Widget HTML Atas

SAATNYA UNTUK MENIKAH



SAATNYA UNTUK MENIKAH
By: Hadi Kurniawan, S.Farm., Apt.

Tak ada waktu untuk menunda
Jika engkau memang telah siap
Maka apalagikah alasan
Yang bisa engkau berikan
Untuk memaafkan dirimu sendiri?
Bukankah jika engkau miskin
Allah berjanji akan memberi
Kecukupan kepadamu
(Dikutip dari buku “Saatnya Engkau Menikah” oleh Muhammad Fauzil Adhim)

Rasulullah bersabda yang disebutkan oleh Thawus dari Ibnu Abbas r.a. “Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai seperti halnya menikah”. An-nisa:3 dan Allah juga berfirman dalam surah Al Baqarah:187 “Mereka merupakan pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”.

Tak sedikit pemuda pemudi mempersingkat pertemuan dengan maksiat nista hingga berujung sesal panjang penuh hina. Mencicipi keindahan dan kenikmatan sesaat yang dijanjikan. Ada juga yang tak berani bermimpi apatah lagi melangkah. Terdapat juga pemuda yang tergesa-gesa menjemput indahnya momen tanpa persiapan.

Sesungguhnya pernikahan merupakan keberanian membenturkan idealisme dalam realitas. Mempertemukan harapan dalam kenyataan. Kedewasaanlah yang menyatukan kedua perbedaannya. Pasangan kita bukanlah sempurna, dimana selalu ada kekurangan dan kelemahan. Jika 1 kriteria telah terpenuhi yakni ketaatan agamanya kepada Allah dan Rosulullah maka akan selamat, dan insya Allah terjamin semua aspek lainnya akan mengikuti. 
“Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, karena boleh jadi kecantikan itu akan membinasakan, dan janganlah kamu menikahi mereka karena hartanya, karena boleh jadi harta itu akan menjadikannya sombong. Tetapi nikahilah wanita karena agama… “ [H.R. Ibnu Majah).
Nikahilah wanita karena 4 perkara: (1) kecantikannya; (2) nasab/keturunannya; (3) harta kekayaan/ekonominya; serta (4) agama/keimanan-ketaqwaannya. Pilihlah agama sebagai prioritas penilaian. Selaku lelaki normal pada umum dan kebanyakan, maka penampilan/kerupawanan fisik pasangan jenis merupakan feromon/daya tarik awal. Namun jika hanya cantik fisik tidak didukung dengan kemuliaan hati (inner beauty) maka lekaki kan tertarik pada awalnya saja, dan ilfeel kemudian. Bahkan ulama terdahulu mengibaratkan bahwa penilaian agama diberi angka 1 (satu), sementara criteria lain seperti kecantikan, kekayaan, keturunan dll diberi angka 0 (nol). Jika kita memilih selain agama sebagai prioritas pertama missal kecantikan atau kekayaan atau keturunan atau apapun itu maka skornya 0 (nol), jika ia tidak memiliki ketaatan/agama yang benar maka skornya 000 (nol, nol, nol). Okelah katakanlah wanita sempurna memiliki kecantikan, kekayaan, keturunan dll serta memiliki agama yang mumpuni maka skornya 0001 (no, nol, nol, satu). Berapapun banyaknya angka nol didepan angka satu, ketika agama menempati tempat prioritas terakhir maka angka nol tiada arti dan skor tetap hanya 1 (satu). Bukankah 0001 sama saja artinya dengan 0000000001 ??? Apakah berarti angka nol didepan angka 1 ??? 
