Potensi Jeringau Merah (Acorus sp.) Endemik Kalimantan Barat sebagai Obat Penyakit Demam Berdarah
Potensi Jeringau Merah (Acorus sp.) Endemik Kalimantan Barat
sebagai Obat Penyakit Demam Berdarah
Oleh: Hadi Kurniawan, S.Farm.
Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) merupakan salah satu penyakit menular berbahaya yang dapat menimbulkan
kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan wabah. Penyakit Demam
Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus Dengue dan terutama menyerang anak-anak
dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak dengan manifestasi perdarahan dan
bertendensi menimbulkan shock dan
kematian. Masa inkubasi penyakit ini diperkirakan lebih kurang 7 hari (Siregar,
2004). Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok
Indonesia kecuali ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut
karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak
memungkinkan bagi nyamuk untuk hidup dan berkembangbiak. Demam berdarah
(DB) banyak ditemukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip
dengan malaria. Kalimantan Barat sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia
merupakan salah satu wilayah yang rawan terhadap wabah demam berdarah. Pada
tahun 2011, jumlah penderita DBD di Kalbar
mengalami kejadian sekitar 1000 kasus lebih (Dinkes Prov., 2012).
Demam berdarah merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan
gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah. Sebagian besar penderita demam berdarah akan mengalami
trombositopenia yaitu penurunan kadar trombosit darah (defisiensi trombosit).
Apabila hal ini terus dibiarkan maka akan terjadi pemecahan pembuluh darah
akibat bocornya plasma. Defisiensi trombosit dapat menyebabkan pendarahan
karena tidak adanya zat yang dapat menutup luka-luka kecil yang berada dibawah
kulit dan seluruh jaringan serta pembuluh darah. Seperti telah diketahui bahwa
trombosit merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembekuan dan
perbaikan jaringan tubuh. Trombosit merupakan salah satu zat yang menjadi
faktor dalam hal menutup pendarahan-pendarahan kecil pada pembuluh darah. Oleh
sebab itu, pemberian suatu zat yang dapat meningkatkan trombosit dipandang
sangat perlu mengingat bahaya yang ditimbulkan akibat defisiensi trombosit ini
(Pratiwi, dkk., 2010).
Penyakit DBD ini disebabkan oleh virus Dengue
yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegepty.
Virus Dengue merupakan virus RNA
untai tunggal, genus Flavovirus. Apabila virus ini telah menyerang tubuh pada
saat pertahanan tubuh (sistem imun tubuh) tidak kuat, maka virus ini dapat
bereplikasi dengan mudah dan akan mengganggu pembentukan trombosit di dalam sumsum
tulang belakang. Berdasarkan data ilmiah (Rampengan, 2007) bahwa Virus Dengue telah terbukti menekan produksi
trombosit di sumsum tulang melalui aksi destruksif langsung virus pada sel
prekursor di sumsum tulang.
Jeringau merah (Acorus sp.)
merupakan salah satu tanaman endemik Kalimantan Barat yang memiliki kandungan
kimia berpotensi untuk dikembangkan sebagai herbal terstandar khususnya sebagai
imunomodulator dan meningkatkan jumlah trombosit pada penderita demam berdarah sehingga
cocok menjadi obat alternatif bagi penderita Demam Berdarah Dengue (DBD)
(Pratiwi, dkk., 2010). Ada beberapa tempat di wilayah Kalimantan Barat sebagai
habitat aslinya seperti wilayah Sanggau, Ngabang, dan Kapuas Hulu dengan
karakteristik seperti jeringau biasa tetapi memiliki pangkal daun berwarna
merah serta rimpang yang berwarna coklat kemerahan (Purwaningsih, 2009). Tumbuhan
ini telah secara turun temurun dimanfaatkan oleh
masyarakat dayak yang tinggal di pedalaman dan jauh dari sistem pelayanan
kesehatan formal seperti rumah sakit dan puskesmas sebagai ramuan obat
tradisional demam berdarah.
Tanaman jeringau merah (Acorus sp.)
ini telah dilakukan uji praklinis oleh Purwaningsih, 2009 yakni melalui pengujian
imunomodulator yang dilakukan dengan metode peningkatan aktivitas dan kapasitas
bakteri terfagosit dari makrofag peritoneum mencit. Antigen yang digunakan
dalam penelitian Purwaningsih (2009), adalah Staphylococcus epidermis yang merupakan bakteri gram positif
sehingga dapat mengikat warna giemsa.
