ETIKA FARMASI DALAM ISLAM SEBAGAI LANDASAN AKSIOLOGI
TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT ILMU
Sebagai Tugas Pengganti MID Term
ETIKA FARMASI DALAM ISLAM SEBAGAI LANDASAN AKSIOLOGI
Program Studi Ilmu
Farmasi
Magister Farmasi
Sains dan Teknologi
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Lasiyo,
MM., MA.
Oleh:
HADI
KURNIAWAN
12/338109/PFA/01193
PROGRAM
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU
FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH
MADA
YOGYAKARTA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Aksiologi mempelajari mengenai manfaat apa yang diperoleh
dari ilmu pengetahuan, menyelidiki hakikat nilai, serta berisi mengenai etika
dan estetika. Aksiologi adalah studi tentang nilai atau kualitas. Aksiologi
mencakup etika dan estetika bidang filsafat yang sangat terkait pada gagasan
tentang nilai dan kadang-kadang disamakan dengan teori nilai dan meta-etika.
Ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi bagian yang penting bagi umat Islam sebagai
pengembangan Al-Qur’an yang memerlukan pengkajian dan pembuktian ilmiah. Dengan
mengkaji secara mendalam dan membuktikan secara ilmiah maka kita akan menemukan
misteri yang luar biasa dari Al-Qur’an. Seseorang yang mendalami, meneliti dan
mengembangkan Al-Qur’an dengan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi akan mengakui
kebesaran Allah SWT.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta
silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Ali Imran: 190-191).
Al-Qur’an
sebagai pedoman hidup manusia didalamnya memuat banyak hal dalam kehidupan ini,
mulai dari urusan yang kecil hingga dalam pengaturan suatu negara termasuk
didalamnya adalah mengenai ilmu pengobatan dan kefarmasian. Menurut Al Biruni,
farmasi merupakan suatu seni untuk mengenali jenis, bentuk dan sifat-sifat
fisika dari suatu bahan, serta seni mengetahui bagaimana mengolahnya untuk
dijadikan sebagai obat sesuai dengan resep dokter. Kedokteran Islam yang
didalamnya termasuk farmasi Islam merupakan ilmu kedokteran dan farmasi yang
berdasarkan Islam dan didalam praktiknya tidak bertentangan dengan koridor
ajaran Islam. Farmasi Islam diharapkan dapat mengedepankan kemampuan untuk
menggali dan menjaga lingkungan, kemampuan untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan
dan teknologi farmasi secara optimal, serta memiliki kepekaan terhadap berbagai
proses perubahan yang terjadi didalamnya.
Karakter
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi farmasi di negara-negara Islam
memiliki karakter yang menarik untuk dipelajari karena keunikan ajaran Islam
sebagai agama yang sempurna mengatur setiap sisi kehidupan manusia. Teks-teks
Al-Qur’an dan Hadist memiliki batasan yang tegas untuk beberapa bahan yang
diharamkan penggunaannya. Seorang farmasis muslim akan berusaha menyelaraskan
keyakinan beragamanya dengan prinsip-prinsip ilmiah farmasi. Hasilnya adalah
satu bidang kajian farmasi Islam, yaitu bidang keilmuan dan pelayanan farmasi
yang kajiannya berada dalam koridor agama Islam.
Bumi dan
isinya adalah sumber dari bahan-bahan berkhasiat yang dapat menjadi obat (Q.S.
Al-A’raf: 10). Allah SWT telah mengkaruniakan kepada kita kekayaan alam untuk
dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kebaikan umat di muka bumi ini. Akan tetapi
Allah tetap memberikan batasan-batasan dalam pemanfaatannya. Salah satunya
adalah adanya batasan halal dan haram untuk makanan yang dikonsumsi. Hal ini
berlaku juga untuk obat-obatan.
