Widget HTML Atas

THE MEDICAL AND ISLAMIC PERSPECTIVES OF VACCINATION



Apakah Vaksin, Vaksinasi, Imunisasi Itu?

IMUNISASI Vs VAKSINASI ?

Imun = kekebalan tubuh.
Imunisasi = proses untuk mendapatkan kekebalan tubuh (baik secara aktif maupun pasif).
Vaksin = bakteri/virus yang telah dilemahkan atau diinaktivasi.
Vaksinasi = proses memasukkan vaksin ke tubuh untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu (secara aktif).
Jadi, istilah imunisasi lebih umum yakni suatu proses untuk mendapatkan kekebalan tubuh, sedangkan istilah vaksinasi lebih khusus yaitu proses untuk mendapatkan kekebalan tubuh khusus menggunakan vaksin, sehingga memperoleh kekebalan aktif dan spesifik dan imunitas bersifat adaptif. Vaksinasi bagian dari imunisasi, imunisasi belum tentu merupakan vaksinasi.
Karena ada cara/proses lain yang secara alami juga dapat membantu untuk meningkatkan kekebalan tubuh (pasif) selain vaksin misalnya ASI. 
PERTANYAAN:
ASI bisa memeberikan kekebalan tubuh, jadi apakah vaksinasi masih perlu ???

TETAP PERLU karena ASI memberikan kekebalan secara UMUM, sedangkan vaksin memberikan kekebalan secara SPESIFIK.

      Allah sudah memberikan tubuh yang sempurna dengan kekebalan alamiah yang ada, ditambah dengan pemberian ASI dan makanan bergizi, serta olahraga. NAMUN
      Vaksinasi tetap PENTING: untuk memberikan kekebalan yang SPESIFIK.


PRINSIP HALAL & HARAM

Jangan mudah mengklaim ini halal / haram tanpa dalil/hujjah yang tegas untuk mengada-ada dengan kebohongan besar.



“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. 16: 116).
  
 


Ternyata di tengah masyarakat terdapat Pro dan Kontra Vaksinasi. Bagaimana menyikapinya ? Sebagai seorang yang berilmu dan beriman, tentunya mesti bijak menghadapi perbedaan. Kenapa ada peluang perbedaan ? Ada yang mengatakan Haram namun sebagian Membolehkan. Siapa yang mengharamkan dan membolehkan, mana dalilnya ? Apa manfaatnya bagi kesehatan ?



Prinsipnya terjadi perbedaan/ikhtilaf/khilafiah karena adanya dalil yang bersifat Dhanny sebagaimana penjelasan diatas. Dan kuncinya tidak ada pengingkaran, propaganda dan saling mengkafirkan  dalam perkara ijtihad. Saling menghargai dan mengkaji dari berbagai sumber dan ahlinya baik ulama maupun ahli dalam bidangnya (kesehatan). Berlapang dada dalam perbedaan, selama tidak ada dalil pengharaman secara Qath’i maupun fatwa pengharaman vaksinasi secara tegas dan jelas. Mari kita simak sebagian pandangan dari kubu Kontra maupun Pro Vaksinasi :


KONTRA VAKSINASI

  1. Vaksin haram karena menggunakan media ginjal kera, babi, aborsi bayi, darah orang yang tertular penyakit infeksi yang notabene pengguna alkohol, obat bius, dan lain-lain. Ini semua haram dipakai secara syari’at.
  2. Efek samping yang membahayakan karena mengandung mercuri, thimerosal, aluminium, benzetonium klorida, dan zat-zat berbahaya lainnya yg akan memicu autisme, cacat otak, dan lain-lain.
  3. Lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya, banyak efek sampingnya.
  4. Kekebalan tubuh sebenarnya sudah ada pada setiap orang. Sekarang tinggal bagaimana menjaganya dan bergaya hidup sehat.
  5. Konspirasi dan akal-akalan negara barat untuk memperbodoh dan meracuni negara berkembang dan negara muslim dengan menghancurkan generasi muda mereka.
  6. Bisnis besar di balik program imunisasi  bagi mereka yang berkepentingan. Mengambil uang orang-orang muslim.
  7. Menyingkirkan metode pengobatan dan pencegahan dari negara-negara berkembang dan negara muslim seperti minum madu, minyak zaitun, kurma, dan habbatussauda.
  8. Adanya ilmuwan yang menentang teori imunisasi dan vaksinasi.
  9. Adanya beberapa laporan bahwa anak mereka yang tidak di-imunisasi masih tetap sehat, dan justru lebih sehat dari anak yang di-imunisasi.



