TUGAS KELOMPOK PKPA APOTEK S J S N
TUGAS KELOMPOK PRAKTIK KERJA
PROFESI APOTEKER
ANALISIS KASUS
SISTEM JAMINAN SOSIAL
NASIONAL (SJSN)
Oleh :
Ani Nurani Istiqomah, S.Farm.
|
12811020
|
Anna Indria Suryani, S.Farm.
|
12811085
|
Arief Prasetya Ardi, S.Farm.
|
12811084
|
Hadi Kurniawan, S.Farm.
|
12811090
|
PRAKTIK KERJA PROFESI
APOTEKER (PKPA)
APOTEK BABARSARI
PERIODE 1 OKTOBER-30
NOVEMBER 2012
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Salah satu bentuk
perlindungan sosial untuk menjamin agar setiap orang atau warga negara berhak
atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan
meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang
sejahtera.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah telah mengesahkan UU No. 40
tahun 2004 tentang SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (SJSN).
Indonesia adalah satu dari sedikit negara
berkembang yang mengalami masalah sosial-ekonomi besar karena kekeliruan
mendasar dalam praktik peran pemerintah. Empat bidang yang seharusnya menjadi
pilar pelayanan pemerintah yaitu kesehatan, pendidikan, hukum/pengadilan, dan
keamanan dijadikan komoditas pasar malah ‘diperdagangkan’. Kekeliruan ini telah
menimbulkan risiko sosial-ekonomi rakyat (insecurity) menjadi tinggi.
Dalam kondisi tingginya risiko tersebut, wajarlah jika masing-masing orang
mencari jalannya sendiri-sendiri (meskipun tidak bisa ditolerir) untuk
memastikan (to secure) kehidupannya dan keluarganya di masa datang.
Reformasi kebijakan sosial yang menjamin rakyat
dapat memenuhi kebutuhan dasar, khususnya dalam bidang kesehatan, sesungguhnya
telah dimulai melalui implementasi awal pengembangan Jaminan/Asuransi Kesehatan
Nasional (AKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pengalaman
penyelenggaraan Askes, secara Nasional, selama 40 tahun sudah lebih dari cukup
untuk memperluas cakupan AKN secara Nasional. Hanya saja, kerja keras berbagai
pihak masih diperlukan untuk memastikan bahwa pengambil keputusan, akademisi,
politisi, dan pengawas sosial tidak memikirkan kepentingan jangka pendek yang
merusak fondasi dan tatanan sosial yang yang kuat yang berkesinambungan. Untuk
10 tahun ke depan, strategi utama perluasan AKN adalah memperluas cakupan
kepada penduduk yang saat ini belum memiliki jaminan kesehatan dari sumber
manapun.Sementara yang kini telah memperoleh jaminan kesehatan, misalnya dari perusahaan
yang membeli asuransi kesehatan swasta, dapat berpindah ke system AKN yang jauh
lebih murah setiap saat mereka merasa lebih diuntungkan. Untuk mencapai hal
tersebut, maka status badan hukum badan penyelenggara yang kini PT. Persero
harus diubah menjadi BPJS, suatu badan hukum publik milik seluruh peserta,
dengan tetap menggunakan style manajemen perusahaan untuk efisiensi dan
efektifitas. Pengelolaan korporat yang baik merupakan syarat esensial untuk mendapat
kepercayaan publik (Thabrany, 2008).
B. Tujuan
1.
Mengetahui apa itu
SJSN dan penerapannya di Negara Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asas SJSN
1. 1. Asas kemanusiaan
- Asas manfaat
- Asas keadilan sosial
B. Tujuan SJSN
1. Untuk terpenuhinya kebutuhan
dasar hidup yang layak
C. Prinsip SJSN
1. 1. Asuransi
- kegotongroyongan
- nirlaba
- keterbukaan
- keberhati-hatian
- akuntabilitas dan
probabilitas
- kepesertaan bersifat
wajib
- dana amanat dan hasil
pengelolaan seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesar-besarnya
kepentingan peserta.
Suatu
cara kegotongroyongan yang terorganisasikan dengan memberikan santunan /
pertolongan pada sesama yang membayar iuran. Dengan iuran yang
dibayar secara rutin akan mendapatkan manfaat:
1. Meringankan beban biaya
ketika sakit (jaminan kesehatan) atau mengalami kecelakaan kerja (jaminan
kecelakaan kerja).
- Menerima sejumlah uang
tunai ketika memasuki usia pensiun/hari tua (jaminan hari tua).
- Menerima sejumlah uang
bulanan seumur hidupnya ketika menjalani pensiun (jaminan pensiun).
- Ahli waris menerima
sejumlah uang ketika peserta meninggal dunia (jaminan kematian).
D. Sistem
Jaminan Sosial Nasional
Dengan dilaksanakannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
di bidang kesehatan, kebutuhan obat-obatan di Tanah Air, khususnya obat
generik, dipastikan akan meningkat. Penerapan sistem pembiayaan kesehatan dan target
cakupan semesta obat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di bidang
kesehatan mulai 1 Januari 2014, membuat target pasar obat publik meningkat
hampir tiga kali lipat untuk memenuhi kebutuhan 240 juta penduduk (Kompas,
April 2012).
Menurut Tarcisius T. Randy, Head of Marketing and Sales PT. Dexa Medica, salah satu dampak
nyata dari pemberlakuan SJSN adalah tingginya permintaan akan obat, dan ini
merupakan peluang bagi obat generik berlogo (OGB) untuk lebih banyak digunakan
oleh masyarakat. "Yang pasti penggunaan OGB akan meningkat karena
Jaminan Sosial bidang kesehatan ini adalah program dari Pemerintah. Maka, pasti
diutamakan OGB yang dipergunakan, sebab Obat Generik Berlogo juga adalah program
Pemerintah," ungkap Tarcisius, Jumat (5/10/2012), menjawab pertanyaan KOMPAS.com
perihal kesiapan perusahaan tersebut menghadapi program Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN). Ia menambahkan, peluang pasar OGB akan cukup besar, apalagi
ketika SJSN 2014 sudah berlaku, kebutuhannya bisa mencapai Rp 10 triliun. Tak
heran, bila tingginya kebutuhan ini akan membuat persaingan industri farmasi di
Indonesia akan
semakin ketat karena akan banyak perusahaan yang memproduksi obat generik.
"Beberapa Industri sudah meningkatkan kapasitas
produksi dan bahkan membangun pabrik baru. Persaingan obat generik pasti
akan meningkat karena mulai bertambahnya pemain baru atau perusahaan swasta
lainnya yang akan memproduksi OGB," tegasnya.
Menurut data Kementerian Kesehatan, saat ini ada sekitar 236
industri farmasi yang memenuhi kebutuhan obat di Tanah Air. Nilai pasar farmasi
di Indonesia sekitar Rp 44 triliun dengan Rp 4,4 triliun (10 persen) merupakan
obat generik. Kebutuhan obat nasional saat ini dipenuhi industri lokal sebesar
90 persen walau sekitar 90 persen bahan baku obat masih diimpor. Sisanya, obat
diimpor.
Kementerian Kesehatan juga telah menyiapkan roadmap
untuk mendukung Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Terkait penyediaan dan
pemerataan obat, dikembangkan estimasi kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan
melalui e-logistic tahun 2012.
Menghadapi penerapan BPJS kesehatan pada 2012 ini, kata
Tarcisius, Dexa Medica telah menyiapkan sejumlah rencana strategis seperti
meningkatkan kapasitas produksi dan menyiapkan produk baru. "Kami
meningkatkan kapasitas produksi OGB khususnya, dan juga menyiapkan produk
produk baru yang menurut perkiraaan kami akan banyak dipergunakan oleh BPJS
nantinya," terangnya. Selain itu Deca Medica juga jterus
melakukan edukasi dan sosialisasi OGB kepada seluruh masyarakat untuk
meyakinkan bahwa kualitas OGB terjamin, produknya lengkap dan harganya
terjangkau.
"Tujuan utama kami adalah mendukung program pemerintah
agar program pemerintah ini dapat terlaksana dengan baik dan seluruh masyarakat
tidak khawatir lagi menggunakan OGB terutama OGBdexa karena masyarakat benar
benar sudah mengetahui dan percaya dengan Obat Generik berlogo," tandasnya (JAKARTA,
KOMPAS.com).
Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron
Mukti mengatakan mulai awal 2014 Sistem Jaminan Sosial Nasional dijalankan
secara bertahap sehingga pada 2019 seluruh masyarakat diharapkan sudah memiliki
jaminan sosial. "Dengan
demikian tidak akan ada lagi masyarakat yang tidak memiliki jaminan sosial.
Rumah sakit juga tidak boleh menolak masyarakat untuk berobat," katanya
pada Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) Sumatera Utara yang dirangkai
dengan peluncuran serta simulasi Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT) di Medan, Rabu.
Ia mengatakan dengan berlakunya SJSN
tersebut seluruh warga akan dijamin pelayanan kesehatan. Pemerintah membayar
iuran premi untuk warga miskin, sementara untuk warga pekerja informal yang
gajinya tidak tetap, perlu diatur lagi.
Pelaksanaan SJSN merupakan kelanjutan dari sistem jaminan kesehatan masyarakat yang sudah dibuat pemerintah. Hanya saja, pengelolaan SJSN lebih sistematis di seluruh Indonesia.
Pelaksanaan SJSN merupakan kelanjutan dari sistem jaminan kesehatan masyarakat yang sudah dibuat pemerintah. Hanya saja, pengelolaan SJSN lebih sistematis di seluruh Indonesia.
Sementara Plt. Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo
Nugroho mengatakan dengan keluarnya UU
No. 24 tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) merupakan terobosan besar yang dilakukan
oleh pemerintah untuk menjamin bahwa penduduk pendapatkan haknya dalam
pelayanan kesehatan.
Dengan BPJS, penyelenggaraan jaminan
pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan oleh masing-masing pemerintah
daerah saat ini, akan terhimpun menjadi satu dengan menerapkan pola
penyelenggaraan yang sama, sehingga pasien benar-benar menjadi subjek dalam
pelayanan kesehatan. Untuk
menyongsong SJSN ini, Sumut perlu berbenah diri karena bila SJSN dilaksanakan,
penyedia pelayanan kesehatan akan menghadapi kompetisi ganda. Karena
kompetisi itu bukan hanya datang dari lingkungan eksternal tetapi juga internal
yakni antar fasilitas pelayanan kesehatan di Sumut.
"Yang saya khawatirkan dan pertanyakan adalah sudah siapkah fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah di Sumut untuk menyongsong SJSN. Saya menaruh harapan besar kepada saudara sekalian yang hadir hari ini untuk mampu menyusun strategi, kebijakan, dan langkah yang harus dilakukan," katanya Medan (ANTARA News).
"Yang saya khawatirkan dan pertanyakan adalah sudah siapkah fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah di Sumut untuk menyongsong SJSN. Saya menaruh harapan besar kepada saudara sekalian yang hadir hari ini untuk mampu menyusun strategi, kebijakan, dan langkah yang harus dilakukan," katanya Medan (ANTARA News).
BAB III
PEMBAHASAN
Masyarakat Indonesia pada umumnya sangat senang
mendengar bahwa Indonesia sebentar lagi akan menerapkan Sistem Jaminan Sosial
Nasional atau sering dikenal dengan SJSN yang berarti nantinya segala
pembiayaan kesehatan meliputi biaya periksa, berobat akan dihandle oleh asuransi. Sehingga
Masyarakat yang notabene digolongkan “miskin” juga dapat mendapatkan pelayanan
kesehatan tanpa khawatir dengan biaya karena ada asuransi sosial yang
menanganinya. Ini merupakan kemajuan dan patut diacungi jempol, tetapi melihat
situasi bangsa ini yakinkah SJSN akan berjalan?
Sebagai
ilustrasi, apabila asuransi yang digunakan mengharuskan masyarakat untuk
membayar premi misalnya
tahunan. Apakah mereka mau untuk membayarkan itu? Terlepas dari urusan
birokrasi yang panjang,
sebagian orang akan menjadi
pesimis untuk menjawab “Ya” kalau tidak diiringi dengan penyadaran masyarakat
akan asuransi, karena masyarakat kita belum banyak yang berpikir bahwa
“sisihkan uang untuk investasi biaya kesehatan” itu sangat bermanfaat,
kebanyakan mereka masih berpikir “Ooooo hari ini saya makan ini, besok mau
makan ini, saya harus beli ini dan itu”. Dengan kata lain kebanyakan masyarakat
kita masih berjiwa “konsumtif” sementara hanya sedikit yang berjiwa
“wirausaha”. Kita berlomba-lomba untuk membeli sepeda motor, televisi atau
apalah tetapi kita selalu lupa akan menginvestasikan sedikit uang kita untuk
asuransi. Hal
ini patut menjadi sorotan kita sebelum menjalankan SJSN, kita juga harus
mengubah pandangan
dari “konsumtif” menjadi “enterpreneur” supaya masyarakat sadar bahwa Asuransi
merupakan investasi untuk kesehatan.
Memang
kelihatannya asuransi itu “merugikan” karena pembayaran premi dilakukan rutin,
sementara fasilitas kadang tidak kita dapatkan dikarenakan kita tidak
mendapatkan “sakit”, dan muncullah pertanyaan yang menggelitik “uang yang
dibayarkan lari kemana?” Nah pandangan-pandangan seperti ini ternyata masih
banyak beredar di Negara kita. Dalam hal ini mungkin kita harus berpikir sederhana
ketika kita akan ikut dalam
asuransi supaya tidak merasakan “rugi”.
Pertama,
jelas kepercayaan akan asuransi harus tertanam dalam jiwa kita, karena tanpa
adanya rasa itu kita tidak bisa secara totalitas mengikutinya, dan yang
terakhir, berpikirlah bahwa uang yang kita bayarkan untuk premi asuransi itu
sebagai “menyumbang” atau arisan ketidakberuntungan, atau bisa juga uang premi
itu dianggap sebagai uang sial yang harus dibuang dan jangan dipikirkan lagi
setelah membayarnya dan jangan berharap untuk mendapatkannya karena kalau kita
mengharapkan uang kita kembali itu sama saja mengharapkan kita jatuh sakit,
walaupun ada yang mengatakan bahwa sakit juga merupakan nikmat. Jadi, sebelum menerapkan SJSN
haruslah berpikir terlebih dahulu bagaimana mengubah mentalitas bangsa, supaya
muncul kesadaran untuk meng”investasi” kan sedikit dari hartanya untuk arisan
ketidakberuntungan.