Tingkat
kehalalah dan keharaman dalam dunia farmasi belum terpetakan dengan jelas. Hal
ini sangat disayangkan karena Indonesia adalah negara dengan mayoritas
penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu, konsumen obat yang beragama Islam
memerlukan suatu perlindungan kehalalan obat yang mereka konsumsi. Dalam hal
ini maka keilmuan farmasi memegang peranan penting. Maka obat yang akan dimakan
untuk pengobatan harus benar-benar yang baik dan bermanfaat untuk dikonsumsi
dalam pengobatan dan dijamin oleh seorang apoteker/ahli farmasis sebagai
penjaga jalur distribusi obat.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Landasan
Pengobatan dalam Al-Qur’an dan Hadist
Kesehatan merupakan nikmat yang harus disyukuri sebagai
anugerah kehidupan. Namun kondisi lingkungan, kesalahan pola hidup ataupun
serangan wabah dari lingkungan sekitar membuat manusia dapat mengalami sakit. Manusia
diberikan akal dan potensi alam sekitar untuk mengatasi penyakitnya. Oleh
karena itu, Islam mewajibkan umatnya untuk berusahan/berikhtiar dan mengobati
penyakitnya bukan sekedar pasrah dan tidak berusaha mengatasinya.
Islam mengajarkan dalam mencapai kesembuhan diperlukan
usaha seoptimal .mungkin dengan menegaskan bahwa untuk setiap penyakit telah
disediakan obatnya.
Diriwayatkan dari Usamah, ia berkata: “Seorang Badui berkata: Ya Rasulullah!
Tidakkah kita berobat? Rasulullah SAW menjawab: Ya, wahai hamba-hamba Allah,
berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak membuat penyakit tanpa membuat kesembuhan
baginya kecuali satu penyakit. Mereka bertanya: Apakah satu penyakit itu Ya
Rasulullah? Rasulullah menjawab: Tua” (H.R. Usamah).
Ketentuan halal dan haram merupakan salah satu hak Allah
yang harus ditaati oleh manusia. Sebagai landasan dalam penentuan halal dan
haram umat Islam berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Sumber utama yang
harus dijadikan patokan pertama adalah Al-Qur’an, kemudian sumber kedua adalah
hadist. Apabila tidak ada dalil yang menjelaskan secara rinci dan tegas dalam
Al-Qur’an dan Hadist maka diperbolehkan ijtihad.
Bagaimana status darurat dalam pengobatan? Rasulullah
saw. Memerintahkan umatnya untuk berobat dengan menggunakan obat yang halal dan
melarang menggunakan obat yang haram. “Diriwayatkan
dari Abu Ad Darda’, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah
ta’ala tidak membuat penyakit (melainkan) dengan obatnya, dan Allah ta’ala
membuat obat untuk setiap penyakit. Karena itu hendaklah kamu berobat dan
jangan berobat dengan yang haram” (H.R. Abu Ad Darda’).
Dalam Al-Qur’an juga diperintahkan untuk memakan makanan
yang Halal dan Thoyyib (baik).
Beberapa rambu-rambu yang membatasi adalah makanan yang diharamkan yaitu
bangkai, babi, darah, khamr, hewan yang mati tidak wajar dan binatang yang
disembelih tanpa nama Allah. Meskipun penggunaan produk halal hukumnya wajib bagi setiap
muslim, namun para ulama memperbolehkan obat yang haram dalam keadaan darurat.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa para ulama fiqih pendukung madzhab Syafi’i
menegaskan standar darurat ialah timbulnya kekhawatiran akan kematian jika
tidak dilakukan. Demikian pula Imam Suyuthi mendefinisikannya sebagai kondisi
yang jika tidak dilakukan akan mati atau dekat kematian.
Kenyataan dalam dunia farmasi saat ini terdapat beberapa
sediaan farmasi yang dipertanyakan halal dan haramnya, di antaranya:
1.
Sediaan
topikal berbahan najis seperti sediaan losio, krim, atau plester. Para ulama sepakat bahwa benda yang haram hukumnya adalah najis ketika
digunakan.
2.