PRO VAKSINASI

Kubu Pro dengan Konsep: PREVENTIF / SADD AL- DZARI’AH
Sebagaimana prinsip Pencegahan dalam Islam :
      Larangan mencela Tuhan agama lain (6:108)
      Larangan mencaci orang tua orang lain
      Menundukan pandangan (tidak mendalamkan pandangan)
      Berkhalwat
      Membangun Masjid diatas Kubur
Semua hal diatas telah diatur dalam Islam dengan tujuan pencegahan sebelum terjadi dosa yang lebih besar.
Demikian juga halnya, Vaksinasi juga digunakan sebagai tindakan preventif unutk : Kekebalan Tubuh, Mencegah penyebaran virus.
Selain itu, menurut kubu Pro :
      Efek Samping è dapat diminimalisir
      Tidak terjebak dengan isu-isu yang tidak ilmiah
      Pola hidup negara berkembang vs negara maju
      Tidak adanya fatwa keharaman secara tegas dari atas nama ulama yang kridibel maupun lembaga fatwa, malahan yang ada adalah kebolehannya

DASAR KEBOLEHAN
1.      KEDARURATAN
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. Al-Baqarah [2] : 173).

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas (Q.S. Al-An’am [6] : 119).

DHORUROT
Dikatakan kondisi darurat yang dimaksud tentunya memiliki ketentuan :
Harus memenuhi syarat : tidak ada pengganti lainnya yang mubah/halal; dan mencukupkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan saja dan tidak berlebih-lebihan.
         Dasar ini yang digunakan Komisi Fatwa MUI dalam membuat fatwa vaksin polio.

2.      MENGHILANGKAN KESULITAN
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.      (QS al-Baqarah [2] : 183).

3.      ISTIHALAH
Berubahnya suatu menjadi HALAL dimana benda yang awalnya NAJIS atau HARAM menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya, misalnya karena proses kimia.
Contoh :
      Khamar (alkohol) menjadi cuka
      Kulit bangkai ketika disamak menjadi suci
      Binatang Jallalah (tiap hari makan najis) seperti ikan lele, ayam dll
      Penggunaan gelatin/enzim tripsin pankreas babi dalam vaksin

4.      ISTIHLA’
BERCAMPURNYA benda HARAM/NAJIS dengan benda lainnya yang SUCI DAN HALAL yang lebih banyak, sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.
(Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya – HR. tiga orang [at-Turmuzi, Abu Dawud, dan Ahmad bin Hanbal] dan dishahihkan oleh Ahmad – Ibnu Hajar al-Asqalani, 2000 : 27).

‘Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak kotor. Dalam suatu riwayat ‘tidak najis. HR. Empat orang [at-Turmuzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Ibnu Khuzaimah menshahihkannya – Ibnu Hajar a-Asqalanbi, 2000: 28).
  





Pada proses pembuatan VAKSIN ada proses penyucian dan dianalisis produk akhir tidak terdapat kandungan babi. Bersinggungan tidak sama dengan Mengandung. Sebagian vaksin memang ada menggunakan enzim dari babi, namun enzim yang digunakan untuk membantu mempercepat reaksi sehingga “hasil panen” banyak, namun yang namanya enzim hanya katalisator tidak menjadi produk dan akan kembali menjadi enzim. Masih ingat pelajaran Biologi ? atau Biokimia ? Bahwa :

(S) Substrat + E (Enzim) à P (Produk) + E (Enzim)


Dalam hal ini Enzim akan memisah kembali tanpa menjadi produk. Selain itu dalam proses pembuatan vaksin juga terdapat proses pencucian dan pemurnian hingga diperoleh produk yang murni, serta diakhir proses dilakukan analisis kandungan babi, tidak diperoleh kembali adanya kandungan DNA babi tersebut.