Sebaliknya jika kita menempatkan prioritas agama sebagai criteria maka ia akan memiliki skor 1, katakanlah ia wanita sempurna dan memiliki kelebihan missal cantik, maka tambah skor 0 menjadi 10; katakanlah ia juga keturunannya baik maka tambah lagi skor 0 menjadi 100; katakanlah sangat sempurna yakni mapan maka tambah lagi skor 0 menjadi 1000. Nah, jelas berbeda bukan angka 0 sangat berarti jika berada dibelakang angka 1??? Jika agama menjadi prioritas utama dan pertama maka katakanlah ia memiliki kelebihan-kelebihan lain maka semua itu adalah bonus dan keberkahan yang diberikan kepada kita. Namun memilah dan memilih yang sempurna sah sah saja dengan harapan kita mendapatkan sakinah mawaddah warahmah, namun tidak berarti membuat kita menjadi super perfect. Sadarilah tiada manusia yang sempurna seutuhnya, pasti ada kekurangan. Jadi, pilihlah yang terbaik di antara yang ada. 
Bahtera pernikahan menantang gelombang. Laksana pendaki gunung, tentunya diniatkan mendaki bukan rekreasi, sehingga dipersiapkan mental pejuang bukan mental wisatawan. Menikah adalah berkumpul dan bersatu, yang merupakan suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam agama Islam. Nikah adalah fitrah. Pernikahan itu berorganisasi, berjamaah, atau berkongsi yakni upaya mencapai tujuan bersama dengan cara kerja sama bukan sama-sama kerja. Menikah bersiap mengakhiri hak social dan mengawali kewajibann social. Mengakhiri mental meminta untuk belajar memberi. Apa yang saya berikan bukan apa yang saya terima. Tentunya menikah adalah ibadah menjalani sunnah, menjalankan fitrah, menjaga kehormatan, dan menyempurnakan separoh agama.
Kita menikahi orang yang kita cintai, atau mencintai orang yang kita cintai? Cintailah orang yang kita nikahi sepenuhnya. Yakinlah baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, namun buruk menurut kita belum tentu buruk menurut Allah. Pilihan Allah adalah itu yang terbaik. Karena Allah tau mana yang terbaik  untuk kita. Ketika punya masalah katakanlah Wahai masalah aku punya Allah.!!!
Mungkin ketika cinta bersemi tak bertemu sesaat rasa lama. Tak mendengar suaranya rasa duka. Tak memandang wajahnya rasa hampa. Namun tak jarang setelah menikah rasa jemu menjadi bumbu. Sehingga kita tak menyadari besarnya cinta dan perhatian pasangan hidup disamping kita. Semua serba salah dan tak dihargai.
Kita tak kan merasa indahnya kebersamaan dan pertemuan ketika kita tak pernah merasa berpisah. Kita kan pernah merasa bahagianya dan besarnya cinta dan kasih saying orang terdekat kita ketika ia belum pernah meninggalkan kita tuk selamanya. Kita tak kan pernah merasakan manisnya sehat jika tak pernah merasa susahnya sakit. Kita tak kan mensyukuri nikmat apapun yang sangat biasa dan tanpa sadar jika kenikmatan itu belum ditarik oleh Allah dalam sesaat. Laksana nafas yang seperti tiada arti karna keluar dan masuk tanpa disadari. 