Penggunaan
bahan dari babi dalam kefarmasian. Sesuai dengan nash Al-Qur’an, pada tahun
1994 komisi Fatwa MUI telah menfatwakan bahwa babi dan komponen-komponennya
haram untuk dikonsumsi baik sebagai pangan maupun obat dan kosmetika. Bahan obat
dan kosmetik yang berpotensi haram karena umumnya dibuat dari bagian organ babi
adalah: kolagen sebagai pelembab dan bahan dasar gelatin yang
biasa digunakan dalam pembuatan cangkang kapsul, gelatin, cerebroside; serta beberapa golongan hormon seperti insulin, heparin
dan enzim tripsin yang biasa digunakan dalam pembuatan vaksin polio sebagai
enzim proteolitik berasal dari pancreas babi. Salah satu tantangan bagi
kalangan ilmuwan muslim adalah masalah kemiripan hormon insulin manusia dengan
insulin babi sehingga dari sudut pandang medis lebih menguntungkan daripada
menggunakan hormon insulin sapi yang tidak mirip insulin manusia.
3.
Penggunaan
alkohol dalam kefarmasian. Sebagian ulama mengqiyaskan alkohol dengan khamr dan
sama sekali menolak penggunaan alkohol dalam berbagai produk baik obat,
kosmetik, maupun antiseptik. Tetapi dengan logika bahwa alkohol tidak selalu
dihasilkan dari produksi khamr dan tidak memabukkan, maka Dewan Fatwa MUI
menfatwakan bahwa alkohol boleh ada dalam produk akhir dengan kadar tidak lebih
dari 1%. Penggunaan alkohol dalam beberapa produk farmasi tidak dapat terhindarkan sehingga perlu
kearifan untuk membedakan antara alkohol dan khamr. Bahkan dalam setiap sari buah alami yang
diekstrak secara sederhana tanpa proses fermentasi tetap terkandung alkohol dalam jumlah rendah. Kandungan alkohol secara alami
ada dalam mayoritas produk pangan misalnya roti yang dibuat dengan bantuan
yeast (gist/ragi) biasanya mengandung alkohol antara 0,3-0,4%. Asam cuka yang
biasa digunakan dimasyarakat juga mengandung alkohol kurang dari 1%.
4.
Bahan
memabukkan lainnya seperti morfin, opium dan obat psikotropika.
5.
Penggunaan
plasenta dan cairan amniotik dalam kefarmasian. Plasenta sebagai kosmetik
mengagumkan dalam meningkatkan pembaharuan sel (regenerasi sel). Amniotik liquid terbatas pada penggunaan
pelembab, lotion rambut dan perawatan kulit kepala serta sampo.
B. Obat
dalam Al-Qur’an dan Hadist
Agama Islam adalah agama yang kaffah atau sempurna dan
lengkap. Semua permasalahan hidup termasuk mengenai pengobatan terhadap penyakit
yang diderita oleh manusia. Ajaran Islam mendorong kita untuk tetap mengobati
penyakit yang kita derita dengan cara yang Islami, tentunya dengan obat dan
terapi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an dan Nabi saw.
Sesungguhnya apa yang diciptakan oleh Allah swt. mempunyai hikmah yang amat besar dan apa yang dilarang
atau diharamkan sesungguhnya demi manusia itu sendiri.
“Sesungguhnya
Allah telah menurunkan penyakit beserta obatnya dan Dia telah menjadikan setiap
penyakit ada abatnya, maka berobatlah kalian dan jangan berobat dengan barang
yang haram” (H.R. Abu Dawud).
“Sesungguhnya
Allah tidak akan menjadikan kesembuhan dengan sesuatu yang ia haramkan atasmu” (H.R. Bukhari).
Islam tidak mengajarkan kita untuk melakukan pengobatan
yang mengandung nilai kemusyrikan dan penggunaan bahan-bahan yang diharamkan.
Semua tuntunan tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah saw ribuan tahun yang
lalu ketika ilmu pengetahuan pengobatan belum berkembang pesat. Nash Al-Qur’an dan hadist dapat menjadi panduan untuk mencari solusi dalam
permasalahan kehidupan di dunia, terutama mengenai dunia pengobatan.
Berikut contoh pengobatan yang dicontohkan Al-Qur’an dan
Nabi saw.:
1.
Kurma
“Rasulullah saw berbuka puasa dengan beberapa biji buah
kurma sebelum salat. Sekiranya tidak terdapat kurma, maka Rasulullah saw akan berbuka dengan beberapa biji anggur.