Jika berdasarkan pernyataan para pakar
yang ada bahwa enzim tripsin pada vaksin hanya sebagai katalisator. Dalam ilmu kimia dan farmasi kita ketahui bahwa Katalisator artinya suatu zat utk mempercepat laju reaksi. Enzim sebagai katalisator ini hanyalah pemicu mempercepat reaksi dan tidak ikut menjadi produk dan bukan menjadi bagian dari vaksin.

Sehingga jika berasal dari babi sekalipun campuran tersebut sudah hilang (karena Enzim + Substrat akan menjadi Produk + Enzim kembali. Jadi tidak mejadi produk namun akan lepas menjadi enzim kembali, selain itu pada proses pembuatan akan dilakukan filtrasi/penyaringan/pemurnian dan pencucian berulang-ulang sehingga diakhir produk diuji tidak terkandung lagi komponen enzim biasanya dikotak vaksin tertulis obat ini telah BERSINGGUNGAN dengan babi ataupun redaksi lain nah ini yang jadi perdebatan. Bersinggungan dengan babi tidak sama dengan mengandung babi). Walaupun bersinggungan Ingat lagi konsep istihlah dan istila’ serta hukum kedaruratan.

 
Contoh lain:
Air pam dibuat dari air sungai yang mengandung berbagai macam kotoran dan najis namun manjadi bersih dan halal setelah diproses.

Dalam proses pembutan vaksin enzim tripsin babi hanya dipakai sebagai ENZIM PROTEOLITIK, enzim untuk katalisator pemisah sel/protein.

Pada hasil akhirnya (vaksin) enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan penyaringan
ini penjelasan dari direktur perencanaan dan
pengembangan PT. Biofarma (perusahaan pembuat vaksin diindonesia) Drs. Iskandar Apt. MM.

Jika pernyataan beliau ini benar maka menurut tulisan ummul hamam maka tidak bisa dikatakan bahwa vaksin ini haram karena minimal bisa kita kiaskan dengan binatang jallalah yaitu binatang yang biasa makan barang najis, namun halal dimakan seperti penjelasan sebelumnya.  Binatang ini bercampur dengan najis yang haram dimakan misalnya ayam, lele dll, namun binatang ini halal dikonsumsi.

Akhir tulisan beliau Ummul Hamam :
Jika saja binatang yang jelas-jelas bersatu langsung dengan najis karena makanannya kelak akan menjadi darah daging akan tetapi binatang tersebut bisa dimakan seperti ayam dan lele
maka jika hanya s
ebagai katalisator sebagaimana penjelasan pakar di atas serta tidak dimakan menjadi makanan pokok sehari-hari (hanya untuk obat dengan tujuan preventiv terhadap penyakit yang jika terjadi akan lebih besar mudhoratnya) in sya Allah lebih layak lagi dipergunakan atau minimal sama.


Dasar lain:
5. PENCEGAHAN

Pengobatan untuk mencegah terjadinya penyakit adalah hal yang dibolehkan.

Penggunaan vaksin berupa zat y
ang bermanfaat dan halal adalah hal yang dibolehkan berdasarkan dalil umum tentang pembolehan untuk berobat.

Sebagian efek semntara y
ang timbul akibat vaksinasi berupa panas dan semisalnya adalah hal yang tidak dipermasalahkan selama ada manfaat yang lebih besar yang terkandung pada vaksin tersebut. Hal itu sebagaimana khitan pada seseorang yang membahayakan lantaran rasa sakit dalam proses khitan itu, tetapi tidak dipermasalahakan karen manfaat khitam sangat besar.

Namun, kalau terbukti berdasarkan ilmu kedokteran bahwa vaksin memberi bahaya yang lebih besar daripada manfaatnya maka seseorng tidak diperbolehkan untuk melakukannya karena Allah berfirman : Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri kedalam kebinasaan  (Al-Ayah) serta rasulullah bersabda : “Tidak diperbolehkan ada bahaya dan pembahayaan.” (Diriwayatkan oleh sejumlah sahabat) Disahihkan oleh Al Albany dalam ‘Irwa’ Al-Ghalil no. 896).