Oleh karenanya, masalah dan potensi perselisihan adalah bumbu dalam rumah tangga. Kadang perlu merasa sedih dan kecewa untuk tau bagaimana menyadari dan mensyukuri pentingnya nikmat walau sedikit. Apakah perlu Allah timpakan duka baru kita bersuka ria??? Apakah perlu dicabut nikmat kita baru bersyukur??? Apakah perlu Allah pisahkan kita dengan pasangan tercinta yang tak kita anggap berharga baru kita menyesal dan menyadari perannya selama ini???
Bumbu problema itu perlu untuk lem perekat kesetiaan. Masalah itu perlu untuk menggugah rasa antipasti menjadi simpati. Masalah itu diantisipasi untuk dihadapi bukan dihindari apalagi diabaikan tanpa solusi, tentunya problematika dalam berumah tangga pasti ada. Demikianlah sebagai bumbu yang akan memperindah bahtera. Ketika kita mampu merasakan kesusahan-kesusahan maka kita akan sangat menikmati dan mensyukuri sekecil apapun kesenangan dan kebahagiaan yang kita dapat. Problema di bawah ini sangat mungkin terjadi untuk ketahui, dihadapi dan diantisipasi:
1.      Problema internal,
Masalah muncul dari pasutri itu sendiri. Karena hakikatnya kita menikah dengan orang yang sangat berbeda bahkan bertentangan satu dengan lainnya. Ketika berinteraksi maka harus siap dengan konsekwensi perbedaa itu. Apabila tidak disadari akan menimbulkan benih konflik sederhana yang dibesar-besarkan.
2.      Masalah hubungan antar generasi,
Setelah menikah pasangan muda tentunya berinteraksi dengan generasi tua/sepuh dan dewasa dimana sifat dan karakter berbeda.
3.      Problem benturan nilai social,
Dimana tercampur aduknya gelombang nilai tradisional, sekuler dan islami.
4.      Masalah ekonomi dan social,
5.      Masalah intervensi baik dari orang tua, saudara maupun pihak ketiga.
Persiapan dan Langkah Menuju Pernikahan:
Mari berbenah, siapkan diri kita sebaik-baiknya untuk menuju gerbang pernikahan. Jangan takut menikah, namun jangan menggampangkan menikah tanpa persiapan.
1.      Persiapan diri, ilmu dan iman
Hal yang perlu dipersiapkan calon mempelai:
a.       Moral-Spiritual/ruhiyah/ibadah
Kesiapan spiritual ditandai mantapnya niat dan langkah menuju kehidupan rumah tangga tanpa keraguan tatkala memutuskan untuk menikah dengan segala konsekwensi atau resiko yang akan dihadapi paska pernikahan.
b.      Konsepsional/pola fikir
Kesiapan konsepsional ditandai dengan dikuasainya berbagai hokum, etika, aturan dan pernak pernik pernikahan serta kerumahtanggaan.
c.       Mental/psikis/kepribadian/sikap prilaku
Kepribadian, sikap atau perilaku yang dewasa.
d.      Fisik/kesehatan
Kesiapan fisik ditandai dengan adanya kesehatan fisik yang memadai sehingga kedua belah pihak mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami istri dengan optimal
e.       Material
Kesiapan material yakni kesiapan pihak pria untuk menafkahi sandang, pangan dan papan serta memenuhi tanggung jawab sementara kesiapan wanita untuk mengelola keuangan keluarga, menerima dengan hati terbuka penuh kerelaan dan rasa syukur atas apapun yang diberikan suami.
f.       Sosial (terlibat kegiatan social kemasyarakatan serta keagamaan)
g.      Kesiapan menerima kehadiran anak.