Penampakan bakteri tersebut di bawah mikroskop mudah diamati karena sel
memiliki bentuk bulat. Bakteri ini digunakan sebagai parameter untuk mengetahui
tingkat efektifitas ekstrak dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
Sistem imun merupakan suatu sistem kekebalan yang dibutuhkan oleh tubuh.
Tubuh memiliki suatu sistem imun yang dapat melindungi atau menghalangi
masuknya antigen yang dapat menyebabkan infeksi. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Purwaningsih (2009), uji pendahuluan antimikroba dengan bakteri uji Staphylococcus epidermis, menunjukkan
bahwa fraksi etil asetat memiliki aktivitas antimikroba tertinggi didasarkan
pada area bening di sekitar kertas saring. Kemudian fraksi ini dibuat variasi
seri konsentrasi dan dihasilkan fraksi etil asetat pada konsentrasi 1000 ppm
memberikan nilai presentasi aktivitas dan kapasitas terfagosit yang lebih tinggi
yaitu masing-masing sekitar 85,667% dan 957,333 bakteri. Ini menunjukkan bahwa
meningkatnya konsentrasi fraksi uji akan meningkatkan aktivitas terfagositosis.
Melalui penelitian Purwaningsih (2009), dapat diketahui efektivitas fraksi
etil asetat sebagai imunomodulator dalam mencegah atau menanggulangi infeksi
yang diakibatkan mikroba. Setiap antigen yang masuk dalam tubuh akan direspon
oleh tubuh. Salah satu bagian tubuh yang dapat merespon adanya antigen yang
merugikan tubuh adalah makrofag. Adanya efek imunolodulator akan meningkatkan
efisiensi obat. Interaksi antara antimikroba dan sel fagositik akan terjadi
saat makrofag telah diinfeksi dengan bakteri dan ditambahkan ekstrak, fraksi
dan kontrol positif (stimuno yang mengandung komponen tunggal
ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L)).
Berdasarkan penelitian selanjutnya
yang telah dilakukan oleh Pratiwi, dkk., 2010 bahwa dari hasil skrining
fitokimia menunjukkan adanya flavonoid
dalam rimpang jeringau merah (Acorus sp.), yang mampu
menaikkan trombosit
darah pada hewan uji. Flavonoid secara umum telah diketahui memiliki aktivitas
sebagai antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergi, antimutagenik,
antioksidan dan aktivitas vasodilatasi. Flavonoid merupakan salah satu jenis senyawa fenol, yaitu bioaktif yang
akan mengubah reaksi tubuh terhadap senyawa lain. Sebagai antivirus dan
antioksidan, flavonoid ini bekerja dengan 2 mekanisme aksi, yang pertama dengan
cara meningkatkan zat antibodi yang berperan dalam proses peningkatan sistem
imunitas tubuh, sehingga walaupun virus Dengue
ini menyerang tubuh, virus tetap tidak dapat menekan produksi trombosit
pada sumsum tulang belakang. Mekanisme kedua ialah melalui penghambatan
terhadap enzim pembentuk RNA virus Dengue.
Seperti telah diketahui bahwa RNA merupakan komponen yang berperan penting
dalam sintesis protein. Jika pembentukan RNA virus terganggu, maka virus dapat
mati karena tidak mendapatkan komponen-komponen yang diperlukan untuk
pertumbuhannya. Dengan adanya penghambatan terhadap RNA maka replikasi virus
juga akan terganggu. Adanya penurunan kuantitas dan aktivitas virus dalam tubuh
dapat mengembalikan fungsi sistem tubuh lain untuk membentuk trombosit
dalam jumlah normal sehingga jumlah
trombosit akan meningkat (Pratiwi, dkk.,
2010).
Flavonoid ini berpotensi untuk
meningkatkan trombosit darah. Berdasarkan penelitian, flavonoid ini mampu
meningkatkan zat antibodi yang berguna dalam pembentukan trombosit. Mekanisme
flavonoid dalam pembentukan zat antibodi adalah dengan cara berikatan dengan Limfosit B, dimana limfosit B merupakan zat yang
dibentuk di sumsum tulang belakang. Flavonoid bersama dengan Limfosit B yang
berperan sebagai mediator imunitas, kemudian akan mengalami transformasi
menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Dengan
meningkatnya antibodi ini maka produksi trombosit juga semakin meningkat.
Selain itu antigen juga merupakan salah satu bahan penyusun trombosit, sehingga
dengan meningkatnya jumlah antigen maka akan terjadi pembesaran massa sel pada
sumsum tulang belakang yang memicu sel tersebut untuk membentuk megakariosit.