Status kesehatan penduduk Indonesia selama 30 tahun
pembangunan kesehatan, mengalami kemajuan yang cukup berarti. Namun demikian,
angka kematian bayi dan angka kematian ibu masih jauh tertinggal jika
dibandingkan dengan status kesehatan penduduk negara-negara tetangga. Laporan World
Health Organization (WHO) tahun 2005 menunjukkan bahwa angka kematian bayi
di Indonesia masih 46 per 1.000 kelahiran hidup, sementara di Muangtai 29,
Filipina 36, Srilanka 18, dan Malaysia 11 per 1.000 KLH. Berbagai studi
menunjukkan bahwa rendahnya angka kematian bayi berkorelasi kuat dengan kinerja
sistem kesehatan, khususnya pendanaan kesehatan. Kinerja sistem kesehatan
Indonesia berada pada urutan ke-92, yang jauh lebih rendah dari kinerja sistem kesehatan
negara tetangga seperti Malaysia (urutan ke 49), Muangtai (urutan ke 47) dan Filipina
yang berada pada urutan ke 60 (WHO, 2000).
Rendahnya kinerja sistem kesehatan kita sangat
berkorelasi dengan rendahnya belanja kesehatan yang hanya naik dari 2,9% Produk
Domestik Bruto (PDB) di tahun 1999 menjadi 3,1% PDB di tahun 2003. Sementara di
Cina belanja kesehatan naik dari 4,9% PDB di tahun 1999 menjadi 5,6% PDB di
tahun 2003, dan di India turun sedikit dari 5,1% menjadi
4,8% PDB. Yang menarik adalah bahwa pada periode tersebut, Pemerintah
China membelanjakan antara 9,7% - 12,5% anggaran pemerintah untuk kesehatan dan
Filipina menghabiskan 4,9% - 7,1%, dan pemerintah Indonesia hanya membelanjakan
3,8% - 5,1%
anggaran pemerintah untuk kesehatan (WHO, 2006). Rendahnya belanja
kesehatan Indonesia merupakan salah satu indikator rendahnya komitmen
pemerintah dan lemahnya kebijakan sosial bidang kesehatan.
Di sisi lain, sistem kesehatan Indonesia sangat tidak
memihak kepada rakyat. Hal ini
tercermin dari sistem pembayaran jasa per pelayanan (fee for service)
yang diterapkan Indonesia, meskipun pelayanan tersebut di sediakan di RS
publik. Artinya, rakyat Indonesia menghadapi ketidakpastian (uncertainty)
dalam memperolah pelayanan kesehatan. Di rumah sakit publik sekalipun, rakyat
tidak tahu berapa biaya yang harus dibayarnya jika ia atau seorang keluarganya
dirawat, sampai ia keluar dari rumah sakit. Tidaklah mengherankan, jika
akhirnya rakyat mencari pengobatan tradisional atau tidak berobat karena
ketiadaan uang, yang berakhir dengan tingginya angka kematian dan rendahnya usia
harapan hidup.
Sadikin: Sakit Sedikit
Menjadi Miskin
Laporan WHO tahun 2006 menunjukkan bahwa kontribusi
pemerintah, dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, untuk belanja
kesehatan selama tahun 1999-2003 berkisar antara 28,1% - 35,9% sementara
kontribusi pemerintah Muangtai pada kurun waktu yang sama berkisar antara 54,8%
- 61,6% dari belanja kesehatan rakyatnya. Diberbagai negara maju, pembiayaan
kesehatan bersumber dana publik mengambil porsi yang lebih besar. Di Inggris,
Prancis, Australia, dan Taiwan pembiayaan publik untuk pelayanan kesehatan
mencapai lebih dari 80% dari biaya kesehatan total. Di Indonesia sebaliknya,
lebih dari 70% biaya kesehatan harus ditanggung sendiri oleh tiap keluarga (out
of pocket -OOP) yang sangat bersifat regresif. Penelitian Thabrany, dkk
(2000) menunjukkan bahwa 10% rumah tangga termiskin harus menghabiskan 230% penghasilannya
sebulan untuk membiayai sekali rawat inap anggota keluarganya. Sementara
keluarga 10% terkaya hanya menghabiskan 120% penghasilan keluarga sebulan untuk
membiayai satu kali rawat inap anggota keluarganya. Akibatnya akses terhadap pelayanan
rumah sakit menjadi sangat tidak adil, karena penduduk miskin tidak mampu membiayi
perawatan. Penelitian yang dilakukan Thabrany dan Pujiyanto (2000) menunjukkan
bahwa penduduk 10% terkaya mempunyai akses rawat inap di rumah sakit yang 12
kali lebih besar dari penduduk 10% termiskin.
Sampai saat ini, jelas sekali bahwa sistem kesehatan
di Indonesia sangat jauh dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Rakyat kecil sangat terbebani dengan system kesehatan yang diperdagangkan.
Rakyat yang membayar lebih banyak mendapat pelayanan yang lebih banyak atau
lebih baik mutunya, you get what you pay for. Di bulan Februari 2005,
Televisi 7 menayangkan program realita dimana seorang bayi anak petugas kebersihan
Universitas Indonesia terpaksa meninggal dunia karena tidak punya uang. Bayinya
yang menderita radang paru-paru tidak dapat dirawat di RS Pasar Rebo, milik Pemda
DKI yang baru saja diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT, yang tentu saja berorientasi
dagang – cari untung dari rakyat yang sakit), karena tidak punya uang muka. Pemda
DKI juga tidak bisa menggunakan dana jaminan kesehatan bagi penduduk miskin, karena
orang tua pasien bukan penduduk DKI. Jika saja ada dana dan program Askeskin sudah
berjalan, maka nyawa si bayi hampir pasti dapat diselematkan. Puluhan ribu
rakyat meninggal di Indonesia, yang mengaku Pancasilais, hanya kerana keluarga
mereka tidak memiliki uang. Di negeri kapitalis sekalipun, hal itu tidak boleh
terjadi. Mahlil Rubi (2007) dalam disertasinya menemukan bahwa 83% rumah tangga
mengalami pembayaran katastropik ketika satu anggota rumah tangga membutuhkan
rawat inap. Artinya, sebuah rumah tangga akan jatuh miskin (sadikin, sakit
sedikit jadi miskin), karena harus berhutang atau menjual harta
benda untuk biaya berobat di RS, bahkan di rumah sakit publik. Padahal, di
seluruh dunia, prinsip keadilan yang merata (setara) atau equity yang digunakan
adalah equity egalitarian, yang pada
prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk mendapat pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medisnya (you get what you need), dan bukan sesuai kemampuannya
membayar (Thabrany, 2005 (7); Wagsatff and Doorslair, 2008).
Berbagai Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan
pelayanan (inequity, ketidakadilan/ketidak-setaraan) hanya dapat
diperkecil dengan memperbesar porsi pendanaan
publik, baik melalui APBN (tax funded) maupun melalui sistem
asuransi kesehatan sosial. Sayangnya, seperti disampaikan dimuka, pendanaan
kesehatan bersumber pemerintah sangat kecil dan cakupan asuransi kesehatan yang
sustainable di Indonesia masih sangat rendah yaitu berkisar pada 9%
penduduk tidak mengalami kenaikan berarti sejak tahun 70an (Thabrany, 2002).
Kini alhamdulillah program Askeskin sudah mulai berjalan yang meningkatkan
cakupan jaminan kesehatan menjadi lebih dari 40% penduduk. Walaupun di tahun
2008 terjadi perubahan program Askeskin menjadi Jamkesnas dan polemik yang
dimunculkan mengesankan ada salah urus dalam program Askeskin, faktanya sampai
hari ini belum ada bukti salah urus. Hal ini akan segera dapat dibuktikan.
Padahal pada tahun 2003 hampir 100% penduduk (kecuali yang tinggal di luar
negeri atau didusun sangat terpencil) Muangtai sudah memiliki jaminan kesehatan
dari pemerintah (Tangcharoensathien, dkk, 200510; Thangcharoensathien, 2003).
Rendahnya pendanaan kesehatan dan cakupan asuransi kesehatan sosial di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh ketidaktahuan dan ketidakpedulian pemerintah
dalam melindungi penduduknya dari proses pemiskinan karena mahalnya biaya
kesehatan.
Rakyat Indonesia boleh iri dengan rakyat di negara
tetangga. Di Sri Lanka yang juga negara
berkembang, bahkan tergolong miskin, pelayanan kesehatan dan pendidikan disediakan gratis kepada semua penduduknya.
Penduduk Muangtai juga tidak perlu pusing memikirkan biaya perawatan di rumah
sakit. Para pegawai mendapatkan jaminan kesehatan melalui program pemerintah
atau jaminan sosial. Penduduk lain seperti nelayan dan petani, 3 Pembayaran tanpa
memandang mereka miskin atau kaya, tidak lagi membayar jika dirawat di rumah
sakit. Penduduk Muangtai terbebas dari rasa takut dan tidak perlu ngebon kepada
majikan jika istrinya melahirkan atau anaknya masuk rumah sakit. Di Malaysia,
penduduk juga boleh tenang berfikir dan berkonsentrasi belajar dan bekerja.
Jika mereka perlu rawat inap, maka tarifnya hanya RM 3 (sekitar Rp 6.000)
sehari, termasuk segalanya; meskipun mereka harus masuk ICU atau menjalani
operasi yang mahal. Bahkan penduduk Malaysia tidak perlu khawatir jika mereka
harus menjalani operasi jantung, yang di Indonesia dapat menghabiskan lebih
dari Rp 150 juta, di RS Pemerintah!! Di Malaysia, pemerintah sudah menjaminnya.
Indikator kesehatan dan pendidikan menunjukkan bahwa orang Sri Lanka, Muangtai,
dan Malaysia jauh lebih sehat, lebih pintar dan lebih jarang korup dibanding
orang Indonesia. Mengapa? Ya, mereka bisa berkonsentrasi untuk belajar dan
bekerja, tanpa harus sibuk mencari pinjaman, korupsi, atau kasak-kusuk
mengembangkan pungli untuk
menutupi biaya pendidikan atau berobat di rumah sakit.
Jaminan/Asuransi Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial
Nasional (AKN)
Berita yang cukup menggembirakan terjadi di tahun 2000
dan 2002. Untuk pertama kalinya kata-kata “kesehatan” masuk dalam pasal 28H UUD
45 hasil amendemen tahun 2000 “…setiap penduduk berhak atas pelayanan
kesehatan”. Pencantuman hak terhadap pelayanan kesehatan bertujuan untuk
menjamin hak-hak kesehatan yang fundamental sesuai dengan deklarasi Hak Asasi
Manusia oleh PBB di tahun 1947.
Penjaminan hak tersebut diperkuat dengan amendemen UUD
45 tanggal 11 Agustus 2002 pasal 34 ayat 2 “Negara mengembangkan jaminan
sosial bagi seluruh rakyat….” dan ayat 3 “Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan….”. Dengan amendemen tiga pasal
tersebut, tugas pemerintah harus makin jelas yaitu secara eksplisit menempatkan
kesehatan sebagai bagian utama dari pembangunan rakyat yang harus tersedia
secara merata bagi seluruh rakyat. Dengan kata lain, prinsip ekuitas telah ditancapkan
dalam UUD 45 sehingga pemerintah pusat dan daerah kini tidak bisa lagi menghindar
dari penyediaan anggaran yang lebih besar bagi sektor kesehatan atau mengembangkan
sebuah sistem jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat.
Untuk melaksanakan amanat pengembangan jaminan sosial
tersebut, Presiden Megawati telah mengeluarkan Kepres No. 20 tahun 2002 yang
membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diketuai oleh almarhumah
Prof. Yaumil Agus Achir, pada waktu itu bertugas Deputi Wakil Presiden untuk
Kesejahteraan Sosial dan kemudian Kepala BKKBN. Sebelum dikeluarkan Keppres
tersebut, tim sudah dibentuk dibawah SK Menko Kesra dan kemudian SK Sekretaris
Wakil Presiden yang pada waktu itu masih dijabat oleh Megawati Seokarnoputri.
Setelah Prof Yaumil meninggal dunia, Dr. Sulastomo, MPH, AAK ditugasi menjadi
Ketua Tim SJSN dengan Kepres Nomor 110/2003. Penulis sendiri termasuk sebagai
anggota Tim dan bertugas sebagai Sekretaris Sub Tim Jaminan Kesehatan dan
menjadi tulang punggung dalam penyusunan Naskah Akademik dan RUU SJSN sampai
RUU disampaikan ke DPR. Sejak dibentuknya Tim, empat orang yang berperan
penting dalam pengembangan SJSN yaitu Prof. Indra Hattari, FSAI (aktuaris dan ahli
jaminan pensiun), Prof. Sentanoe (ahli jamianan sosial), Prof. Yaumil A. Achir,
dan Drs. A. Mungid telah meninggal dunia sebelum menyaksikan hasil karya besar
bangsa. Suatu pengorbanan yang mahal.
Konsep Dasar
Dalam merumuskan konsep jaminan sosial untuk Indonesia
Tim menyepakati suatu sistem jaminan sosial harus dibangun diatas tiga pilar
yaitu:
Pilar
pertama yang tebawah adalah pilar
bantuan sosial (social assistance) bagi mereka yang miskin dan tidak
mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
dasar hidup yang layak. Dalam praktiknya, bantuan sosial ini diwujudkan
dengan bantuan iuran oleh pemerintah agar mereka yang miskin dan tidak mampu
dapat tetap menjadi peserta SJSN.
Pilar kedua adalah pilar asuransi sosial yang merupakan suatu
sistem asuransi yang wajib diikuti bagi semua penduduk yang mempunyai
penghasilan (diatas garis kemiskinan) dengan membayar iuran yang proporsional
terhadap penghasilannya/upahnya. Pilar satu dan pilar kedua ini merupakan
fondasi SJSN untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak yang harus
diikuti dan diterima oleh seluruh rakyat (pilar jaminan sosial publik).