2.      Menentukan batas waktu kesiapan
Tanya diri kita “Kapan siap menikah?” Jika jawabannya, “Saya siap menikah akhir tahun ini”. Dengan adanya target waktu yang jelas maka kita lebih matang dan realistis dalam persiapan menuju gerbang pernikahan. Namun jika jawaban kita, “Saya siap menikah 10 tahun lagi”, apakah relevan kalau sekarang sudah memulai hubungan yang didefinisikan sebagai calon pendamping. Padahal semua masih bisa berubah dan terlalu dini bahkan sangat dini. Betapa sakit dan ruginya jika putus ditengah jalan.

3.      Menjaga kebaikan diri
Batas pergaulan hendaknya selalu dijaga sebelum pernikahan. Penjagaan harus selalu dalam koridor yang dilakukan dengan proses kontinyu. Proses pernikahan akan menjadi sejarah tidak terhapuskan seumur hidup. Jauhkan diri dari accident yang menentang norma agama, kesopanan, dan kesusilaan karena kita selaku masyarakat dan bangsa religious yang sangat menghormati sopan santun, etika, moral dan akhlak mulia tanpa pergaulan bebas dan perilaku tak bertanggung.

4.      Menentukan pilihan
Pilihan ditentukan setelah ada kesiapan diri, dengan perhitungan waktu realistis. Proses ta’aruf atau saling mengenal penting untuk saling bisa menerima calon dengan sadar dan bertanggung jawab tanpa paksaan. Jika proses terlalu lama dikhawatirkan terjatuh ke dalam hal-hal yang dilarang agama dan adat kesopanan.

5.      Memantapkan hati
Menentukan dan menetapkan pilihan harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan penerimaan yang utuh, tanpa keterpaksaan. Karna pernikahan adalah proses panjang, tidak diniatkan untuk jangka waktu sesaat. Menerima pasangan dengan sepenuh hati. Laki-laki dan perempuan merdeka untuk memilih. Memantapkan hati bisa dengan shalat istikharah, doa dan musyawarah dengan pihak terpercaya. Telitilah apakah ada halangan perkawinan baik dalam hal hokum agama maupun perundang-undangan untuk mencegah batalnya pernikahan.  

6.      Meminta persetujuan pihak-pihak terkait
Penting meminta persetujuan kepada pihak terkait. Bagi calon mempelai perempuan, ia harus mendapat izin dan persetujuan dari walinya, dalam hal ini ayah kandungnya, ditambah izin dan restu ibu. Pihak laki-laki hendaknya bisa diterima dan disetujui oleh orang tua serta keluarga pihak perempuan, demikian juga sebaliknya.

7.      Taaruf, Tafahum

8.      Khitbah/meminang
Khitbah merupakan satu langkah untuk menyatakan bahwa langkah menuju pernikahan sudah semakin dekat dan pasti, namun pinangan masih bisa dibatalkan oleh salah satu pihak karena sesuatu hal alasan tertentu. Setelah khitbah kedua belah pihak tetap belum halal melakukan aktivitas layaknya suami istri karena belum memiliki kekuatan hokum ikatan pernikahan. Laki-laki yang telah meminang tidak boleh meminang wanita lain, wanita yang telah menerima pinangan tidak boleh menerima pinangan laki-laki lain.

9.      Mengurus administrasi pernihakan
Hendaknya segera membahas kapan pelaksanaan pernikahan akad nikah dan walimah setelah pinangan diterima.
Proses administrasi pernikahan dilakukan dengan memberitahukan Kehendak Nikah kepada PPN (Pegawai Pencatat Nikah) di wilayah yang akan dilangsungkan akad nikah. Pemberitahuan Kehendak Nikah ini berisi data tentang nama kedua calon mempelai, hari dan tanggal pelaksanaan akad nikah, data mahar (mas kawin) dan tempat pelaksanaan upacara akad nikah. Pemberitahuan Kehendak Nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai, wali atau wakilnya dengan membawa surat-surat yang diperlukan.
Persyaratan administrative yang diperlukan antara lain adalah:
a.      Foto copy KTP dan KK calon pengantin,
b.      Surat pernyataan belum pernah menikah bagi gadis dan jejaka, di atas materai minimal 6000 diketahui RT, RW dan Lurah setempat,
c.       SK (Surat Keterangan) untuk untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model N1, N2, N4, baik calon suami maupun calon istri,
d.     Pas foto calon pengantin ukuran 2 x 3 4 lembar dan 4 x 6 1 lembar,
e.      Bagi yang berstatus duda atau janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai dari Pengadilan Agama, jika duda atau janda mati harus ada surat kematian Model N6 dari Lurah setempat,
f.        Harus ada izin dari Pengadilan Agama bagi calon pengantin laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun, dan calon pengantin perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun,
g.      Izin dari orang tua (Model N5) bagi calon pengantin laki-laki maupun perempuan yang umurnya kurang dari 21 tahun,
h.      Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin Kawin dari Pejabat Atasan/Komandan.

