Petikan Hikmah dibalik Wafatnya Ulama
Innalillaahi wainna ilaihi raaji'un
Allahumma firlahu warhamhu wa'afihu wa'fu'anhu
📌Ini musibah besar bagi umat akhir zaman, cara allah mengangkat ilmu agama adalah dengan mewafatkan para ulama.
Maka akan hilang sebagian ilmu agama karena ulama yang wafat berarti membawa ilmunya.
Renungan kita: pelajari agama secara serius sebagai bekal kita. Yang meninggal dunia sudah habis masanya di dunia, kita yang hidup harus cerdas menyiapkan diri. Ya Allah wafatkan kami dalam kondisi husnul khatimah.📌
Demi masa sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-3).
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambaNya, tetapi mencabut ilmu dengan mencabut para ulama. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan satu ulama, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya kemudian memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan." (HR Al Bukhari)
Dalam Kitab Tanqih al-Qaul, Imam Jalaluddin As-Suyuthi menuliskan sebuah hadis Rasulullah SAW yang artinya:
"Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik."
Semoga kita bisa mengambil hikmah dan iktibar dari wafatnya para ulama di Indonesia. Kepergian ulama merupakan duka bagi umat Islam. Semoga Allah Ta'ala memuliakan para ulama dan mengangkat mereka ke tempat terpuji bersama Rasulullah SAW dan kaum sholihin. Al-Faatihah...
Ulama adalah pewaris para Nabi (Al-'ulama warasatul Anbiya). Mereka yang disebut pewaris para Nabi adalah ulama yang lurus, punya ilmu dan adab yang tinggi, memiliki sifat khauf (rasa takut) kepada Allah 'Azza wa Jalla. Mereka laksana pelita yang menerangi bumi.
Kata Rasulullah SAW, wafatnya ulama laksana bintang yang padam dan musibah yang tak tergantikan. Dunia menjadi kehilangan ilmu dan termasuk musibah besar bagi agama.
Menurut Imam Baihaqi dari hadis Ma'ruf bin Kharbudz dari Abu Ja'far radhiallahu 'anhu berkata: "Kematian ulama lebih dicintai Iblis daripada kematian 70 orang ahli Ibadah."
Rasulullah SAW bersabda: "Ambillah (pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi." Sahabat bertanya: 'Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?" Rasulullah menjawab: "Perginya ilmu adalah dengan wafatnya orang-orang yang membawa ilmu (ulama)." (HR Ad-Darimi, Ath-Thabarani)
Ada beberapa hal yang patut kita renungi terkait wafatnya para ulama.
Pertama, wafatnya ulama adalah pertanda sempurnanya tugas ulama tersebut. Sebagaimana yang pernah terjadi pada diri Rasulullah SAW, tepatnya ketika turun Surat al-Ma’idah [5]: 3
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu".
Tiba-tiba Sayyidina Abu Bakar RA pulang ke rumah dalam keadaan murung dan sedih. Kemudian beliau mengunci pintu rumah dan sibuk menangis siang-malam. Setelah itu ada yang bertanya, “Kenapa engkau hanya menangis saja wahai Abu Bakar, padahal orang lain sedang bergembira karena agama Islam telah sempurna”. Abu Bakar RA menjawab bahwa ketika sesuatu itu sudah sempurna, maka akan mulai merosot. Lebih jauh Abu Bakar RA menjelaskan bahwa ayat tersebut (Surat al-Ma’idah [5]: 3) adalah indikasi bahwa sebentar lagi Rasulullah SAW akan wafat, mengingat tugas beliau sudah sempurna. Setelah mendengar penjelasan tersebut, akhirnya mereka berdua sama-sama menangis, karena bersedih akan ditinggal wafat oleh Rasulullah SAW.
Hal ini mirip dengan sebuah kisah hikmah, ada seseorang bertanya kepada orang bijak, “Wahai Syaikh, mengapa Allah mewafatkan ulama yang berperilaku terpuji, bukannya mematikan penjahat yang berperilaku tercela?”. Orang bijak menjawab, “Wahai anakku, jika engkau memanen apel, tentu engkau akan memanen apel yang sudah matang dan bagus, bukan apel yang masih mentah, apalagi dimakan ulat. Demikian halnya Allah SWT memanen ulama yang sudah matang dan bagus, serta memberikan kesempatan kepada kita yang masih belum matang”.