Pilar
ketiga adalah pilar tambahan atau
suplemen bagi mereka yang menginginkan jaminan yang lebih besar dari
jaminan kebutuhan standar hidup yang layak dan mereka yang mampu membeli
jaminan tersebut (pilar jaminan swasta/privat yang berbasis sukarela/dagang).
Pilar ini dapat diisi dengan membeli asuransi komersial (baik asuransi kesehatan,
pensiun, atau asuransi jiwa), tabungan sendiri, atau program-program lain yang
dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok seperti investasi saham,
reksa dana, atau membeli properti sebagai tabungan bagi dirinya atau
keluarganya. Pada pilar ketiga jaminan kesejahteraan, yang akan dipenuhi
adalah keinginan (want, demand) sedangkan pada dua pilar pertama
yang dipenuhi adalah kebutuhan (need).
Setelah melalui proses panjang, akhirnya UU SJSN
(Nomor 40/2004) diundangkan Presiden Megawati pada hari terakhir beliau berada
di Istana, sebagai simbol warisan yang ditinggalkan. Substansi jaminan sosial
yang disetujui dalam UU tersebut mencakup jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Semula
disiapkan Jaminan Penanggulangan Pemutusan Hubungan Kerja (JPPHK), namun karena
keterlambatan selesainya konsep SJSN dan UU Nomor 13/2003 tentang
Ketenaga-Kerjaan sudah mewajibkan majikan membayar pesangon apabila terjadi PHK,
maka JPPHK dihilangkan dari UU SJSN. Tim juga bersepakat untuk memperbaiki sistem
jaminan sosial yang ada (yang dikelola oleh PT. ASABRI, PT. Askes, PT.
Jamsostek, dan PT. Taspen) agar nantinya menjadi jaminan yang seragam/setara
bagi seluruh rakyat, tanpa membedakan status pekerjaan penduduk. Proses
sinkronisasi dan harmonisasi seluruh sistem jaminan akan diatur oleh suatu
lembaga Tri Partit yang disebut Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang
berfungsi sebagai pengambil kebijakan umum dan pengawasan.
Esensi AKN dalam SJSN
Apa sebenarnya esensi RUU SJSN? Orang-orang yang mau
berfikir jernih dan mempelajari dengan seksama akan menemukan bahwa UU SJSN
sesungguhnya mengatur perbaikan dan perluasan sistem jaminan sosial di
Indonesia. Undang-undang ini mengatur program jaminan kesehatan, kecelakaan
kerja, jaminan hari tua termasuk pensiun, dan jaminan kematian yang labih adil
dan merata bagi seluruh rakyat.
Esensi pertama konsep
SJSN merupakan upaya membuat platform yang sama bagi pegawai negeri,
pegawai swasta, dan pekerja di sektor informal (yang tidak menerima upah dari
pihak lain, tetapi menghasilkan sendiri) dalam menghadapi risiko sosial ekonomi
di masa depan. Undang-undang SJSN mengatur agar setiap penduduk (nantinya,
mungkin 10-20 tahun mendatang) memiliki jaminan hari tua/pensiun, termasuk di
kala ia menderita disabilitas ataupun jaminan bagi ahli waris jika seorang
pencari nafkah meninggal dunia.
Saat ini, hanya pegawai negeri dan kurang dari satu
juta pegawai swasta yang memiliki jaminan pensiun. Sementara tenaga kerja yang
aktif bekerja akan mendapat jaminan kesehatan yang sama, tanpa memandang status
kepegawaiannya apakan ia bekerja pada majikan swasta ataupun pemerintah.
Nantinya, tenaga kerja atau pensiunan tidak perlu bingung mencari uang untuk
membayar biaya berobat karena sakit kanker, jantung, atau cuci darah, yang kini
tidak dijamin oleh Jamsostek. Penyediaan jaminan yang adil dan merata itulah
yang akan dicapai oleh SJSN.
Esensi kedua dari
SJSN adalah mengubah status badan hukum Badan Penyelenggara yang ada sekarang,
PT. Taspen, PT. ASABRI, PT. Askes dan PT. Jamsostek, menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak bertujuan mencari laba (not
for profit) untuk kas negara. Bukan berarti BPJS akan merugi, tetapi
seluruh nilai tambah (surplus-yang selama ini disebut laba) harus dikembalikan
kepada peserta, bukan ke pemegang saham (dalam hal ini, pemerintah). Hakikatnya
UU SJSN meluruskan kekeliruan pengelolaan jaminan sosial selama ini, yang
menurut UU No. 2/1992 tentang Asuransi harus dikelola oleh BUMN. Mengapa tidak
swasta? Pengalaman di seluruh dunia membuktikan bahwa swasta gagal
menyelenggarakan jaminan kesehatan yang adil dan merata (equity) karena
memang terjadi market failure yang diakibatkan oleh informasi asimetri
dan adverse selection.
Esensi ketiga dari
SJSN adalah memastikan bahwa dana yang terkumpul dari iuran dan hasil
pengembangannya dikelola HANYA untuk kepentingan peserta. Iuran, akumulasi iuran,
dan hasil pengembangannya adalah dana titipan peserta (Dana Amanat, trust
fund) dan bukan penerimaan (revenue) atau aset badan penyelenggara.
Esensi keempat adalah
memastikan agar pihak kontributor atau pengiur atau tripartite (yaitu tenaga
kerja, majikan, dan pemerintah) memiliki kendali kebijakan tertinggi yang diwujudkan
dalam bentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (semacam Majelis Wali Amanat atau
lembaga tripartit) yang diwakili 2 orang serikat pekerja, 2 orang serikat
pemberi kerja, 5 orang wakil pemerintah, dan 6 orang wakil tokoh
masyarakat/ahli. Organ DJSN ini akan memastikan agar pengelolaan program
jaminan sosial steril dari pengaruh politik pemerintah.
Esensi kelima adalah
bahwa program jaminan harus bersekala nasional untuk menjamin portabilitas dan
seluruh penduduk Indonesia (di daerah manapun ia tinggal) memperoleh jaminan.
Mobilitas penduduk Indonesia lintas kota/provinsi sangat tinggi dan akan
semakin tinggi. Dalam masa hidupnya, ia bisa tinggal di berbagai provinsi/kota
atau bepergian ke berbagai tempat. Jaminan harus portabel, tidak boleh hilang
ketika ia berada di luar kota tempat tinggalnya. Jika jaminan bersifat lokal,
kedaerahan, maka akan timbul masalah kesulitan mendapatkan jaminan ketika ia
berada di daerah lain baik untuk perjalanan dinas maupun perjalanan wisata.
Kini setiap bulan tidak kurang dari 28 juta penduduk Indonesia yang bepergian.
Dalam hal Jaminan/Asuransi Kesehatan, UU SJSN
menggariskan penyelenggaraan jaminan/asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat,
dan karenanya dapat disebut sebagai Asuransi Kesehatan Nasional (AKN).
Rancangan SJSN mempersiapkan jaminan kesehatan yang sama antara pegawai swasta,
pegawai negeri maupun yang bekerja mandiri beserta anggota keluarganya. Jaminan
kesehatan tidak lagi dibatasi sampai anak kedua atau ketiga, karena pada
hakikatnya setiap penduduk Indonesia mempunyai hak yang sama. Guna mempercepat
cakupan kepada seluruh penuduk, UU menggariskan bahwa seorang tenaga kerja
dapat menjamin orang tuanya bahkan pembantunya dengan menambah iuran yang dipotong
dari gajinya. Dengan paket jaminan pelayanan medis yang sama untuk semua orang,
UU SJSN akan sangat memudahkan dokter dan fasilitas kesehatan memahami berbagai
aspek administrasi dan jaminan kesehatan. Hal ini akan menghemat tenaga dan waktu
bagi para dokter dan fasilitas kesehatan lain.
Mengapa Tidak Diserahkan ke Swasta?
Bapel atau perusahaan asuransi swasta diberikan
peluang untuk menjual produk asuransi kesehatan/JPKM sebagai suplemen atau
asuransi tambahan. Tetapi untuk paket dasar, harus dikelola oleh Badan Nirlaba
yang disebut BPJS. Penjelasan berikut akan memudahkan kita memahami mengapa
harus badan pemerintah atau semi pemerintah yang nirlaba. Karena sifat unvertainty
mengundang usaha asuransi, maka kini banyak pemain baru. Kolusi antara
dokter-rumah sakit dan perusahaan farmasi menyebabkan harga pelayanan kesehatan
terus semakin mahal. Risiko sakit perorangan semakin mahal, maka demand baru
terbentuk; membeli asuransi kesehatan. Bagaimana pentaripan asuransi?
Tidak bisa dilepaskan dari harga dokter, rumah sakit,
obat, laboratorium, dan alat-alat medis lainnya. Bisakah asuransi mendapatkan
harga yang pantas (fair)? Sulit! Meskipun perusahaan asuransi/bapel JPKM
dapat memperoleh harga yang lebih murah, mereka juga punya interes untuk
mendapatkan untung. Sementara fasilitas kesehatan masih tetap memiliki market
power yang kuat. Tidak banyak pilihan bagi perusahaan asuransi, kecuali mengeruk
keuntungannya dari pihak pasien/konsumen. Tentu saja sebagai perantara perusahaan
asuransi/bapel JPKM akan mencari untung dari kedua pihak, pihak peserta/pemegang
polis dan pihak fasilitas kesehatan (provider). Maka kini, seorang pasien/konsumen/peserta
mendapatkan pelaku baru yang juga melirik kantong mereka, yaitu perusahaan
asuransi/bapel dengan menawarkan berbagai produk asuransi kesehatan yang
menarik, tetapi belum tentu dibutuhkan peserta.
Akankah konsumen mampu untuk memilih produk asuransi
dan harga sesuai kebutuhanya? Hampir tidak mungkin! Karena disini juga terjadi
informasi asimetri. Konsumen tidak mengetahui tingkat risiko dirinya dan hampir
tidak mungkin mengetahui apakah harga premi yang dibelinya pantas, terlalu
murah, atau terlalu mahal. Sementara penjual (perusahaan asuransi/bapel JPKM)
dapat menciptakan produk dan cara pamasaran yang menggiurkan sampai menakutkan
sehingga konsumen, jika ia mempunyai kemampuan keuangan, memilih untuk membeli.
Bagaimana dengan konsumen yang tidak mampu?
Sejauh pasar belum jenuh, asuradur akan memusatkan
pada perhatian kepada pasar yang mampu membeli dan profitable. Karena
dalam pasar asuransi (swasta/sukarela) asuradur akan menetapkan premi atas
dasar risiko yang akan ditanggung (paket jaminan), atau disebut risk-based
premium, maka besarnya premi tidak dapat disesuaikan dengan daya beli
seseorang. Maka sudah dapat dipastikan bahwa penduduk yang miskin atau pekerja ekonomi
lemah tidak akan mampu membeli premi. Oleh karenanya, asuransi kesehatan swasta/sukarela/komersial
tidak akan mampu mencakup seluruh penduduk. Keinginan mencakup seluruh penduduk
dengan mekanisme asuransi kesehatan swasta (apakah itu perusahaan asuransi atau
bapel JPKM) hanyalah sebuah impian belaka. Hal ini dapat dibuktikan di Amerika,
yang menghabiskan lebih dari US$ 5.000 per kapita per tahun, akan tetapi lebih
dari 50 juta penduduknya (17%) tidak memiliki asuransi.
Dengan terbatasnya pasar dan persaingan yang tinggi, volume
penjualan tidak bisa mencapai jumlah yang besar. Persaingan antara asuradur
(persuahaan asuransi atau bapel) akan memaksa asuradur membuat produk spesifik
yang juga menyebabkan pool tidak optimal untuk mencakup berbagai
pelayanan. Persaingan menjual produk spesifik dan volume penjualan untuk
masing-masing produk yang relatif kecil menyebabkan contingency dan profit
margin yang relatif besar. Perusahaan asuransi Amerika menghabiskan
rata-rata 12% faktor loading (biaya operasional, laba, dan berbagai biaya
non medis lainnya) (Shalala dan Reinhart, 1999). Bapel JPKM boleh menarik biaya
loading sampai 30%. Asuradur swasta di Indonesia memiliki rasio klaim
yang bervariasi antara 40-70%, tergantung jenis produknya, sehingga menyebabkan
biaya tambahan bagi konsumen sebesar 30-60%. Dari berbagai skenario dan fakta
yang terjadi, sudah dapat dipastikan bahwa asuransi kesehatan swasta tidak bisa
menurunkan biaya pelayanan kesehatan (meskipun dengan konsep managed care)
dan tidak akan mampu mencakup seluruh penduduk.
Jelaslah ketergantungan pada sistem asuransi kesehatan
swasta/komersial (termasuk disini sistem JPKM yang pernah berlaku, tetapi tidak
diakui secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi ketika UU SJSN diuji materi) akan
gagal menciptakan cakupan universal dan mencapai efisiensi makro. Trade off antara
risk pooling dan biaya yang ditanggung konsumen tidak seimbang.
Sementara itu, hampir semua negara menginginkan cakupan universal. Oleh
karenanya, jika kedua komponen tujuan, universal dan efisensi makro, ingin
dicapai; maka rancangan asuransi kesehatan swasta/komersial akan gagal mencapai
tujuan tersebut. Sebaliknya, rancangan asuransi kesehatan sosial yang terdapat dalam
sebuah sistem jaminan sosial, dimanapun di dunia, akan mampu mencakup seluruh penduduk
dengan biaya yang jauh lebih efisien.
Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi
PBB tentang hak asasi manusia dan Konvensi ILO nomor 152 tentang jaminan sosial
serta menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak dasar penduduk (fundamental
human right). Sebagai konsekuensi peletakkan hak dasar ini pemerintah
mengusahakan suatu system kesehatan yang mampu mencakup seluruh penduduk
(universal) secara adil dan merata (equity). Negara-negara maju pada
umumnya mewujudkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan dan penyediaan
kesehatan publik yang diatur oleh suatu undang-undang.
Pembiayaan publik dimaksudkan adalah pembiayaan oleh negara dari dana
APBN atau didanai oleh sistem asuransi kesehatan sosial yang didasarkan oleh
undang-undang. Seringkali sistem asuransi kesehatan sosial ini adalah sebuah
sistem jaminan sosial (social security). Penyelenggara pendanaan
publik dapat suatu badan pemerintah dapat pula badan swasta yang nirlaba.