Kedua calon pengantin mendaftarkan diri ke KUA yang mewilayahi tempat dilangsungkannya akad nikah sekurang-kurangnya 10 hari kerja dari waktu melangsungkan pernikahan. Jika kurang dari 10 hari kerja, harus melampirkan surat Dispensasi Nikah dari Camat setempat.

10.  Khutbah dan Akad nikah
Adanya wali dari pihak perempuan menjadi tuntutan agama untuk menjadikan pernikahan lebih bertanggung jawab. Wali dari pihak perempuan yang berkewajiban menikahkan dengan ungkapan pokok “Saya nikahkan …” dan dijawab oleh mempelai laki-laki, “Saya terima nikahnya …”.
Proses akad nikah diperlukan wali pihak mempelai perempuan, dua orang saksi dan mahar/mas kawin.

“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (Q.S. An Nisa’: 4).

Petugas pernikahan dari KUA (Kantor Urusan Agama) akan melaksanakan pencatatan pernikahan tersebut ke dalam lembar dokumen Negara, sehingga dengan akad nikah itu dinyatakan sah secara agama maupun Negara.

Sejak akad nikah berkumandang diikrarkan, maka pernikahan menjadi sah, dan kehidupan suami istri dalam ikatan keluarga dimulai dari titik nol. Inilah batas halal dan haram dalam menikmati hubungan dengan pasangan jenis, setelah akad nikah semua interaksi menjadi halal. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk tujuan pernikahan yakni mewujudkan rumah tangga sakinah mawaddah warohmah serta bahagia di dunia dan akhirat.
“Ada 3 hal yang ketika main-main itu harus benar-benar terjadi dan ketika sungguh-sungguh juga harus benar-benar terjadi yaitu talak, nikah dan rujuk (H.R. Turmudzi).

11.  Walimah (walimatul ‘ursy/pesta pernikahan)
Walimah atau pesta pernikahan disunnahkan untuk dikumandangkan sebagai media pemberitahuan kepada khalayak ramai dan ungkapan rasa syukur atas pernikahan. Sembunyikan lamaran dan kumandangkan akad nikah.  Walimah menampakkan syiar kebaikan, sehingga ada nilai-nilai ibadah dan amal social yang terhimpun di dalamnya. Walimah disunnahkan dilaksankan walupun sekedar dengan menyembelih 1 ekor kambing sabda rasulullah, namun dalam pelaksanaannya tidak boleh berlebihan dan bermewah-mewah, menampilkan hiburan yang mengandung kemaksiatan, karena pesta pernikahan merupakan bagian utuh dari ibadah.
Faktor-faktor yang berkaitan dengan Pernikahan:
1.      Faktor usia (sibuk mengejar karier, dll)
Jangan lewatkan usia emas pernikahan bagi perempuan (20-25 tahun)
2.      Faktor keluarga (kaka belum menikah, keluarga selalu menekan, lingkungan yang resek)
3.      Kaktor keadaan (masih kuliah, dll)
4.      Faktor ekonomi.
Cara menghadapi hingga meraih keberkahan dengan:
1.      Iman
a.      Banyak berzikir
b.      Akrab dengan ajaran agama
c.       Berdoa dan bertawakal
d.     Sholat
e.      Puasa
2.      Takwa
a.      Saling mencintai
b.      Saling member dan melayani, tidak saling menuntut
c.       Saling sabar dan menahan diri
d.     Saling memafkan
e.      Sensitiv dengan penyimpangan
Memahami kewajiban masing-masing, tidak hanya menuntut hak:
1.      Kewajiban suami
a.      Memimpin istri
b.      Menjadi pendamping yang baik
c.       Memberi nafkah
d.     Mendidik istri, mengajarkan agama
e.      Jujur dan transparan kepada istri
f.        Bergaul dengan baik, sopan dan lemah lembut serta wajah ceria terhadap istri
g.      Bersikap lembut ketika istrinya murka
h.      Menjadikannya ridho ketika marah
i.        Menahan segala kesulitan darinya
j.        Mengobati ketika sakit
k.      Membantunya dalam urusan rumah tangga, tidak membebani apa yang ia tidak mampu
l.        Memerintahkan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan segala larangan
m.   Tidak menolak apa yang ia minta selama masih dalam lingkup yang memungkinkan dan mubah
n.      Menjaga kemuliaankeluarga
o.      Tidak melarangnya silaturahim.