Sekiranya tiada anggur, maka Baginda meminum beberapa teguk air” (H.R. Ahmad).
2.
Habbatus
saudah
Rasulullah
saw bersabda: “Hendaklah kamu menggunakan
habatussaudah karena sesungguhnya padanya terdapat penyembuhan bagi segala
penyakit kecuali mati” (H.R. Abi Salamah dari Abu Hurairah).
3.
Madu
Allah
berfirman: “Dari perut lebah ini keluar
minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir” (Q.S. An
Nahl: 69).
4.
Zaitun
Rasulullah
bersabda: “Makanlah minyak zaitun dan
lumurlah minyaknya karena ia berasal dari pohon yang penuh berkah” (H.R. At
Tirmizi dan Ibnu Majah).
C.
Produk Farmasi dalam Pandangan Islam
Masalah halal dan haram dari obat dan kosmetik merupakan
bagian pokok dari tinjauan kritis produk farmasi bagi seorang muslim, karena
hal ini menyangkut keamanan dari segi ruhaniah bagi seorang yang
mengkonsumsinya seperti mempengaruhi terkabulnya doa di sisi Allah swt.
“Perbaikilah makananmu, maka
Allah akan mengabulkan doa-doamu” (H.R. Ath-Thabrani).
1.
Obat
Titik kritis untuk
obat yang diisolasi dari hewan adalah ketika hewan bisa berasal dari sapi, babi
atau hewan lain yang diharamkan. Selain itu cara penyembelihan hewanpun harus
benar-benar dipertimbangkan. Sementara untuk produk metabolit mikroba titik
kritis kehalalan medium serta enzim pertumbuhan yang digunakan untuk
pertumbuhan bakteri. Bahan untuk ekstraksi metabolit aktif pun harus
dipertimbangkan apakah menggunakan alkohol murni atau produk sampingan dari
industri khamr.
Beberapa zat aktif
obat yang harus dicermati adalah kelompok hormon, enzim, dan vitamin. Produk
hasil bioteknologi ini bisa berasal dari produk mikrobil yang haram, media
penyegaran dan perbanyakan dari bahan yang haram, atau bahan penolong yang
haram. Pada tingkat teknologi yang lebih tinggi harus dipertimbangkan juga
apakah mikroba rekombinan gennya berasal dari hewan yang haram atau tidak.
Bahan pembantu atau
eksipien titik
kritis perhatikan pada penggunaan laktosa, etanol, adeps lanae serta magnesium
stearat. Sebagian bahan baku laktosa ditemukan sebagai produk samping pembuatan
keju dan susu yang ditambahkan enzim dari babi. Etanol perhatikan batas kadar 1%
dan sumber produksinya apakah bersinggungan dengan kamr atau tidak. Adeps lanae
sebagia bahan untuk meningkatkan viskositas juga beresiko diisolasi dari hewan
yang diharamkan.
2.
Obat
bahan alam
Bahan dasar obat
bahan alam tidak sepenuhnya berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan. Kenyataannya
produk-produk hewan pun juga masuk dalam ramuan obat bahan alam. Ramuan
tradisional itu juga mengenal bahan-bahan hewani, seperti kuda laut, bagian
organ dari ayam, bagian organ ular (empedu, darah, lemak, serta otaknya), buaya, kalajengking, laba-laba, dan ekstrak berbagai
bagian dari jenis binatang. Jadi, perlu kehati-hatian dalam memilihnya sebab
penggunaan hewan ini harus dilihat dari segi jenis hewannya halal atau tidak.
Pembuatan obat dari
bahan alam yang halal dari hewan hendaklah dari hewan yang halal dikonsumsi.
Bagi produsen yang menggunakan hewan sebagai bahan pembuatan obat, dapat
menanyakan hukum
hewan yang digunakannya apakah halal atau haram.
3.
