penerbitan.
No comments for "TUGAS PKPA APOTEK SWAMEDIKASI SAKIT GIGI"
Post a Comment