2.      Kewajiban istri
a.      Ikhlas menjadi istri
b.      Taat pada suami karena Allah dan yang tidak ada maksiat kepada Allah
c.       Menjauhkan dari apa yang bisa membuatnya marah
d.     Tidak meninggalkan rumah kecuali dengan izinnya
e.      Menjaga diri dan harta suami
f.        Bersyukur dengan pemberian suami
g.      Melayani suami
h.      Mengurus dan mengatur rumah
i.        Mendidik anak
j.        Menasihati suami dan anak
k.      Menjaga suami dalam diri serta harta dan rumahnya
l.        Menemuinya dengan cerah dan berseri
m.   Berdandan untuknya
n.      Hendaklah dia memuliakan, menghormati dan menggaulinya dengan baik
o.      Menyiapkan segala sesuatu yang membuatnya tenang dalam beristirahat,
p.     Membuat dirinya senang agar mendapatkan ketenangan serta kelapangan pada rumahnya
q.      Tinggal bersama suami
r.       Menjaga rahasia suami, tidak menebarkan rahasianya
s.       Tidak menggunakan hartanya kecuali setelah mendapat izin darinya
t.        Tidak memasukkan seseorang ke dalam rumah kecuali dia yang disenanginya
u.     Menjaga kehormatan keluarganya
v.      Membantunya semaksimal mungkin ketika dia sakit atau lemah
w.    Kesabaran dan keridhoan istri serta ketaatan istri adalah segalanya.

3.      Kewajiban bersama suami-istri
a.      Saling setia
b.      Saling bersyukur
c.       Saling sabar
d.     Saling mengingatkan
e.      Saling membantu
f.        Silaturahim
g.      Birul walidain
h.      Mendidik anak
i.        Dihalalkan bergaul mengadakan hubungan seksual yang merupakan kebutuhan bersama
j.        Hak waris
k.      Anak mempunyai nasab / keturunan yang jelas dari suami
l.        Kedua belah pihak wajib bergaul (berperilaku) yang baik sehingga dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup.
m.   dll

Hari-hari Indah Setelah Menikah
Sesuai walimah, pengantin laki-laki dan perempuan meniti hari-hari indah dalam kebersamaan. Mereka mulai memasuki kamar pengantin, shalat sunnah 2 rakaat, suami mendoakan istri dengan memegang keningnya. Lakukan dengan penuh kelembutan, tidak tergesa-gesa dan rasakan nikmati semua keindahannya. Setelah itu, mulailah bersenang-senang dengan seluruh fasilitas terindah yang telah Allah berikan, berupa pasangan hidup.

Referensi Bacaan:
1.        Suyanto, E., dan Tim HIMMPAS UGM, Saatnya untuk Menikah, Sejak Dini Mengumpulkan Bekal Ilmu: Buku Panduan   Sekolah Pranikah dan Rumah Tangga Islami, Chapter 1, Cetakan I, Yogyakarta, HIMMPAS UGM.
2.        Muhammad Fauzil Adhim, Saatnya untuk Menikah,Cetakan Juni 2006, Penerbit Pro-U Media, Yogyakarta.
3.        Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado Pernikahan, cetakan September 2000, Penerbit Pustaka Azzam.
Hadi Kurniawan Apt
Hadi Kurniawan Apt Just Cool Just Smile

No comments for "SAATNYA UNTUK MENIKAH"