Kosmetik
Produk kosmetik
memang tidak dimakan dan masuk ke dalam tubuh. Oleh karena itu, penggunaan
kosmetik biasanya dikaitkan dengan masalah suci dan najis. Unsur kosmetik
haruslah terdiri dari zat yang halal, tidak najis atau menjijikkan daa tidak
membahayakan tubuh pemakainya serta jangan sampai kosmetik menjadi sarana tabarruj yakni berdandan yang berlebihan
dan bukan pada tempatnya.
Sediaan kosmetik
ini terdapat peluang digunakannya bahan aktif atau bahan pembantu dari bahan
yang haram atau diragukan/subhat. Status kehalalan ini kritis terutama pada
produk dengan bahan hasil isolasi dari hewan (kolagen, dll), menggunakan alkohol,
menggunakan bagian dari manusia seperti plasenta dan cairan amniotik.
D.
Riset dan Teknologi Farmasi
Farmasi merupakan suatu bidang ilmu yang semakin
berkembang. Dengan perkembangan teknologi kefarmasian tentu mengakibatkan
berbagai konsekuensi termasuk permasalahan yang terjadi semakin lebih kompleks,
mulai dari kontrofersi dalam penggunaan hewan percobaan dalam riset
kefarmasian, teknologi transgenik, kloning, hingga mengenai dampak linngkungan
hidup akibat banyak bertumbuhnya industri farmasi yang dari tahun ke tahun
terus mengalami peningkatan.
Islam sebagai agama yang sempurna dalam ajarannya telah
mengajarkan kepada umatnya untuk tetap menyeimbangkan antara perkembangan
teknologi dengan nilai-nilai ilahiyah, sehingga kerusakan dimuka bumi dapat terhindarkan.
Contoh reiset dan teknologi yang perlu diperhatikan:
1.
Penelitian-penelitian
menggunakan hewan percobaan
Konsep yang
dipegang oleh fikih adalah mempertimbangkan kepentingan umat manusia yang
terdiri atas 5 hal yang meliputi agama, jiwa, keluarga, akal fikiran, serta
harta benda. Tindakan-tindakan tertentu yang dimotivasi oleh keterpaksaan atau
darurat dalam rangka melindungi salah satu dari lima kepentingan itu
dibenarkan. Aspek kedaruratan ini juga berlaku dalam pemanfaatan hewan untuk pengembangan
ilmu pengetahuan, kesehatan dan penelitian kefarmasian yang bermanfaat untuk
kehidupan manusia. Meskipun demikian dalam pandangan Islam, kita wajib berbuat
baik dalam memperlakuakan hewan dengan tujuan yang jelas. Tantangan ahli
farmasi adalah menguji khasiat obat dengan in vitro tanpa hewan uji karena saat
ini tidak semua uji dapat dilakuakn secara in vitro seperti uji toksisitas.
2.
Pemanfaatan
teknologi transgenik
Perkembangan dalam
rekayasa genetik perlu diperhatikan mengenai proses pembuatannya (prokursor, raw material, media pertumbuhan) agar
produk yang dihasilkan aman dan halal.
3.
Kontroversi
teknologi kloning
Proses kloning dalam penciptaan manusia jelas bertentangan dengan
ajaran Al-Qur’an. Allah berfirman: “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. At
Tin: 4).
4.
Penanganan
lingkungan hidup
Setiap
orang yang mengeksploitasi dan menggunakan alam adalah demi kepentingan ibadah,
melestarikan alam juga ibadah. Penanganan limbah harus sesuai dengan prosedur
yang telah ditentukan. Dalam memanfaatkan alam harus memperhatikan estetika dan
keindahan. Pengembangan teknologi dan industri perlu diimbangi dengan perilaku memelihara lingkungan
sekitar secara arif misalnya, dengan memanfaatkan SDA sesuai dengan kebutuhan,
penyiapan analisis pengembangan mengenai dampak lingkungan (AMDAL), penanganan
limbah industri
yang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, serta bentuk perilaku ramah
lingkungan lainnya.
E.
Pelayanan Kefarmasian
Perubahan paradigm pelayanan farmasi dari drug oriented menjadi patient oriented sehingga menjadikan
profesi farmasi menjadi peluang sekaligus tantangan. Farmasis berperan dalam
membantu pengobatan mandiri pasien untuk memilihkan obat yang baik dan halal.