Megakariosit ini kemudian akan mengalami pematangan dan akhirnya terjadi
fragmentasi sel yang merupakan trombosit baru dengan jumlah yang lebih banyak.
Antigen meningkat, akan semakin banyak produksi antibodi (Pratiwi, dkk., 2010).
Flavonoid dalam rimpang jeringau
terdapat dalam bentuk berikatan dengan gula glikosida. Adanya ikatan dengan
gula glikosida ini dapat menjadikan flavonoid berpotensi sebagai sumber energi
dalam pembentukan trombosit. Salah satu faktor
yang mempengaruhi pembentukan trombosit adalah sumber energi. Energi
untuk reaksi trombosit berasal dari fosforilasi oksidatif dalam mitokondria dan
glikolisis anaerobik dengan memakai glikogen trombosit. Oleh sebab itu,
keberadaan gula glikosida disini akan sangat membantu dalam produksi trombosit
(Pratiwi, dkk., 2010).
Berdasarkan kajian pustaka yang
telah dilakukan menunjukkan rimpang jeringau merah (Acorus sp.) mengandung
flavonoid yang efektif meningkatkan trombosit. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa granul jeringau merah (Acorus sp.) dapat
meningkatkan trombosit karena berbeda tidak signifikan dengan kontrol positif
pada perlakuan jeringau merah dosis 100% dari 100% dosis empiris dan dosis 50%
dari 150% dosis empiris. Pengujian praklinis kepada marmut memberikan hasil
bahwa hewan uji yang diberi granul rimpang jeringau merah (Acorus sp.) dengan
dosis 100% dari 100% dosis empiris, mengalami peningkatan jumlah trombosit
rata-rata 72x103/µL, dosis 50% dari 150% dosis empiris, mengalami
peningkatan jumlah trombosit rata-rata 65x103/µL (Pratiwi, dkk., 2010). Sementara Rahayu, dkk., 2009 melakukan pengujian terhadap fraksi etil asetat jeringau
merah (Acorus
sp.) memiliki aktivitas bakteri
terfagositosis terbesar yaitu 85,667% dan jumlah bakteri sebanyak 957,333 dan
fraksi etil asetat jeringau merah (Acorus sp.) memiliki aktivitas peningkatan jumlah
trombosit 80-100 pada hewan uji dengan kadar ekstrak sebesar 10 ppm. Kemudian Pengujian imunomodulator fraksi etil asetat pada
konsentrasi 1000 ppm memberikan nilai presentasi aktivitas terfagosit (makrofag
aktif) dan kapasitas terfagosit (bakteri terfagosit) yang lebih tinggi yaitu
masing-masing sekitar 85,667% dan 957,333 bakteri (Purwaningsih, dkk., 2009).
Sehingga dapat disimpulkan rimpang
jeringau merah (Acorus sp.) memiliki
potensi sebagai obat tradisional penyakit demam berdarah. Lalu disarankan
perlunya penelitian lebih lanjut mengenai kandungan senyawa aktif rimpang
jeringau ini yakni uji lanjut pada isolat aktif dan penentuan struktur senyawa
aktif dari tumbuhan tersebut serta perlunya dilakukan pengujian aktivitas
jeringau terhadap penghambatan pertumbuhan virus.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan, 2012, Dinas Kesehatan Kalbar Imbau Waspadai DBD, Pontianak: Departemen Kesehatan Provinsi.
Pratiwi, A., Kurniawan, H., Helmi, H., Ropiqa M., dan Rahmawati, S., 2010, Pengembangan Jeringau Merah (Acorus sp.) Endemik Kalimantan Barat sebagai Herbal Terstandar untuk Meningkatkan Trombosit pada Pasien Demam Berdarah. Pontianak: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura.
Purwaningsih, 2009, Budidaya dan Pengembangan Jeringau Merah
(Acorus sp.) Endemik Kalimantan Barat sebagai Fitofarmaka Imunostimulan,
Laporan Penelitian Dana DIPA UNTAN.
Rahayu,
S., Soejoed, S.A.S, Andi, I.H., dan Utami, E.K., 2009, Pengembangan Jeringau Merah Endemik Kalimantan Barat sebagai Herbal
Terstandarisasi Anti Virus Demam Berdarah
(Dengue Hemoragik Fever). Laporan Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai
Prioritas Nasional.
Rampengan T., 2007, Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue. Dalam: Penyakit Infeksi
Tropik pada Anak. Jakarta: EGC: 122-149.
Siregar, F.A., 2004, Epidemiologi
dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Indonesia, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara: USU Digital Library.
saya mo lihat gambar jerangau merah ada gk bang hadi?
ReplyDelete