Penyediaan pelayanan kesehatan publik adalah penyediaan rumah sakit, klinik,
pusat kesehatan, dan sebagainya yang disediakan oleh negara yang dapat
diselenggarakan secara otonom (terlepas dari birokrasi pemerintahan) ataupun
tidak otonom.
Dengan menempatkan salah satu atau kedua faktor
pendanaan dan atau penyediaan oleh publik (public not for profit corporation),
suatu badan yang dikelola seperti layaknya perusahaan, tetapi pemegang sahamnya
adalah seluruh peserta, memungkinkan terselenggaranya cakupan universal dan
pemerataan yang adil. Penempatan kesehatan sebagai hak asasi tidak selalu
berarti bahwa pemerintah harus menyediakan seluruh pelayanan dengan cuma-cuma.
Di Indonesia, banyak orang mengkhawatirkan penempatan kesehatan sebagai hak
asasi akan menyebabkan beban pemerintah menjadi sangat berat.
Pada hakikatnya, pendanaan maupun penyediaan pelayanan
dapat dilakukan oleh pemerintah bersama swasta. Apabila pendanaan diserahkan
kepada sektor publik, yang bersifat sosial atau nirlaba, maka terdapat dua
pilihan utama yaitu pendanaan dari penerimaan pajak (general tax
revenue) atau APBN seperti yang dilakukan Inggris dan Malaysia dan
pendanaan melalui mekanisme asuransi sosial seperti yang dilakukan Kanada,
Taiwan, Jepang, Jerman, Korea, Muangtai, Filipina, dll. Kanada, Korea,
Filipina, Muangtai, Australia dan Taiwan memberlakukan sistem monopoli Propinsi
atau Negara dengan hanya menggunakan satu badan penyelenggara. Sementara Jerman
dan Jepang menggunakan undang-undang wajib asuransi sosial kesehatan dengan
banyak penyelenggara dari pihak swasta yang nirlaba.
Di Indonesia, pengertian asuransi sosial sangat
sering disalahartikan dengan pengertian derma atau pelayanan cuma-cuma.
Sementara penyelenggaraan asuransi social kesehatan yang sudah ada, program JPK
PNS/Askes dan program JPK Jamsostek, diselenggarakan oleh perusahaan publik
yang berbentuk badan hukum berorientasi laba PT. (Persero) sehingga menimbulkan
conflict of interest. Hal ini menyebabkan semakin kecaunya pemahaman
asuransi sosial. Distorsi pemahaman ini menyebabkan sulitnya usaha-usaha
mengusahakan suatu sistem asuransi sosial yang konsisten. Itulah sebabnya RUU
SJSN meluruskan distorsi ini.
Asuransi sosial adalah asuransi yang diselenggarakan
atau diatur oleh pemerintah yang melindungi golongan ekonomi lemah dan yang
tidak lemah yang menjamin keadilan yang merata (equity). Untuk mencapai
tujuan tersebut, maka suatu asuransi sosial haruslah didasari pada suatu
undang-undang dengan pembayaran iuran/premi dan paket jaminan yang memungkinkan
terjadinya pemerataan. Dalam penyelenggaraanya, pada asuransi sosial mempunyai
ciri (a) kepesertaan wajib bagi sekelompok atau seluruh penduduk, (b) besaran
iuran/premi ditetapkan oleh undang-undang/peraturan pemerintah, umumnya proporsional
terhadap pendapatan/gaji, dan (c) paketnya ditetapkan sama untuk semua golongan
pendapatan, yang biasanya sesuai dengan kebutuhan medis (Thabrany, 1999).
Dengan mekanisme ini, maka dimungkinkan tercapainya
keadilan sosial yang egaliter. Dari segi pendanaan, asuransi sosial mempunyai
keunggulan dalam mencapai efisiensi makro karena tidak memerlukan biaya
perancangan produk, pemasaran, dan pencapaian skala ekonomi yang optimal.
Taiwan misalnya hanya menghabiskan kurang dari 3% premi untuk biaya
administrasi (Depkes Taiwan, 1997). Program Medicare di Amerika hanya
menghabiskan biaya administrasi sebesar 3-4% sementra asuransi komersial swasta
di Amerika menghabiskan rata-rata 12% (Shalala dan Reinhardt, 1999).
Askeskin: Implementasi Awal
Tanpa menyadari adanya UU SJSN, Menteri Kesehatan Siti
Fadilah Supari meminta PT. Askes untuk mengelola program jaminan kesehatan bagi
36,4 juta penduduk miskin di seluruh Indonesia dengan SK Menkes 1241 bulan
Desember 2004. Tetapi keputusan Menteri mendapat protes dari mereka yang
sebelumnya mendapat bagian untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan di
propinsi/kota/kabupaten (lazim disebut pra bapel dan bapel di lingkungan sektor
kesehatan) yang dananya diberikan oleh Depkes, sebagai kompensasi kenaikan
harga BBM. Di masa Kabinet sebelumnya, program serupa dilaksanakan dengan
pinjaman Bank Pembangunan Asia yang diberi nama Jaring Pengaman Sosial Bidang
Kesehatan, JPSBK. Karena hampir semua pra bapel gagal, maka program berikutnya
diberikan langsung ke puskesmas dan rumah sakit. Karena tingkat keberhasilan yang
juga tidak memadai, maka dibuat lagi uji coba di beberapa provinsi dengan menggunakan
bapel/pra bapel, tidak lagi masif di seluruh kota/kabupaten seperti sebelumnya.
Ketika uji coba dilakukan, sesungguhnya draf awal RUU SJSN sudah member indikasi
akan terjadi perubahan mendasar. Konsep awal yang diajukan Prof. Azrul Azwar, sebagai
Dirjen Binkesmas Depkes dan anggota Tim SJSN, memperjuangkan dibentuknya BPJS
khusus untuk menangani jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin. Menkes Achmad Sujudi
secara resmi berkirim surat ke Pansus RUU SJSN di tahun 2004. Namun demikian, karena
bukti-bukti menunjukan bahwa bapel/pra bapel tersebut bukanlah Badan hokum Penyelenggara
Jaminan Sosial dan tidak ada bukti kuat tentang kesinambungan dan keberhasilan
pra-bapel/bapel, maka upaya itu kandas. Jalan keluar yang diputuskan Pansus dan
kemudian disetujui Pleno DPR tanggal 28 September 2004 adalah dengan membuka peluang,
yaitu pasal 5 ayat 4 UU SJSN (sebelum keputusan MK) yang mengatur jika diperlukan
BPJS baru yang berbunyi “Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
selain dimaksud pada ayat (3) yaitu yang empat, dapat dibentuk yang baru dengan
Undang-Undang”. Pasal ini digugat oleh bapel (yang kemudian menggunakan tangan
DPRD Jatim) sebagai membatasi hak daerah dalam membentuk BPJS, tanpa menyadari
ketentuan Pasal 23A UUD45 yang mengatur bahwa semua pungutan yang bersifat
memaksa (iuran SJSN bersifat wajib/memaksa) harus diatur dengan UU. Karena
kekecewaan tidak mendapatkan bagian dana untuk mengelola jaminan kesehatan bagi
penduduk miskin, bapel-bapel tersebut mengajukan uji materi UU SJSN. Pasalnya,
dalam penunjukan PT Askes Menteri Kesehatan menggunakan amanat UU SJSN.
Pada tanggal 1 Februari 2005, secara resmi permohonan
tersebut disampaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan proses uji materi UU SJSN
berjalan cukup cepat. Bulan Juli 2005, seluruh proses uji materi telah selesai,
dimana Penulis menjadi salah seorang saksi ahli Pemerintah dan membuat berbagai
argumen atau jawaban yang diajukan pemohon. Saksi ahli Pemerintah lainnya
adalah Bapak Hot Bonar Sinaga (Ketua Dewan Asuransi Indonesia ketika itu),
Bapak Muryono (mantan anggota Pansus RUU SJSN di DPR), Prof. Hikmahanto dari
Fakultas Hukum UI, dan Prof Benyamin Husein (ahli otonomi daerah) dari FISIP
UI. Sebagai anggota Tim Kepres 101/2003 yang bertugas menyusun RUU SJSN, yang juga
mengikuti proses pembahasan di DPR, maka tidak sulit bagi penulis untuk
memberikan jawaban dan makna setiap kalimat yang ada dalam UU SJSN.
Pada tanggal 31 Agustus 2005, Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan Keputusan yang ‘terasa dimenangkan’ oleh pemohon akan tetapi
sesungguhnya tidak ada perubahan berarti dalam UU SJSN, kecuali MK memberi
ketegasan bahwa pemerintah daerah dapat membentuk BPJS di tingkat daerah,
selain BPJS Nasional. Program jaminan sosial yang bersekala Nasional yang
diselenggarakan oleh ke-empat BPJS, tetap sah/berlaku. Apabila akan dibentuk
badan baru, maka hal itu harus dibentuk dengan UU (permohonan agar Pasal 5 ayat
1 dibatalkan DITOLAK MK). Dengan keputusan MK tersebut, maka program penjaminan
60 juta penduduk termiskin oleh Pemerintah (Depkes) mendapat kekuatan hukum.
Akan tetapi pihak pemohon, sampai saat ini, masih bersikeras untuk menjadikan program
Jaminan Kesehatan didesentralisasi. Sesungguhnya keputusan membuat program bersekala
Nasional merupakan keputusan hukum dan keputusan politik, yang sudah final dan
sudah jadi UU SJSN, yang harus diterima oleh mereka yang semula tidak mendukung
sekalipun. Inilah hakikat demokrasi.
Pemahaman menyeluruh tentang Keputusan MK sangat
menentukan besar-kecilnya hambatan implementasi awal UU SJSN. Keputusan
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian tuntutan pemohon dan menolak sebagian
lagi. Mahkamah Konstitusi sama sekali menolak permohonan pemohon I dan II
(yaitu Satpel JPKM4 Rembang dan Perbapel JPKM) dengan alasan bahwa keduanya
tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Artinya, keberadaan Satpel dan
bapel JPKM, sebagai badan hukum yang mempunyai hak mengajukan uji materi
(judicial review) ke MK, tidak diakui negara. Ini mempunyai konsekuensi penting,
sebab dalil yang dikemukan para pemohon dan saksi ahli adalah bahwa satpel dan
bapel JPKM adalah badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada.
Sesungguhnya memang, selain empat BPJS yang
disebutkan, tidak pernah ada badan jaminan sosial yang diakui secara hukum
Indonesia. Bapel JPKM adalah sesunggunya alternatif penjual asuransi kesehatan
yang bukan perusahaan asuransi, yang ingin dikembangkan Depkes di masa lalu.
Model bapel JPKM mengambil model HMO di Amerika yang bukan perusahaan asuransi
akan tetapi mendapat lisensi dari Departemen Asuransi.
Putusan MK menerima permohonan pemohon I (DPRD Jatim,
yang sesungguhnya dipinjam oleh Bapel JPKM Jawa Timur) yang memang mempunyai
kedudukan hukum dengan membatalkan pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) yang disambut
gembira oleh para pemohon. Namun demikian, MK sesungguhnya hanya membatalkan
‘bunyi’ pasal-pasal tersebut, tetapi tidak membatalkan isi atau substansi
pasal-pasal tersebut. Pada halaman 270 Keputusan MK, dijelaskan bahwa
pembatalan pasal 5 ayat (2), (3) dan (4) tersebut
“karena materi yang terkandung di dalamnya telah
tertampung dalam Pasal 52 yang apabila
dipertahankan keberadaannya akan menimbulkan
multitafsir dan ketidakpastian hukum.”
Dengan demikian, maka keempat BPJS tersebut tetap
syah menyelenggarakan program jaminan sosial tingkat nasional. Lalu
bagaimana dengan badan penyelenggara di daerah? Keputusan MK menegaskan hak
daerah menyelenggarakan jaminan sosial, tidak eksklusif. Tuntutan agar
pengelolaan jaminan kesehatan didesentralisasikan atau sepenuhnya merupakan hak
dan kewajiban daerah, sebagaimana dituntut pemohon, dinilai MK sebagai
melanggar UUD45.
Secara tegas keputusan MK menolak hak ekslusif
daerah seperti tercantum dalam Hal 265 putusan KM yang berbunyi:
“Pemohon
yang mendalilkan kewenangan untuk mengembangkan system jaminan sosial secara
eksklusif merupakan kewenangan Daerah” ..
“Mahkamah tidak sependapat dengan dalil Pemohon
tersebut, sebab jika jalan pikiran demikian diikuti, maka di satu pihak,
besar kemungkinan terjadi keadaan di mana hanya daerah-daerah tertentu saja
yang mampu menyelenggarakan sistem jaminan sosial dan itu pun tidak menjamin
bahwa jaminan sosial yang diberikan tersebut cukup memenuhi standar kebutuhan hidup yang layak antara daerah yang satu
dengan daerah yang lain, serta dilain pihak, jika karena alasan tertentu
seseorang terpaksa harus pindah ke lain daerah, tidak terdapat jaminan akan
kelanjutan penikmatan hak atas jaminan sosial orang yang bersangkutan setelah
berada di daerah lain.
Keadaan demikian akan bertentangan dengan
maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menghendaki hak atas jaminan sosial itu
harus dapat dinikmati oleh setiap orang atau seluruh rakyat;”
Dalam Keputusan MK tersebut, Pasal 52 yang
mengharuskan ke-empat BPJS secara bertahap menyesuaikan diri dengan UU SJSN
tetap berlaku dan karenanya program nasional dapat terus dijalankan. Dalam
Keputusan MK hal 269 dapat dibaca:
“Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 52 UU SJSN
tersebut justru dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan
menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid) karena belum adanya badan penyelenggara jaminan sosial yang memenuhi
persyaratan agar UU SJSN dapat dilaksanakan. Dengan demikian permohonan Pemohon
sepanjang menyangkut Pasal 52 UU SJSN, tidak cukup beralasan.”
Dalam hal 267, MK juga jelas menyatakan hal itu dengan
kalimat yang berbunyi:
“bahwa selama belum terbentuknya Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan-badan sebagaimana
disebutkan pada ayat (3) di atas diberi hak untuk bertindak sebagai badan
penyelenggara jaminan sosial, maka hal itu sudah cukup tertampung dalam Ketentuan
Peralihan pada Pasal 52 UU SJSN.”