Fungsi utama dari dari pelaksanaan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) antara lain untuk mengidentifikasi baik yang
aktual maupun potensial masalah yang berhubungan dengan obat, menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan obat, serta mencegah terjadinya masalah yang
berhubungan dengan obat.
Dalam etika farmasi, para farmasis memiliki kewajiban
untuk melindungi pasien dari kerugian akibat kesalahan pemakaian obat yang
merugikan. Diawal Farmasi memeriksa kebutuhan pasien, ditengah memeriksa
kembali semua informasi dan memilih solusi bagi DRP (Drug Related Problem), diakhir menilai hasil intervensi (evaluasi)
sehingga didapat hasil yang optimal sehingga pada akhirnya diharapkan kualitas
hidup pasien meningkat serta hasilnya memuaskan. Dengan mengutamakan
keselamatan dan melindungi pasien dari penggunaan obat yang membahayakan diri
pasien, berarti farmasis turut memelihara kehidupan pasien tersebut sesuai
dengan anjuran ajaran Islam.
F.
Sertifikat Halal Produk Farmasi
Mencari yang halal merupakan suatu kewajiban setiap
muslim sehingga kita wajib selektif dalam memilih makanan dan minuman termasuk
obat-obatan dan kosmetika.
“Menuntut
yang halal itu wajib atas setiap muslim” (H.R. Ibnu Mas’ud).
“Setiap
daging yang tumbuh dari yang haram, maka nerakalah tempat yang pantas baginya” (H.R. At-Tirmidzi).
Masyarakat sulit menentukan suatu produk itu halal atau
haram namun dengan adanya label sertifikat halal pada produk yang diberikan
oleh LPPOM MUI dan nomor registrasi yang diberikan BPOM berarti produk tersebut
telah dianggap halal dan aman (thoyyib).
Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat Halal dari MUI, harus
mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari Sistem Jaminan Halal di perusahaannya.
Sertifikat halal merupakan fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Tujuan
pelaksanaan sertifikat halal pada produk pangan, produk farmasi seperti
obat-obatan dan kosmetik adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu
produk sehingga dapat menentramkan batin konsumen.
Permasalahan regulasi halal di Indonesia adalah produsen
memasang label halal sendiri dan UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, dalam Bab
Label dan Iklan Pangan Pasal 30 ayat 1 mampu memaksa produsen untuk
mensertifikasi produknya.
“Setiap
orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang
dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau
di kemasan pangan”.
Namun penjelasan lanjutan dari UU ini mengandung keanehan
yang mementahkan konsep ‘pemaksaan’ tadi yaitu pada pasal 30 ayat 2 (e) yang
berbunyi:
“…Namun,
pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang
yang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat
Islam …”
Akibat penjelasan di atas pelabelan halal hukumnya tidak
wajib, maka sertifikat halalpun menjadi tidak wajib pula. Oleh karena itu, peran
pemerintah perlu menganalisis kembali UU No.7 tersebut terutama pasal 2 (e)
agar memberikan jaminan dan kepastian mengenai kehalalan bagi konsumen.
Sampai saat ini di Indonesia belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur kehalalan obat dan kosmetik. Padahal sangat
banyak titik kritis halal haram dari obat dan kosmetik. Hal ini belum menjadi
perhatian penting bagi praktisi kesehatan maupun konsumen dengan berlindung
pada alasan status kedaruratan. Oleh karena itu, perlunya membangun kesadaran
semua pihak tentang pentingnya regulasi halal untuk obat dan kosmetik serta
selektif memilih produk yang halal dan toyib.
Tantangan lain dalam mencanangkan regulasi halal obat dan
kosmetik selain rendahnya kesadaran praktisi kesehatan terhadap obat dan
kosmetik halal di Indonesia adalah
minimalnya bahan baku lokal sehingga pengawasan oleh LPPOM MUI lebih
sulit karena ketergantungan industri farmasi pada bahan baku impor. Selain itu
regulasi dan pola pengawasan produk halal masing-masing Negara berbeda karena
parameter penentuan kehalalan dan lembaga serta ijtihad para ulama fiqih lokal
bisa berbeda.