Dari sini patut kita maknai bahwa apabila kita masih hidup hingga saat ini, berarti Allah SWT sedang memberi peluang agar kita bergegas mematangkan diri, terutama melalui jalur taubat dan ibadah.
Kedua, wafatnya ulama adalah simbol terangkatnya ilmu yang bermanfaat. Inilah yang diisyaratkan dalam Hadis Shahih Bukhari-Muslim:
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya secara langsung dari para hamba-Nya; melainkan Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama".
Wafatnya ulama merupakan suatu kehilangan yang besar, karena mereka sudah terbukti memiliki ilmu yang bermanfaat. Padahal tidak semua ilmu itu bermanfaat.
Setidaknya ada empat kategori ilmu:
a) Ilmu yang berbahaya, semisal ilmu ekonomi yang digunakan untuk merusak ekonomi umat;
b) Ilmu yang sia-sia, semisal kuliah di jurusan kedokteran, kemudian memilih profesi sebagai politikus dan tidak lagi mau mengobati pasien;
c) Ilmu yang manfaatnya terbatas untuk diri sendiri, seperti halnya makanan yang hanya untuk mengenyangkan perutnya sendiri; atau manfaatnya terbatas pada orang lain saja, seperti halnya lilin yang dapat menerangi orang lain, namun membinasakan dirinya sendiri;
d) ilmu yang bermanfaat secara luas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Inilah kategori ilmu yang dimiliki oleh para ulama. Mereka semakin tercerahkan melalui ilmunya, bersamaan dengan menerangi umat melalui ilmu mereka, sehingga mereka benar-benar telah menjadi manusia yang paling dicintai oleh Allah SWT, seperti sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar RA:
"Manusia yang paling dicintai Allah SWT adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya". (H.R. al-Thabarani)
Ketiga, wafatnya ulama berarti hilangnya lentera umat. Sebagai pewaris Nabi, ulama senantiasa memberi bimbingan dan arahan kepada masyarakat. Melalui nasihat dan fatwanya, ulama memberi panduan yang jelas kepada masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika ulama sudah wafat, berarti menyisakan para pemimpin yang keruh nuraninya, sehingga kebijakan-kebijakan yang diputuskan tidak mencerahkan, justru membingungkan umat, bahkan menjerumuskan pada kesesatan, sebagaimana lanjutan Hadis Shahih Bukhari-Muslim "Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya secara langsung dari para hamba-Nya; melainkan Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama".
yaitu:
Sehingga ketika sudah tidak tersisa orang alim, maka manusia menjadikan para pemimpin yang “sangat bodoh”. Lalu ketika mereka ditanya, mereka memberi fatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.
Keempat, wafatnya ulama berarti berhentinya sumber hikmah. Hikmah adalah intisari ilmu. Hikmah adalah buah ketika ilmu diiringi amal dan ibadah ritual diiringi ibadah sosial.
Hikmah bisa berwujud perilaku yang dikenang oleh umat sepanjang masa. Bisa pula berupa tutur kata. Terkadang kata-katanya terdengar sederhana, namun meliputi banyak makna.
Anas ibn Malik RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa mengamalkan ilmu yang diketahui, maka Allah menganugerahkan ilmu yang belum diketahui” (Hulyah al-Auliya’)
Kelima, wafatnya ulama berarti berkurangnya figur manusia yang tidak dikuasai hawa nafsu. Para ulama terbukti berhasil menjinakkan nafsu yang liar (nafs al-ammarah) hingga menjadi nafsu setengah jinak (nafs al-lawwamah), kemudian menjadi nafsu yang jinak (nafs al-muthmainnah).
Hal ini setidaknya dapat kita lihat pada para ulama yang memiliki rumah dan kendaraan sederhana dibandingkan kapasitasnya. Banyak ulama yang aslinya mampu membangun rumah bertingkat-tingkat, namun justru lebih memilih rumah sederhana.
Para ulama telah memberi contoh bagaimana cara menjinakkan nafsu. Ulama senantiasa tidak mengindahkan keinginan hawa nafsu, bahkan pada selera makan sekalipun. Hal ini bertolak belakang dengan mayoritas manusia yang lebih senang menuruti nafsu, seperti yang disindir dalam Surat al-Furqan [25]: 43
"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?" (Q.S. al-Furqan [25]: 43)
Keenam, wafatnya ulama berarti lenyapnya sosok pelayan umat. Bagi masyarakat luas, sikap pelayanan inilah yang membuat masyarakat secara sukarela memberi gelar ulama kepada seseorang. Meskipun seseorang memiliki ilmu setinggi langit dan sedalam lautan, tidak akan pernah diberi label ulama apabila belum melakukan pelayanan kepada umat. Watak pelayanan ini tergambar dalam istilah “khadimul-ma’had” (pelayan pesantren) yang digunakan sebagai “gelar” pengasuh pesantren.