Hal tersebut sesuai dengan argumen MK dalam
keputusannya di halaman 269-270:
“Sedangkan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial harus
dibentuk dengan undang-undang” tidak bertentangan dengan UUD 1945 asalkan
ditafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah pembentukan
badan penyelenggara jaminan sosial tingkat nasional yang berada di Pusat.
Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 5 ayat (1),
sebagaimana halnya Pasal 52 UU SJSN, juga tidak cukup beralasan.”
Dalam Keputusan MK Hal 268-269 dapat dibaca kalimat:
“Sementara di pihak lain keberadaan undang-undang yang
mengatur tentang pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial nasional di
tingkat pusat merupakan kebutuhan, maka Pasal 5 ayat (1) UU SJSN cukup memenuhi
kebutuhan dimaksud dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sepanjang
ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN tersebut ditafsirkan semata-mata dalam
rangka pembentukan badan penyelenggara jaminan
sosial nasional di tingkat pusat.”
Tantangan implementasi awal UU SJSN, khususnya dalam
bidang jaminan kesehatan, masih belum reda meskipun lebih dari setahun setelah
MK menetapkan keputusan yang sesungguhnya memperkuat UU SJSN. Perbedebatan
masih diteruskan oleh pihak yang tidak setuju dengan SJSN tingkat nasional
dengan menyimpulkan bahwa ke-4 BPJS yang diatur Pasal 5 ayat 3 dibatalkan oleh
MK seperti yang aktif disuarakan oleh Ghufron (2006). Mereka mendaulat seolah
ke-4 BPJS tersebut tidak lagi memegang hak/amanat UU SJSN dan karenanya daerah
bebas mengembangkan BPJSD. Faham ini semata-mata hanya melihat pasal yang
dibatalkan MK, TANPA melihat pasal-pasal lain dan argumen MK dalam mebatalkan
pasal tersebut, yang semata-mata dapat multi-tafsir. Kaedah hukum
mentapkan bahwa setelah ke-4 Badan Penyelenggara yang ada menyesuaikan
Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sesuai dengan UU SJSN, maka ke-4
badan tersebut syah menjadi BPJS menurut UU SJSN (Salim, 2006). Tafsir ahli hokum
ini telah penulis konfirmasi dengan menanyakan langsung, secara pribadi, kepada
Ketua MK dan hakim konstitusi tentang perlunya menyusun UU untuk membentuk ke-4
badan penyelenggara yang ada menjadi BPJS. Jawabannya sederhana, “Undang-undang
baru diperlukan jika akan dibentuk BPJS yang baru”, sedangkan ke-empat BPJS
sudah ada sudah dibentuk dengan UU SJSN dan apabila ke-empatnya telah
menyesuaikan diri dengan aturan UU SJSN.
Perebutan peran pemda pada hakikatnya adalah perebutan
kendali uang! Dalam Seminar di Hotel Sari Pacific tanggal 9 Agustus 2006 yang
diselenggarakan oleh Universitas Gajah Mada atas sponsor Asia Foundation, mengemuka
harapan agar program Askeskin diserahkan kepada daerah, oleh mereka yang
mengklaim atas nama daerah. Jika benar, mereka mengklaim atas nama daerah,
mengapa hanya bapel/perbapel JPKM, dan kini asosiasi jamkesda yang menuntut?
Sementara kemampuan/ kinerja bapel/perbapel tersebut sangat jauh dari memadai.
Tidak satupun dari bapel yang memiliki modal lebih dari Rp 1 milyar. Bagaimana
mungkin mereka mampu mengelola dana puluhan, ratusan milyar bahkan triliunan
rupiah. Bandingkan dengan PT Askes yang memiliki modal disetor Rp 400 milyar
dan cadangan lebih dari Rp 1 triliun. Kantor-kantor cabang PT. Askes di
daerahdaerah juga dikelola oleh orang daerah, bukan orang pusat yang dikirim ke
daerah.
Memang UU 32/2004 Pasal 22 ayat 1 huruf h berbunyi
“Pemda wajib mengembangkan sistem jaminan sosial”. Dalam penjelasan pasal
tersebut, tercantum “cukup jelas”. Apakah kata “jaminan sosial” yang tercantum
dalam UU 32/2004 sama artinya dengan kata ‘jaminan sosial” dalam UU SJSN?
Dengan melihat konteks dan pemahaman pembuat UU 32/2004, sesungguhnay dapat
dipastikan bahwa kata “jaminan sosial” dalam UU Otoda tersebut bersifat umum
dan berbeda dengan makna yang dirumuskan oleh UU SJSN yang bersifat khusus lex
specialis. Makna ‘jaminan sosial’ dalam UU 32/2004 bersifat umum yang difahami
masyarakat seperti mengurus anak terlantar, penduduk jompo, pengangguran,
korban PHK, gelandangan, korban bencana alam, dan sebagainya. Kata jaminan
sosial yang menjadi kewajiban Pemda adalah pelayanan sosial yang bersifat sementara
dan lokal. Sementara UU SJSN hanya mengatur lima program jaminan yang bersifat
jangka panjang, yang berlaku seumur hidup bagi seluruh rakyat secara nasional.
Kata ‘jaminan sosial’ dalam UU Otoda tersebut tidaklah
dimaksudkan ‘jaminan kesehatan”, sebab klausul yang menyangkut kesehatan sudah
diatur, sebagai kewajiban Pemda dalam Pasal yang sama huruf f “Pemda wajib
menyediakan fasilitas keseahatan”.
Kata ‘fasilitas kesehatan’, menurut berbagai
literatur, mencakup juga pendanaan, peralatan, dan sumber daya manusia (Thabrany,
2003). Dengan demikian, maka dapat dipastikan bahwa kata ‘jaminan sosial’, yang
hanya muncul dua kali dalam UU 32/2004 sama sekali tidak dimaksudkan sama
dengan ‘jaminan sosial’ yang didefinisikan secara lugas dalam UU SJSN. Oleh
karenanya, menggunakan UU 32/2004 untuk mengklaim bahwa UU tersebut memberikan
kewenangan kepada Pemda untuk mengembangkan jaminan sosial, untuk program-progrram
sebagaimana diatur dalam UU SJSN, sama sekali tidak kuat dan tidak berdasar.
Tidak ada pertentangan antara UU 32/2004 dan UU 40/2004 ttg SJSN, karena kewenangan
yang diatur kedua UU tersebut berbeda.
Manfaat Askes bagi
Masyarakat Miskin Telah Jelas
Evaluasi program Askeskin, sebagai implementasi awal
program asuransi kesehatan nasional dalam UU SJSN, menunjukan bahwa program ini
sangat bermanfaat bagi rakyat banyak. Bahkan, kinerja Menkes dalam Polling
Kompas awal Agustus 2006 yang mencapai 59,4% dihasilkan dari kenyataan bahwa
Depkes telah mengembangkan program yang dirasakan bermanfaat bagi orang banyak.
Laporan PT. Askes pada bulan Maret 2006 menunjukan bahwa 54 juta kartu peserta
Askeskin telah didistribusikan. Dengan kartu peserta di tangan, maka ada
kepastian bahwa penduduk miskin tersebut berhak mendapatkan pelayanan kesehatan
komprehensif, termasuk hemodialisa/cuci darah yang bernilai sekitar Rp 4 juta
per bulan. Dalam prakteknya, masih terjadi penarikan biaya oleh oknum fasilitas kesehatan yang kurang
memahami perannya sebagai pelayan publik.
Pada tahap awal implementasi program Askeskin, banyak
keluhan dan ketidaktepatan identifikasi penduduk yang berhak menerima subsidi
iuran (elijibilitas). Hal ini karena perhitungan jumlah orang miskin di suatu
daerah didasarkan pada sensus Badan Pusat Statistik dan penetapan nama-nama
orang miskin oleh Pemda yang metoda dan kriterianya bervariasi antar satu
daerah dengan daerah lain. Meskipun demikian, evaluasi Badan Litbangkes Depkes
RI dengan melakukan verifikasi di lapangan menunjukan bahwa akurasi sasaran cukup tinggi. Hanya 6%
penerima kartu Askeskin yang ternyata tidak termasuk miskin menurut kriteria
penerima bantuan langsung tunai. Hal ini sesungguhnya tidak bermasalah, karena kriteria miskin
untuk makan memang berbeda dengan miskin terhadap kebutuhan medis.
Dari segi pendanaan, sebagaimana diatur dalam UU SJSN,
program jaminan kesehatan dikelola secara nirlaba. Artinya, apabila terjadi
surplus dana, maka surplus tersebut tidak boleh dibukukan sebagai laba PT
Askes, tetapi harus diakumulasi untuk pendanaan program tahun berikutnya.
Inilah hakikat Dana Amanat, dana yang diamanatkan hanya untuk pendanaan
program. Secara rinci penggunanaan dana diatur dalam pedoman menurut SK Menkes
nomor 56/2005. Askes hanya menerima management fee sebesar 5% dari dana.
Besar dana yang semula dikucurkan Depkes ke Askes
sebesar Rp 2,3 triliun dengan perhitungan iuran Rp 5.000 per orang per bulan
untuk 36,4 juta orang miskin. Terdapat sisa anggaran yang belum diserap di
tahun 2005 sebesar Rp 1,12 Triliun. Sisa dana terjadi karena masih ada luncuran
dana program JPSBK tahun 2004 yang masih terdapat di fasilitas kesehatan dan di
daerah-daerah yang harus digunakan di tahun 2005. Dana sisa tersebut
diluncurkan ke dalam mata anggaran tahun 2006. Depkes kemudian menambahkan dana
Rp 2,6 triliun untuk tahun 2006 sehingga jumlah dana tahun 2006 berjumlah Rp
3,7 triliun. Akan tetapi di akhir tahun 2006, ternyata terjadi defisit karena
terjadi maturitas program. Diperkirakan, penyerapan dana yang lebih stabil,
ultimate risks, baru dicapai setelah tahun ke-3.
Sebuah hasil studi di RS Gunung Jati, yang dimiliki
Pemda Kota Cirebon, menunjukan bahwa program Askeskin telah meningkatkan akses
yang jauh lebih baik dari program PKSBBM/JPSBK atau PDPSE dua tahun sebelumnya,
yang dananya diserahkan langsung ke daerah/rumah sakit. Jumlah pasien rawat inap
tahun 2005, baik yang bertempat tinggal di Kota Cirebon maupun di luar kota
Cirebon meningkat lebih dari 100% dibandingkan dua tahun sebelumnya. Bahkan
jumlah pasien yang bertempat tinggal di luar Kota Cirebon meningkat lebih dari
300%, dari tertinggi 683 pasien di tahun 2003 menjadi 2.320 pasien di tahun
2005, yang menunjukkan bahwa akses masyarakat miskin untuk mendapatkan
perawatan rujukan luar kota/kabupaten jauh lebih baik. Hal ini menunjukan bahwa
program bersekala Nasional, sebagai mana telah
diantisipasi dalam penyusunan progam jaminan kesehatan dalam UU SJSN,
telah terbukti memiliki portabilitas dan memudahkan pasien mendapat pelayanan
di luar batas administrasi pemerintahan.
Dari segi pendanaan, sebagaimana diatur dalam UU SJSN,
program jaminan kesehatan dikelola secara nirlaba. Artinya, apabila terjadi
surplus dana, maka surplus tersebut tidak boleh dibukukan sebagai laba PT
Askes, tetapi harus diakumulasi untuk pendanaan program tahun berikutnya.
Inilah hakikat Dana Amanat, dana yang diamanatkan hanya untuk pendanaan
program. Secara rinci penggunanaan dana diatur dalam pedoman menurut SK Menkes
nomor 56/2005. Askes hanya menerima management fee sebesar 5% dari dana.
Besar dana yang semula dikucurkan Depkes ke Askes
sebesar Rp 2,3 triliun dengan perhitungan iuran Rp 5.000 per orang per bulan
untuk 36,4 juta orang miskin. Terdapat sisa anggaran yang belum diserap di
tahun 2005 sebesar Rp 1,12 Triliun. Sisa dana terjadi karena masih ada luncuran
dana program JPSBK tahun 2004 yang masih terdapat di fasilitas kesehatan dan di
daerah-daerah yang harus digunakan di tahun 2005. Dana sisa tersebut diluncurkan
ke dalam mata anggaran tahun 2006. Depkes kemudian menambahkan dana Rp 2,6
triliun untuk tahun 2006 sehingga jumlah dana tahun 2006 berjumlah Rp 3,7 triliun.
Akan tetapi di akhir tahun 2006, ternyata terjadi defisit karena terjadi
maturitas program. Diperkirakan, penyerapan dana yang lebih stabil, ultimate
risks, baru dicapai setelah tahun ke-3.
Sebuah hasil studi di RS Gunung Jati, yang dimiliki
Pemda Kota Cirebon, menunjukan bahwa program Askeskin telah meningkatkan akses
yang jauh lebih baik dari program PKSBBM/JPSBK atau PDPSE dua tahun sebelumnya,
yang dananya diserahkan langsung ke daerah/rumah sakit. Tampak pada tabel di
bawah bahwa jumlah pasien rawat inap tahun 2005, baik yang bertempat tinggal di
Kota Cirebon maupun di luar kota Cirebon meningkat lebih dari 100% dibandingkan
dua tahun sebelumnya. Bahkan jumlah pasien yang bertempat tinggal di luar Kota
Cirebon meningkat lebih dari 300%, dari tertinggi 683 pasien di tahun 2003
menjadi 2.320 pasien di tahun 2005, yang menunjukkan bahwa akses masyarakat
miskin untuk mendapatkan perawatan rujukan luar kota/kabupaten jauh lebih baik.
Hal ini menunjukan bahwa program bersekala Nasional, sebagai mana telah diantisipasi
dalam penyusunan progam jaminan kesehatan dalam UU SJSN, telah terbukti memiliki
portabilitas dan memudahkan pasien mendapat pelayanan di luar batas administrasi
pemerintahan.
Askes Sosial Pegawai Negeri (ASKES): 40 Tahun Pengalaman
Berharga
Banyak pihak meragukan keampuhan sistem asuransi
kesehatan sosial, khususnya mereka yang jarang atau tidak pernah belajar
berbagai sistem asuransi kesehatan maupun sistem NHS di berbagai negara.