Dan dalam ilmu Farmakologi :
Menurut Paracelsus

Obat adalah Racun yang Membedakannya adalah DOSIS

Sehingga kalau menggunakan obat harus dengan panduan dan arahan yang ahli karena jika dosis berlebihan akan menjadi racun (overdose) toksik bahkan letal/mematikan, jika dosis kurang maka tidak berefek/subterapi.

Selebihnya sesuai dengan apa yang kita yakini, tentunya berkonsultasi kepada ulama yang ahli dibidangnya dan tenaga medis atau nakes yang ahli dibidangnya.  

Jangan berdebat tanpa ilmu.
Serahkan segala urusan kepada Ahlinya.  
Berlapang-dadalah dalam perbedaan, hingga jelas fatwa keharamannya. Jangan saling mengingkari dan mengkafirkan dalam perkara Ijtihad. Semoga bermanfaat.
Sebagai tenaga kesehatan, Saya sangat merekomendasikan VAKSINASI. Jika berbeda pendapat, wallahu a’lam bish showaf.
  

Lampiran Fatwa :
  
1. Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Ketika beliau ditanya ditanya tentang hal ini,

ما هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟

“Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa musibah?”

Beliau menjawab,

لا بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء بسببها فلا بأس بتعاطي الدواء لدفع  لبلاء الذي يخشى منه لقول النبي صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح: «من تصبح بسبع تمرات من تمر المدينة لم يضره سحر ولا سم (1) » وهذا من باب دفع البلاء قبل وقوعه فهكذا إذا خشي من مرض وطعم ضد الوباء الواقع في البلد أو في أي  كان لا بأس بذلك من باب الدفاع، كما يعالج المرض النازل، يعالج بالدواء المرض الذي يخشى منه.

La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”

Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.



2. Fatwa Majelis Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian [المجلس الأوربي للبحوث والإفتاء]

Memutuskan dua hal:

أولا: إن استعمال هذا الدواء السائل قد ثبتت فائدته طبيا وأنه يؤدي إلى تحصين الأطفال ووقايتهم من الشلل بإذن الله تعالى، كما أنه لا يوجد له بديل آخر إلى الآن، وبناء على ذلك فاستعماله في المداواة والوقاية جائز لما يترتب على منع استعماله من أضرار كبيرة، فأبواب الفقه واسعة في العفو عن النجاسات – على القول بنجاسة هذا السائل – وخاصة أن هذه النجاسة مستهلكة في المكاثرة والغسل، كما أن هذه الحالة تدخل في باب الضرورات أو الحاجيات التي تن-زل من-زلة الضرورة، وأن من المعلوم أن من أهم مقاصد الشريعة هو تحقيق المصالح والمنافع ودرء المفاسد والمضار.

ثانيا: يوصي المجلس أئمة المسلمين ومسئولي مراكزهم أن لا يتشددوا في مثل هذه الأمور الاجتهادية التي تحقق مصالح معتبرة لأبناء المسلمين ما دامت لا تتعارض مع النصوص القطعية

Pertama:

Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis.  Obat semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.

Kedua:

Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qath’i).


 3. Fatwa dari Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiya
Pertanyaan dari Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup, tentang status hukum vaksin, khususnya untuk imunisasi polio yang dicurigai memanfaatkan enzim dari babi.

Jawaban:

Sebagai kesimpulan, dapatlah dimengerti bahwa vaksinasi polio yang memanfaatkan enzim tripsin dari babi hukumnya adalah mubah atau boleh, sepanjang belum ditemukan vaksin lain yang bebas dari enzim itu. Sehubungan dengan itu, kami menganjurkan kepada pihak-pihak yang berwenang dan berkompeten agar melakukan penelitian-penelitian terkait dengan penggunaan enzim dari binatang selain babi yang tidak diharamkan memakannya. Sehingga suatu saat nanti dapat ditemukan vaksin yang benar-benar bebas dari barang-barang yang hukum asalnya adalah haram.



Sumber :

Narasumber Seminar The Medical and Islamic Perspectives of Vaccination, 29 Maret 2015 di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura (dr. Arifianto, Sp.A dan Ust. Didik Nur Haris, Lc., MSh.)
 


Hadi Kurniawan Apt
Hadi Kurniawan Apt Just Cool Just Smile

No comments for "THE MEDICAL AND ISLAMIC PERSPECTIVES OF VACCINATION"