Kiranya sikap ini belajar dari baginda Rasulullah SAW yang senantiasa memikirkan umat beliau, bahkan ketika menjelang detik-detik ajal tiba, beliau masih berseru lirih, “umatku, umatku, umatku”.
"Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin" (Q.S. al-Taubah [9]: 128).
Ketujuh, wafatnya ulama perlu disikapi dengan peran serta dalam regenerasi atau reproduksi ulama di masa depan. Meskipun tidak semua orang mampu menjadi ulama, namun paling tidak kita perlu mengusahakan agar anak-anak kita tumbuh menjadi ulama. Salah satunya adalah memondokkan anak-anak di pesantren-pesantren. Seandainya jalur ini tidak bisa ditempuh, paling tidak memberikan kontribusi finansial dengan memberi beasiswa kepada para santri, agar mereka fokus belajar hingga benar-benar memahami agama Islam, sehinga layak menyandang status sebagai “ulama” di masa depan yang memberi pelayanan kepada masyarakat luas.
"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya" (Q.S. al-Taubah [9]: 122).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wafatnya ulama merupakan salah satu tanda sempurnanya tugas yang diemban oleh ulama tersebut, terutama melalui jalur penyebaran ilmu yang bermanfaat ke tengah-tengah masyarakat luas, sehingga ulama menjadi lentera umat melalui hikmah-hikmahnya dalam bentuk perilaku maupun tutur kata. Hal ini dikarenakan ulama sudah memiliki nafsu yang stabil (nafs al-muthmainnah), sehingga orientasi kehidupannya tidak lagi egoistis, melainkan altruis, yaitu diabdikan untuk melayani umat hingga akhir hayat.
Mengingat begitu luarbiasanya ulama, sudah menjadi tanggung jawab kita yang masih hidup untuk ikut aktif berkontribusi dalam proses regenerasi ulama yang berpusat di pesantren-pesantren. Menurut keterangan Hadis riwayat Abu Darda’ RA, jalurnya hanya ada empat. Jangan sampai kita menjadi orang yang kelima.
Secara kontekstual, Hadis ini menyeru kepada kita agar menjadi:
a) seorang ulama, ahli ilmu;
b) seorang pelajar, seperti santri atau siswa yang kesibukan utamanya adalah belajar di lembaga pendidikan;
c) seorang pendengar ilmu, seperti peserta pengajian rutin di majlis ta’lim, di sela-sela kesibukan utamanya;
d) seorang pecinta ilmu, seperti donatur atau orang tua asuh yang memberi bantuan finansial kepada pesantren ataupun santri.
Jika menjadi orang yang kelima, yakni tidak berbuat apa-apa, berarti kita bagaikan petani yang tidak rela sawahnya terkena air irigasi.
Dalam hadis lain, Beliau SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambaNya, tetapi mencabut ilmu dengan mencabut para ulama. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan satu ulama, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya kemudian memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan." (HR Al Bukhari)
Dalam Kitab Tanqih al-Qaul, Imam Jalaluddin As-Suyuthi menuliskan sebuah hadis Rasulullah SAW yang artinya:
"Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik."
Dalam hadis lain, Beliau SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambaNya, tetapi mencabut ilmu dengan mencabut para ulama. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan satu ulama, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya kemudian memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan." (HR Al Bukhari)
Dalam Kitab Tanqih al-Qaul, Imam Jalaluddin As-Suyuthi menuliskan sebuah hadis Rasulullah SAW yang artinya
"Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik."
Semoga kita bisa mengambil hikmah dan iktibar dari wafatnya para ulama di Indonesia. Kepergian ulama merupakan duka bagi umat Islam. Semoga Allah Ta'ala memuliakan para ulama dan mengangkat mereka ke tempat terpuji bersama Rasulullah SAW dan kaum sholihin. Al-Faatihah...
No comments for "Petikan Hikmah dibalik Wafatnya Ulama"
Post a Comment