Sesungguhnya hal itu wajar saja. Akan tetapi, jika seorang ahli yang kurang
belajar dari fakta di Indonesia maupun di berbagai negara berkomentar miring
tentang keampuhan sistem asuransi kesehatan sosial, maka hal itu dapat
merugikan sistem AKN ke depan. Paling tidak, hal itu akan mendorong perdebatan
yang kurang produktif, hanya buang waktu. Kita sering juga mendengar kritik UU
SJSN mengapa mengarah ke single payer, monopolistik, tidak meniru model Jerman
atau Jepang. Kritik tersebut tidak atau kurang memandang konteks perkembangan
sistem tersebut di berbagai negara. Memang di Jepang dan di Jerman, sistem
asuransi sosial berkembang mulai dari grass root, yang pluralistik dan
kecil-kecil. Sistem ini tidak efisien dan banyak menimbnulkan overlap. Secara
bertahap mereka melakukan merger dan bergabung untuk efisiensi dan efektifitas
program. Bahkan dunia komersial juga sering melakukan merjer untuk penguatan dan
efisiensi. Tetapi, Indonesia memulai dengan sistem asuransi sosial untuk
pegawai negeri 40 tahun lalu secara nasional dengan single payer. Selama perjalanannya,
tidak ada bukti-bukti yang menunjukan bahwa program Askes gagal total. Bahkan,
ketika PT. Askes diserahkan mengurus 76,4 juta peserta tambahan, tidak ada
bukti kegagalan total yang mengharuskan perombakan total. Peserta pegawai
negeri dan pensiunan pegawai negeri melebihi 14 juta jiwa. Ditambah program
Askeskin, yang merupakan tambahan 76,4 juta jiwa lagi, menjadikan pengalaman PT
Askes yang terbesar dengan jumlah peserta yang dilayani mencapai 90 juta jiwa
secara nasional. Dengan pengalaman tersebut, tidaklah sukar untuk memperluas
cakupan, karena fasilitas kantor dan sistemnya memang sudah beroperasi secara
nasional. Hanya diperlukan polesan disana-sini untuk membuat penyelenggaraan lebih
efisien dan lebih efektif. Yang kita dapatkan memang ada keluhan-keluhan dan kekurangan-kekurangan
teknis, yang terkait dengan sistem lain, yang hanya perlu perbaikan. Itulah
sebabnya, UU SJSN bertujuan memperluas sistem jaminan sosial tanpa harus
membentuk yang baru, untuk efisiensi, penyeragaram, dan kemudahan bagi peserta/penduduk.
Yang krusial dan esensial dari penyelenggaraan Askes
adalah bentuk badan penyelenggara yang PT Persero, yang secara legal merupakan
Perseroan Terbatas yang bertujuan mencari laba bagi pemegang saham. Ini
keajaiban dunia. Karenanya, UU SJSN merombak bentuk badan penyelenggara menjadi
BPJS yang nirlaba. Tugas BPJS kan hanya mengumpulkan iuran wajib, yang kasarnya
direksi duduk saja juga uang akan masuk.
Beda dengan BUMN yang lain, yang harus kerja keras
memasarkan produknya dan bersaing dengan BUMN lain dan atau dengan perusahaan
lain. Yang paling banyak dikhawatirkan adalah kesinambungan program dan
akuntabilitas penggunaan dana dari iuran yang terkumpul. Jika kita analisis
kinerja keuangan PT Askes selama data tersedia, dari tahun 1986, maka tampak
sekali keadaan keuangan PT Askes selalu sehat. Jika ditemukan penyalah gunaaan,
maka seharusnya sudah kita dengar direksi yang dipenjarakan. Mungkin ada dan
tidak diketahui, tetapi kemungkinannya kecil.
Dengan model DPHO, PT Askes telah mampu mengendalikan
belanja obat dengan signifikan. Prof Iwan Darmansyah, seorang ahli kunci dalam
pengembangan DPHO memperkirakan bahwa PT Askes bisa selamat dari kesulitan
finansial karena konsep DPHO menghemat lebih dari 30% belanja obat PT Askes.
Hal itu sudah berjalan puluhan tahun, yang belum pernah dimiliki oleh
perusahaan asuransi manapun di Indonesia. Jumlah peserta yang dikelola, di
seluruh Indonesia-jadi sudah bersekala Nasional sejak 40 tahun lalu, merupakan
yang terbesar.
Dengan cakupan peserta yang terbesar, belanja
kesehatan dan belanja obat yang terbesar, suatu ketika AKN akan mampu
mengendalikan biaya kesehatan. Hal ini sudah ditunjukan di negara lain yang
menggunakan AKN. Kecilnya iuran yang dibantu dengan kendali harga pelayanan di
fasilitas kesehatan yang dikontrak Askes, tidak membuat kinerja keuangan Askes
jatuh. Inflasi belanja Askeskun bisa dikendalikan. Kinerja keuangan (rasio keuangan)
PT Askes dalam lima belas tahun terakhir teranyata tetap terkendali. Tabel di bawah
memperlihatkan rasio Belanja Total (Rasio BT/I, belanja pelayanan kesehatan
plus biaya manajemen/administrasi) yang dapat dikendalikan di bawah 1 (satu),
titik break even.
Rasio lebih besar dari 1 (satu) menandakan program
defisit sedangkan rasio di bawah nilai 1 menunjukan surplus penerimaan.
Meskipun rasio belanja total terhadap iuran diterima menunjukan defisit (>1)
di beberapa tahun, secara keseluruhan PT Askes belum merugi karena defisit
tersebut ditutupi dari hasil investasi (bunga SBI dan pendapatan investasi
lain). Dana Cadangan Teknis yang kini jumlahnya sekitar Rp 1 Triliun (satu
Triliun Rupiah). Sementara itu, rasio Belanja Medis (rasio BM/I) dibandingkan
dengan iuran yang diterima dapat dipertahankan pada rasio di bawah 1. Artinya,
belum pernah terjadi biaya medis melebih iuran yang diterima. Rasio tertinggi
terjadi di tahun 1992 yaitu sebesar 93,3%. Artinya, 93,3% iuran yang diterima
habis untuk membayar biaya medis. Rasio biaya manajemen/Administrasi (rasio
A/I) juga dapat dikendalikan selalu di bawah 20% dari iuran yang diterima.
Tidak ada satupun perusahaan asuransi komersial yang mampu mencapai kinerja
biaya administrasi di bawah 20%. Kesimpulannya, fakta-fakta kinerja PT Askes menunjukan
bahwa penyelenggaraan askes sosial PN selalu solven, sustainabel, dan terkendali.
Ini pelajaran dan pengalaman sangat berharga. Akan tetapi, untuk ukuran
asuransi sosial yang nirlaba, rasio biaya administrasi terhadap iuran (Rasio
A/I) tersebut masih terlalu besar. Target AKN dalam sepuluh tahun ke depan
rasio A/I haruslah di bawah 10% dan setelah itu harus bisa dipertahankan
menjadi di bawah 5%. Dengan rasio seperti itu, maka para majikan dan pegawai
yang diwajibkan mengiur akan memperoleh manfaat terbesar, dibandingkan dengan
mereka mengurus sendiri atau membeli dari perusahaan asuransi komersial. Tentu
saja bisa diperdebatkan bahwa dalam rangka menjaga tingkat solvabilitas dan profitabilitas,
PT Askes mengorbankan pelayanan sehingga Angka Utilisasi (utilization rates)
selalu rendah, yang secara obyektif diukur dengan jumlah peserta (jiwa) yang
menggunakan pelayanan untuk setiap 1.000 jiwa. Faktanya tidak demikian.
Angka utilisasi saja tidak cukup, harus dinilai juga
dengan tingkat kepuasan. Ternyata, tingkat kepuasan sudah mencapai 80%,
merupakan angka yang sangat baik untuk program asuransi sosial. Tingkat
kepuasan peserta Jamsostek di tahun 2008 mencapai 73%, juga baik untuk suatu
program asuransi sosial. Memang ada sekitar 20% peserta yang tidak puas, yang
umumnya adalah peserta pegawai negeri golongan III dan IV, yang memang seharusnya
membeli asuransi tambahan/suplemen karena selera mereka lebih tinggi. Perlu difahami
bahwa asuransi sosial menjamin kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar dalam jaminan
kesehatan adalah kebutuhan medis, bukan kebutuhan selera seperti perawatan di ruang
VIP atau dengan obat bermerek mahal yang memberi rasa puas lebih. Yang dijamin adalah
obat yang efektif, bukan yang mahal atau bergengsi. Begitu juga ruang perawatan
dan dokter yang melayani. Pilihan dokter subspesialis (konsultan) yang sudah
beken, atau yang terkenal, bukanlah kebutuhan dasar medik. Pilihan itu merupkan
pilihan selera kepuasan yang sifatnya subyektif. Jika hal itu yang dicari, maka
dana yang digunakan haruslah dana privat, dari kantong sendiri atau dari
asuransi komersial, bukan dari dana publik (asuransi sosial). Tetapi, kebutuhan
cuci darah, bedah jantung, dan pengobatan kanker di kelas standar oleh dokter
yang kompeten (mungkin tidak terkenal) merupakan kebutuhan dasar medik yang
harus dijamin dalam asuransi sosial.
Dari informasi kinerja program Askes Pegawai Negeri
diatas, dengan tidak mengenyampingkan beberapa kekurangan teknis, tidak ada
alasan kuat untuk membongkar atau merobohkan penyelenggaraan yang ada sekarang.
Misalnya, upaya untuk meminta program AKN dikelola oleh Pemda atau perusahaan
swasa. Upaya itu sama-sekali tidak beralasan untuk kepentingan peserta. Tetapi,
upaya itu mungkin beralasan untuk member kesempatan kepada pihak-pihak tertentu
mengambil keuntungan. Program jaminan social bukanlah upaya dagang yang
memungkinkan seseorang atau suatu pihak mengambil keuntungan. Program jaminan
sosial, AKN, merupakan program yang harus member manfaat terbesar kepada
penduduk, bukan sekelompok orang atau sekelompok pengusaha.
Mereka yang ingin mengambil keuntungan dapat mengembangkan
fasilitas kesehatan yang akan dibayar sama. Apabila fasilitas kesehatan, yang
boleh milik publik atau milik swasta, mampu berproduksi efisien, yang berarti
dengan bayaran yang sama dan dengan kualitas yang sama dengan biaya produksi
yang lebih murah, maka mereka mendapat laba. Silahkan.
Peran Pemda
Ali Gufron dkk (2005) dan Gufron (2006) yang juga
diikuti oleh DPRD Provinsi Jawa Timur menggugat bahwa penyelenggaraan JKN/dan
jaminan sosial lain harusnya didesentralisai ke daerah sebagai hak dan kewajiban
pemerintah daerah. Oka Mahendra (2006), mantan Dirjen Hukum dan
Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM
ketika itu, mengatakan bahwa keputusan MK tidak signifikan terhadap
penyelenggaraan SJSN. Sesungguhnya Keputusan MK memperkuat UU SJSN dengan
pernyataan MK bahwa “UU SJSN sudah cukup memadai menjawab amanat UUD45 Pasal
34 ayat 2” karena UU SJSN telah mengatur sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat. Pasal 19 ayat 1 UU SJSN yang berbunyi “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi
sosial dan prinsip ekuitas” tetap berlaku, tidak dibatalkan oleh MK. Dengan
penyelenggaraan secara nasional, maka amanat UUD45, untuk menjamin seluruh
rakyat, bisa diwujudkan. Karenanya, memang program JKN harus diselenggarakan secara
Nasional, tidak dipecah-pecah per daerah.
Perdebatan tentang penyelenggaran Pusat dan Daerah
sesungguhnya hanya terletak pada keinginan untuk mengelola dana oleh daerah
dengan usulan pembentukan BPJSD. Sesungguhnya, jika yang dikedepankan
kepentingan rakyat, perdebatan tersebut menjadi tidak signifikan. Sebab,
rancangan BPJS adalah rancangan badan milik seluruh pemangku kepentingan (stakeholders)
sehingga tidak ada kepemilikan Pemerintah ataupun Pemda. Penyelenggaraan
Nasional oleh ke-empat BPJS semata-mata didasarkan pada pertimbangan
protabilitas dan ekuitas. Jaminan yang sifatnya seumur hidup haruslah portable,
harus bisa dinikmati oleh seluruh rakyat ke daerah manapun ia bekerja, tinggal,
atau berkunjung untuk tujuan jangka pendek. Selain itu, jaminan yang diberikan
haruslah sesuai dengan kebutuhan medis, meskipun di suatu daerah belum tersedia
suatu pelayanan medis tertentu, maka peserta yang membutuhkan pelayanan medis
tertentu itu dapat dirujuk ke daerah lain, tanpa harus mengalami kesulitan administratif
karena badan penyelenggaranya tidak memiliki kerja sama dengan rumah sakit di
daerah lain. Inilah prinsip ekuitas yang menjadi pertimbangan, tidak bisa lain,
bahwa program jaminan social yang diatur SJSN haruslah bersekala Nasional.
Alhamdulillah, Keputusan MK memperkuat hal ini. Kalau pemda ingin membentuk
BPJSD untuk menyelenggarakan program lain (komplemen) atau memberikan jaminan
tambahan (suplemen) tentu saja dapat dilakukan oleh Pemda. Akan tetapi, jika
pemda membuat BPJSD untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang sama dan
untuk orang yang sama, dengan manarik iuran dari orang yang sama dengan yang
diselenggarakan secara Nasional (duplikasi program), maka akan terjadi
pemborosan yang tidak perlu. Dengan demikian, jika niatnya tulus untuk
kepentingan rakyat di suatu daerah, maka program yang bersekala Nasional telah
memadai untuk penduduk di daerah dan tidak akan membahayakan rakyat di daerah.
Kecuali, barangkali, beberapa orang di daerah tidak mendapat apa yang
diinginkan, bukan untuk rakyatnya. Toh, praktik selama ini menunjukkan bahwa
lebih lebih dari 90% pegawai BPJS di daerah-daerah adalah orang daerah. Hanya
kepala cabang yang sering bertukar antar daerah.
Pendekatan yang rasional dalam merumuskan hak dan
kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah sesungguhya harus dilihat dalam dimensi
kepentingan rakyat banyak, bukan dalam dimensi pembagian kekuasaan atau
wewenang yang sering kali ujung-ujungnya “duit”. Undang-undang SJSN
sesungguhnya telah jelas mengatur bahwa pengelolaan jaminan TIDAKlah diserahkan
kepada Pemerintah atau Pemda, tetapi dikelola secara terpisah dari
pemerintahan. Penggugatan UU SJSN dengan UU Otoda (UU 32/1004) sesungguhnya
juga tidak tepat, karena rezim hukum pengaturannya berbeda sekali.
Undang-undang 40/2004 mengatur program jaminan, BUKAN
mengatur urusan pemerintahan, sedangkan UU 32/2004 mengatur pembagian kekuasaan
yang merupakan urusan pemerintahan. Fakta sekarang menunjukan bahwa pengelola
kantor cabang/regional/wilayah badan penyelenggara yang ada sekarang adalah
orang-orang di daerah. Tidak pernah terjadiorang Jakarta pulang-pergi setiap
hari ke Bandung, Yogyakarta, atau Palembang untuk bekerja di kantor cabang
Askes, Jamsostek, atau Taspen. Hampir semua pekerja di kantor tersebut adalah
orang daerah. Pembayaran tagihan rumah sakit di suatu daerah juga diproses dan
dibayarkan oleh kantor BPJS di daerah, tidak pernah diverifikasi dan ditentukan
pembayarannya oleh kantor di Jakarta. Lalu, yang memperebutkan atau menggugat
bahwa BPJS harus didaerahkan, sesungguhnya menggugat untuk siapa? Jika gugatan
untuk orang daerah, hal itu sudah terjadi dan akan terus terjadi. Jika gugatan
itu untuk dirinya sendiri, karena sekarang ini tidak menjadi bagian dari BPJS,
maka sebuah undang-undang memang sama sekali tidak akan mempertimbangkan
tuntutan pribadi semacam itu. Tetapi, rancangan RUU BPJS akan memberikannya
peluan untuk menjadipegawai atau pimpinan BPJS di daerah, jika ia memiliki
kompetensi yang disyaratkan. Apa sulitnya??
Yang jelas, UU SJSN mengatur pendanaan untuk kesehatan
dan program jaminan sosial lain. Dana (uang/fiskal) akan bekerja lintas daerah
dan tidak terbatas di suatu daerah. Karena eksternalitas lintas daerah itulah,
maka pengelolaan dana yang terbatas oleh daerah akan mempersempit kemudahan
untuk rakyat. Jika ada yang menggugat bahwa program nasional terlalu besar
karena Indonesia terlalu besar, sesungguhnya pandangan itu terlalu sempit dan
tidak mempertimbangkan kemajuan teknologi. Pengelolaan jaminan kesehatan secara
nasional pada hakikatnya tidak banyak berbeda dengan pengelolaan kartu kredit, Visa
atau Mastercard (kecuali bahwa dana tidak dibatasi dan kartu jaminan hanya dapat
digunakan untuk “belanja pelayanan kesehatan”. Bukankah setiap orang yang
memegang kartu Visa atau Mastercard dapat dengan mudah belanja di mana saja,
bahkan di seluruh dunia, dengan jutaan merchant yang melayani. Bukankah
sangat mudah untuk melayani peserta jaminan kesehatan di mana saja ia sedang
berada (tinggal, bepergian dinas, atau sedang wisata). Setiap orang yang
memegang kartu jaminan dapat mengngunakannya di fasilitas kesehatan yang pasang
logo “Terima peserta AKN”. Disini BPJS menetapkan dan mengontrak puskesmas,
klinik, rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya, yang jumlahnya tidak
mencapai 100 ribu, dimana setiap pemegang kartu dapat “membeli pelayanan kesehatan”
dan tagihannya dikirim langsung oleh fasilitas kesehatan ke BPJS. Prinsip ini merupakan
perwujudan dari prinsip kerja money follow patient. Sangat memudahkan
untuk rakyat dimanapun. Jangan lupa, bahwa yang diurus oleh BPJS adalah
uangnya, pembayarannya, sama seperti yang diurus oleh pengelola kartu kredit.
Dengan kartu kredit, kemanapun, di dunia kita pergi; kita dapat berbelanja.
Tidak ada alasan negara kita luas, penduduknya besar, dan berpulau-pulau sehingga
tidak mungkin dikelola oleh satu badan. Pemegang kartu kredit Visa misalnya,
yang kini berjumlah lebih dari 500 juta orang di seluruh dunia, dapat
berbelanja dan memenuhi kebutuhannya dimana saja di dunia, no boundary.
Begitulah nanti sistem AKN kita. Bedanya, dalam AKN kita tidak perlu
memikirkan limit pinjaman seperti di kartu kredit. Berapapun besar biaya
berobat, sejauh pengobatan itu secara medis dibutuhkan dan RS tempat kita
berobat kompeten, maka dengan kartu peserta AKN—peserta akan dilayani. Rumah
sakit tidak perlu khawatir bed debt, atau minta uang muka, karena sejauh
mereka memenuhi prosedur—biaya berobat akan dibayar BPJS. Inilah prinsip money
follow patient. Dengan kartu peserta AKN, kemanapun kita berobat di tanah air,
NKRI, baik di RS publik maupun RS swasta, kita tidak perlu memikirkan ada atau
tidak uang tunai. Cukup membayar iuran rutin bulanan.
Bayangkan, jika masing-masing pengelola diserahkan ke
daerah sendiri-sendiri, betapa runyamnya kontrak dan administrasi tagihan antar
daerah dan antar fasilitas kesehatan yang jumlahnya lebih dari 100 ribu dengan
pemda yang jumlahnya semakin besar, mungkin lebih dari 500 kota/kabupatan dalam
beberapa tahun mendatang. Jadi, jika urusan dana dipecah-pecah, maka rakyatlah
yang dipersulit. Akan tetapi, fasilitas kesehatan tidak memiliki eksternalitas
tinggi dan karenanya lebih baik diserahkan ke masing-masing fasilitas (lebih
dari desentralisasi ke tingkat kota/kabupaten) untuk mengatur dan mengelola fasilitas
secara otonomi penuh.
Perkembangan Terakhir
Sebagaimana dijelaskan diatas, segera setelah UU SJSN
ditempatkan dalam lembaran negara, Pemerintahan SBY memulai program penjaminan
penduduk miskin yang kini dikenal dengan Askeskin. Meskipun, harus diakui,
bahwa inisiatif tersebut awalnya bukan untuk implementasi UU SJSN, tetapi
nafasnya sama. Karenanya, pengaturan dan pembahasan pengaturan Askeskin
kemudian dikaitkan dengan UU SJSN dan peraturan pelaksanaan yang tentang
program bantuan iuran, sebagaimana diatur UU SJSN diterapkan dalam Askeskin,
sedang disiapkan Kantor Menko Kesra. Undang-undang mengamanatkan bahwa
pengaturan lebih lanjut tentang penerima bantuan iuran diatur dengan PP. Kantor
Menko Kesra telah membentuk Pokja penyelesaian PP dan Perpres yang sekarang
dalam proses.
Sementara itu, Kepres pengangkatan ketua dan anggota
DJSN yang terbaru telah pula dikirimkan Kantor Menko Kesra kepada Presiden
akhir April 2007 dan revisinya telah dikirim tanggal 3 April 2008. Perlu
diketahui bahwa rekruitmen calon anggota DJSN telah dilakukan awal tahun 2005
melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (untuk wakil masyarakat dan ahli)
serta usulan Menteri untuk lima Departemen (Kesehatan, Sosial, Nakertrans,
Hankam, dan Keuangan). Sedangkan usul calon anggota dari pekerja dan pemberi
kerja disampaikan oleh masing-masing organisasi terkait. Pengangkatan calon anggota
terhambat karena dua hal, yaitu uji materi UU SJSN di tahun 2005 dan adanya kesulitan
administratif penetapan kantor sekretariat DJSN yang didanai dari dana APBN.
Selain itu, dalam perjalannya terjadi beberapa
penggantian karena pejabat pemerintah yang diusulkan mencapai usia 60 tahun,
sebelum Kepres turun. Penggantian terakhir terjadi ketika Hot Bonar Sinaga,
ahli asuransi dan mantan Ketua Dewan Asuransi Indonesia, yang semula masuk jadi
anggota DJSN kemudian diangkat menjadi Dirut PT Jamsostek. Sebagaimana diatur
dalam UU SJSN, untuk pertama kali, instansi yang bertanggung-jawab menyelesaikan
peraturan pelaksanaan dan kelangkapan lainnya berada pada Kantor Menko Kesra.
Selanjutnya, setelah DJSN terbentuk, maka DJSN akan mengambil kendali UU SJSN.
Sebagaimana diatur dalam UU SJSN, tugas utama DJSN
adalah:
Pasal 7
(1) Dewan Jaminan Sosial Nasional bertanggung jawab kepada Presiden.
(2)
Dewan Jaminan Sosial Nasional berfungsi merumuskan kebijakan umum dan
sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
(3) Dewan Jaminan Sosial Nasional bertugas :
a.
melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan
sosial;
b.
mengusulkan kebijakan investasi Dana Jaminan Sosial Nasional; dan
c.
mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya
anggaran operasional kepada Pemerintah.
(4)
Dewan Jaminan Sosial Nasional berwenang melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan program jaminan sosial.”
Fungsi DJSN dalam pengambilan kebijakan umum dan
sinkronisasi penyelenggaraan SJSN merupakan fungsi yang berat mengingat ketika
UU SJSN dibahas, terjadi resistensi dari manajemen badan penyelenggara yang
ada, yang merasa khawatir atas perubahan penyelenggaraan. Karena alotnya
pembahasan UU untuk mengubah ketiga esensi utama, sebagaimana dibahas dimuka,
maka diputuskan agar perubahan dilakukan secara bertahap dan DJSN ditugaskan
untuk mengawal perubahan tersebut. Meskipun seharusnya para pimpinan badan
penyelenggara yang ada menjalankan amanat UU SJSN, karena mereka hanyalah
pegawai atau orang-orang yang diangkat untuk menjalankan peraturan dan bukan
pemilik badan penyelenggara, tetapi untuk Indonesia hal itu tidak mudah. Hal ini
terkait budaya pejabat yang memang masih belum memihak kepentingan rakyat
banyak. Inilah tugas terberat DJSN dalam waktu 5-10 tahun ke depan, dimana masa
transisi diharapkan selesai dengan sedikit gejolak.
Untuk keberhasilan penerapan UU SJSN, perlu perubahan
pola pikir dan pola tindak (mind set dan action programs) para
politisi, akademisi, pejabat di pusat dan daerah yang harus mengedepankan
manfaat bagi rakyat/publik daripada kepentingan mereka. Suatu negara yang kuat
hanya dapat terjadi jika para pemimpinnya mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan kelompok atau
dirinya. Inilah tantangan terbesar. Perubahan tersebut hanya, menurut pandangan
pribadi saya, bisa terlaksana apabila terjadi control publik (public
pressure) yang kuat. Prilaku birokrasi, politisi, bahkan akademisi yang
lebih berorientasi kepada kekuasaan dan kepentingan kelompok yang telah
tertanam puluhan tahun memang sulit diubah dalam waktu singkat, tanpa adanya
kontrol publik yang kuat. Sayangnya, kontrol publik di Indonesia juga masih
lemah.
Strategi Ke Depan
Meskipun banyak pihak tidak yakin dengan UU SJSN,
sesungguhnya UU SJSN telah diundangkan dan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan
bahwa rancang-bangun UU SJSN telah memenuhi amanat UUD45 Pasal 34 ayat 2. Oleh
karenanya, semua warga Negara Indonesia dan Pemerintah terikat untuk
melaksanakan UU SJSN. Apa yang dirumuskan dalam UU SJSN adalah pilihan terbaik
dari berbagai pilihan rancangan yang dibahas dan ditawarkan dalam proses
perumusan UU selama tiga tahun. Kantor Menko Kesra telah mengirimkan nama-nama
calon Ketua dan anggota DJSN kepada Presiden yang berumlah 15 orang yang
terdiri atas 5 orang wakil Pemerintah, 2 orang wakil serikat pekerja, 2 orang wakil
pemberi kerja, dan 6 orang wakil masyarakat dan ahli jaminan sosial. Untuk itu,
strategi umum yang paling rasional dalam tahun 2009-2014 adalah sebagai
berikut:
1.
Diharapkan tahun ini DJSN dilantik Presiden dan mulai bekerja untuk menghasilan
peraturan perundangan (cukup dua peraturan pemerintah dan dua perpres). Draft
PP dan Perpres sesungguhnya sudah dirumuskan dan hamper selesai.
2.
Dalam lima tahun ke depan, program Askes PNS, Jaminan Kesehatan Jamsostek, dan
jaminan kesehatan penduduk miskin harus diharmonisasikan dan disinkronkan agar
manfaatnya (benefit) sama. Dalam hal pemenuhan kebutuhan pelayanan medis, tidak
boleh ada diskriminasi antar kelompok penduduk. Seluruh penduduk harus mendapat
jaminan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya. Inilah perwujudan dari Sila
Keadilan Sosial. Penyelenggara masih tetap BPJS Askes dan BPJS Jamsostek.
3.
Kedua BPJS, yang kini PT Persero, harus segera dikonversi menjadi BPJS yang nirlaba.
Rakor para menteri terkait yang dipimpin Menko Kesra Abu Rizal Bakries tanggal
12 Maret 2008, telah menyepakati bahwa BPJS tidak lagi berbentuk BUMN, tetapi
badan khusus. Perubahan status badan hukum PT. Persero menjadi Badan Khusus
Jaminan Sosial dilakukan secara seketika. Seluruh aset, sistem, dan pegawai
seketika pindah dari PT Persero menjadi Badan Khusus. Tidak perlu likuidasi,
rasionalisasi pegawai, atau perubahan manajemen seperti yang diisukan oleh
sebagian orang yang tidak setuju perubahan ini. Draft RUU BPJS telah selesai
disusun dan dapat diakses di //sjsn.menkokesra.go.id.
Hal ini merupakan langkah esensial untuk mendapatkan kepercayaan (trust)
dari publik. Agar tidak terjadi perebutan pusat-daerah, perlu difahami bahwa
BPJS bukan instansi Pemerintah atau Pemda. Oleh karenanya, penggunaan UU
32/2004 atau perubahannya untuk mengadu konsep BPJS dan UU otoda, tidak
relevan.
Program SJSN
dirancang dikelola oleh badan quasi publik atau parastatal, BPJS, yang bukan
instansi pemerintah dan bukan pula perusahaan swasta. UU SJSN mengamanatkan
agar penyesuaian Badan Penyelenggara harus selesai pada tanggal 19 Oktober
2009. Selama lima tahun ke depan, semua pihak harus mengawasi dan mendorong
terselenggaranya pengelolaan yang baik (good corporate governance)
oleh BPJS. Pegawai BPJS harus tetap mendapatkan remunerasi dan insentif
produksi sebagaimana mereka terima ketika mereka masih menjadi pegawai PT.
Persero. Hanya saja, dasar pemberikan insentif (indikator kinerja) berubah dari
perolehan laba menjadi pencapaian kinerja khusus seperti pengendalian biaya
medis dan tingkat kepuasan peserta. Apabila hal itu sudah dicapai, maka
kepercayaan publik dapat diraih dan otomatis banyak majikan yang akan segera
mendaftarkan karyawannya dan dukungan Pemda akan semakin kuat.
4.
Dalam lima tahun ke depan, penegakan hukum harus dilakukan kepada organiasi
pemberi kerja, baik pemerintah maupun swasta, yang belum menjamin karyawannya
(beserta anggota keluarganya). Sementara itu, perusahaan atau badan hukum lain
yang telah menjamin karyawannya dengan membeli asuransi kesehatan swasta, tidak
perlu dipaksa bergabung pada sistem AKN-SJSN. Mereka diberikan kesempatan untuk
memantau kinerja AKN SJSN, yang pasti akan lebih efisien dan lebih menjamin
karyawan mereka. Semenatara itu, tata kelola BPJS harus terus ditingkatkan
sampai terpercaya (good corporate governance). Selama periode ini
(RPJMN 2009-20014), BPJS harus menunjukkan berbagai kelebihan manfaat program
AKN-SJSN, yang tidak mungkin disediakan oleh perusahaan dan atau asuransi
kesehatan komersial.
5.
Program Askeskin diteruskan dalam lima tahun ke depan harus diteruskan dengan
perbaikan dan perhitungan iuran yang layak dan wajar. Pendanaannya ditanggung
bersama antara Pemerintah dan Pemda, sesuai kapasitas fiscal Pemda. Sementara
dana pemerintah pusat mungkin belum cukup memadai dan Pemda yang mampu, dapat
membayar iuran bagi penduduk potensi miskin (yang bisa Sadikin) yang tidak
bekerja sebagai pegawai. Bahkan Pemda yang lebih kaya, seperti sudah dilakukan
oleh Kabupaten Musi Banyuasin, dapat membayar iuran bagi semua penduduk yang
tidak dijamin oleh Askes dan Jamsostek sekarang.
6. Agar pelayanan di fasilitas kesehatan dapat
memuaskan peserta, maka fasilitas kesehatan pemerintah harus dikonversi menjadi
BLU Fasilitas Kesehatan Daerah. Bisa digabungkan antara Puskesmas dan RSUD agar
terjadi kesinambungan pelayanan. Pembayaran BPJS kepada fasilitas kesehatan dilakukan
secara prospektif, besarannya ditentukan dimuka, dengan besaran at reasonable
market economic costs. Besaran pembayaran tersebut, harus cukup memadai
dalam memberikan kepastian penghasilan yang layak bagi tenaga kesehatan di BLU
faskesda. Besaran pembayaran juga harus sama untuk fasiltias kesehatan swasta.
Hanya saja, peserta yang memilih fasilitas kesehatan swasta (yang tidak ada
investasi pemerintah) wajib membayar surcharge, maksimum 30% dari tarif
yang dibayar BPJS ke BLU Faskesda. Dengan rancanangan ini, maka akan terjadi
kompetisi kualitas pelayanan antara fasilitas kesehatan publik dan atau swasta.
Rancangan ini juga fairness, penduduk yang ingin berobat di fasilitas
kesehatan swasta, yang dia yakini lebih baik kualitasnya, mereka harus bayar
tambahan (out of pocket). Itu pilihan. Jika mereka tidak punya uang,
mereka berobat ke fasilitas kesehatan publik.
7.
Setalah lima tahun (RPJMN berikutnya), harus dijamin bahwa biaya administrasi AKN
(setara dengan loading factor, biaya manajemen) harus tidak lebih dari
5% iuran yang terkumpul. Sebagai pembanding, biasanya perusahaan asuransi komersial
menghabiskan biaya manajemen, termasuk laba, antara 35-50% dari premi yang
diterima. Jadi, sangat mahal. Belum lagi, program asuransi komersial tidak akan
menjamin pensiunan (baik pegewai negeri, pegawai swasta, atau pekerja yang
tidak menerima upah) karena risiko tinggi. Mereka juga tidak menjamin tindakan
mahal seperti pengobatan kanker, cuci darah, dan bedah jantung. Kita yakin
dengan cara ini, perusahaan besar swasta akan dengan senang hati mengikutkan
karyawannya dalam AKN, meskipun secara legal hal itu merupakan kewajiban. Fakta
ini ditunjukan dalam sistem AKN di Korea dan Taiwan. Dengan strategi besar
seperti itu, maka AKN akan berkembang dengan baik, memberikan jaminan yang
memadai (bukan sekedar janji kesehatan gratis tetapi hanya di puskesmas seperti
yang banyak dijanjikan gubernur/bupati/walikota sekarang ini).
BAB IV
PENUTUP
Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum mampu
memberikan perlindungan kapada seluruh rakyatnya dalam menghadapi risiko
penyakit yang berdampak pada kerugian finansial yang sangat besar bagi rumah
tangga. Bahkan, hampir di seluruh pemerintah daerah, sistem yang diberlakukan
adalah sistem jual-beli pelayanan rumah sakit dengan mengharuskan rakyat yang
sakit membayar berbagai pelayanan yang tarifnya ditetapkan dengan suatu Perda.
Akibatnya, seluruh rakyat tidak memiliki kepastian bisa berobat apabila ia
sakit. Di tahun 2004 sebagian besar (83%) rakyat yang membutuhkan perawatan
mengalami ganggunan finansial rumah tangga karena harus membayar biaya
perawatan di rumah sakit di luar kapasitasnya membayar. Sementara di negara
tetangga seperti Malaysia, Srilanka, dan Muangtai seluruh penduduknya telah
terbebas dari beban finansial ketika musibah sakit menimpa mereka.
Reformasi sistem jaminan sosial telah menetapkan arah
ke depan Indonesia dengan mengharuskan negara mengembangkan jaminan sosial,
termasuk jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat. Undang-Undang Sistem Jaminan
Sosial Nasional telah dikukuhkan MK dalam penyediaan lima program jaminan yaitu
jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian. Tahap
awal perluasan jaminan kesehatan telah dimulai tahun 2005 melalui program yang
dikenal dengan Askeskin, tetapi diubah tahun 2008 karena konflik kepentingan.
Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa UU SJSN sudah sesuai dengan amanat Pasal
34 ayat 2 UUD 45. Program SJSN bersekala nasional, dan bukan dikelola oleh
Pemerintah atau Pemda tetapi dikelola oleh BPJS, suatu badan khusus kuasi
pemerintah atau parastatal. Dengan rancangan ini, manfaat terbesar dan
kemudahan akan diterima oleh rakyat di seluruh tanah air. Pemda dapat
mengembangkan program jaminan sosial tambahan atau komplemen program nasional.
Selain itu, pemda mempunyai kewajiban dan kewenangan penuh dalam mengatur,
membangun dan menyediakan fasilitas kesehatan. Rumah sakit tersebut dapat
menarik pasien dari kota atau provinsi lain yang pembayarannya dilakukan oleh
BPJS nasional (money follow patient). Pemda tidak perlu membangun BPJS
sendiri yang eksklusif, karena hal itu tidak praktis dan tidak member kemudahan
bagi peserta di daerah itu sendiri. Meskipun telah ada keputusan MK, tantangan
ketidakfahaman pengambil keputusan, akademisi, pelaku bisnis, bahkan aktifis
berbagai organisasi kemasyarakatan merupakan pekerjaan rumah yang harus
dihadapi dalam menuju cakupan universal. Sayangnya memang, karena DJSN belum
terbentuk, maka upaya intensif penyamaan persepsi belum berjalan. Saat ini
Kantor Menko Kesra sudah mengusulkan 15 orang nama-nama calon Anggota DJSN
kepada Presiden. Dalam 2-3 tahun ke depan, penataan system jaminan sosial
seperti sinkronisasi perbedaan manfaat (benefit) antara program maupun
penyelenggaraan JPK Jamsostek dan Askes PNS harus sudah bisa dimulai. Bersamaan
dengan itu, status badan hukum BPJS harus sudah diubah menjadi suatu badan
khusus, untuk menggalang kepercayaan publik. Penduduk miskin akan terus dijamin
melalui program bantuan iuran, dengan iuran yang dibayar bersama antara
Pemerintah dan Pemda.
Pemda yang mampu dapat memperluas cakupan universal
dengan membayar iuran bagi penduduk sektor informal. Sementara penduduk di
sektor formal yang kini dijamin melalui upaya sendiri (self-insured) atau membeli asuransi masih dapat meneruskan cara
itu sampai majikan menyadari bahwa sistem AKN lebih murah dan lebih
menguntungkan karyawannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali Gufron, dkk. Laporan Studi PJKMM- Program Magister Kesehatan
FKUGM-Badan Litbangkes, Web Depkes.go.id. 2006.
Anonim, 2012, Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN), Asuransi dan Mentalitas, http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/03/15/sistem-jaminan-sosial-nasional-sjsn-asuransi-dan-mentalitas/
Anonim, 2012, SJSN Diterapkan, Kebutuhan Obat Generik Meningkat, http://health.kompas.com/read/2012/10/05/1148080/SJSN.Diterapkan.Kebutuhan.Obat.Generik.Meningkat.
Anonim, 2012, Wamenkes: awal 2014 SJSN
dijalankan, http://www.antaranews.com/berita/330109/wamenkes-awal-2014-sjsn-dijalankan.
Depkes RI. Pembinaan Bapel JPKM: Kumpulan Materi. Depkes RI, Jakarta,
1995.
Depkes Taiwan. Public Health in Taiwan, ROC. Taipei, 1997.
Gufron, Saksi Ahli. Keputusan MK. 2005.
Ghufron. A. Peran Pemerintah Daerah dalam Mengembangkan Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Makalah disajikan dalam Munas ke-3 PAMJAKI. Jakarta 29-31
Agustus 2006.
Oka Mahendra. Dirjen Hukum dan Perundang-undangan. Penjelasan dan Arti
Keputuasn MK yang disampaikan dalam Loka Karya SJSN di Jakarta, Maret 2006.
PT. Askes. Laporan Askes kepada Rapat Kerja Dewan Jaminan Sosial
Nasional, Jakarta 16 Mei 2007.
Rubi, Mahlil. Hubungan Belanja Kesehatan Katastropik Dengan Belanja
Protein, Pendidikan, Dan Pemiskinan Di Indonesia, Tahun 2004. Disertasi. FKMUI,
Januri, 2007.
Salim, Zafrullah. Makalah Workshop SJSN, Juni 06.
Shalala, DE dan Reinhardt UE. Interview: Viewing the US Health Care
System from Within: Candid Talk from HHS. Health Affairs 18(3): 47-55,
1999.
Susilawati. Lucy Agung, 2006. Faktor-faktor yang Berhubunganan Dengan
Tingginya Biaya Obat Alat Medis non-DPHO di RS Gn Jati Cirebon. Tesis, FKMUI,
2006.
Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan
Dokter Indonesia, Jakarta, 1999.
Thabrany, dkk. Telaah Komprehensif Jaminan Pemeliharaan Kesehatan di
Indonesia. YPKMI, Jakarta, 2000.
Thabrany, 2002. Current health insurance coverage in Indonesia. Paper
presented in the Asia- Pacific Summit on Health Insurance and Managed Care,
Jakarta May 22-26, 2002.
Thabrany, H. Makna Fasilitas Kesehatan. Makalah disajikan dalam Diskusi
Majelis Pelayanan Kesehatan, Ditjen Yanmed, Depkes, Jakarta 2003.
Thabrany, H. Dalam Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana
Masyarakat. Rajagrafindo, Jakarta, 2005.
Thabrany, H., 2008, Strategi Pendanaan Jaminan Kesehatan
Indonesia dalam SJSN, http://staff.ui.ac.id/internal/140163956/material/StrategiPendanaanJaminanKesehatanIndonesia-Bappenas08.pdf.
Thangcharoensathien, V. Social Health Insurance in South-East Asia.
Makalah disajikan pada Regional Expert Group Meeting on Social Health Insurance,
New Delhi, Maret 2003.
Tangcharoensathien,dkk. Thailand. Dalam Than Sein in Social Health
Insurance in Selected Asian Countries. New Delhi, 2005.
UU. No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN).
UU No. 24 tahun 2011
tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS).
Wagsaff A and Doorslair, V.D. Equity in Health Care Financing and
Delivery. In Culyer AJ and Newhouse JP (Ed) Handbook of Health Economics, Vol
IB. Elsevier Science, BP. Amsterdam, the Netherland, 2000.
WHO, The World
Health Report 2000. Health Systems, Improving Performance. Geneva,2000.
WHO, The World
Health Report 2005. Make Every Mother and Child Count. Geneva,2005
Kami siap membantu orang yang membutuhkan pinjaman pada tingkat bunga rendah.
ReplyDeleteAku Karen Mark, pemberi pinjaman uang pribadi, yang Anda dalam utang? Anda membutuhkan dorongan keuangan? Saya telah didaftarkan dan disetujui perusahaan pinjaman oleh kerajaan Inggris untuk mengontrol lembaga keuangan. Aku memberikan pinjaman untuk lokal dan internasional untuk semua orang yang membutuhkan pinjaman, dan dapat membayar kembali pinjaman, pada tingkat 2%. Aku memberikan pinjaman melalui transfer rekening atau cek bank. Tidak memerlukan banyak dokumen. Anda dapat menghubungi kami melalui Email: karenmarkfinancialloancompany@gmail.com
Kami akan memberikan kami yang terbaik.