Keberadaan benda haram dalam suatu produk tidak dapat
langsung terdeteksi secara visual bahkan penelitian laboratorium pun tidak
selalu bisa mendeteksi keberadaan unsur alkohol maupun babi pada produk akhir.
Oleh karena itu, hal terpenting adalah secara etis adanya jaminan pihak ketiga
yang independen atas kehalalan produk pangan, obat, maupun kosmetika dalam
bentuk sertifikat halal. Sehingga produsen terawasi sejak proses pengadaan
barang, produksi hingga pengemasan. Hasil dari pengawasan dikeluarkan dalam
bentuk dokumen yang selanjutnya menjadi landasan sertifikasi kehalalan. Selanjutnya
dibutuhkan studi lebih lanjut untuk menciptakan metode yang lebih akurat, cepat
dan ekonomis.
Farmasis/apoteker memiliki tanggung jawab yang besar
berkaitan dengan penjaminan mutu produk farmasi yang dihasilkan baik obat,
makanan maupun kosmetik. Hal itu disebabkan farmasis merupakan suatu profesi
yang konsen, komitmen dan kompeten dalam bidang pengobatan. Untuk dapat
mewujudkannya, dibutuhkan tenaga farmasis muslim yang benar-benar mengerti
dibidangnya dan memiliki sikap sesuai profesi yang disandangnya.
Sebagai farmasis muslim kita juga dituntut untuk memiliki
kepekaan pada kebutuhan umat Islam. Bagi
seorang muslim, mengkonsumsi makanan serta produk farmasi lainnya
termasuk obat yang berstatus halal dan thoyib, sudah menjadi bagian keyakinan
agama yang harus dijalankan. Ironisnya seringkali konsumen tidak memiliki
kebebasan untuk memilih produk yang halal akibat minimnya informasi yang
sampai. Penjaminan hak konsumen muslim dalam mengkonsumsi produk menjadi
tanggung jawab semua pihak baik pemerintah, farmasi dan masyarakat pada
umumnya.
Islam menghendaki kehati-hatian kita dalam membuat serta
mengkonsumsi segala sesuatu termasuk obat. Tujuan kehati-hatian tidak untuk
memberatkan manusia dengan berbagai aturan yang telah ditetapkan, namun ingin
menghantarkan manusia dalam kemuliaan dan kebahagiaan hakiki, di dunia maupun
diakhirat. Bahkan beberapa aturan dalam Islam telah terbukti secara etis
meningkatkan kualitas hakiki kehidupan manusia.
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu
jelas, dan yang haram itu pun jelas. Sedang diantara keduanya terdapat
perkara-perkara syubhat (meragukan) yng tidak diketahui oleh kebanyakan orang.
Siapa-siapa yang menghindari perkara-perkara syubhat berarti ia membebaskan
diri demi agama dan kehormatannya. Dan siapa-siapa yang terjerumus kepada yang
haram bagaikan seorang pengembala yang bergembala diperbatasan tempat yang
dilarang dan ia hamper melanggar. Ketahuilah bahwa setiap milik itu ada
batasannya, dan ketahuilah bahwa batasan Allah ialah perkara-perkara yang
diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal daging
yang jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, tetapi jika rusak maka rusaklah
keadaan seluruh tubuh. Ketahuilah, dia itu adalah hati” (H.R. Muslim).
Seseorang yang
sakit dapat menggunakan obat yang haram jika saat itu tidak terdapat alternatif
lain. Penggunaan obat yang haram dalam keadaan darurat tidak boleh berlebihan,
tetapi seperlunya saja. Sementara yang berhak menilai keadaan darurat seseorang
adalah tenaga ahli yang memiliki kompetensi dan mengetahui persis kondisi
pasien, pribadi bersangkutan yang merasakan penderitaan sakitnya dan pemerintah
berwenang untuk kondisi darurat yang menangkut kepentingan umum.
Kondisi darurat
adalah respon reaktif yang bisa menjadi landasan penentuan hukum ketika manusia
berada dalam kondisi terdesak. Sayangnya status darurat ini sering menjadi
tempat berlindung para praktisi kesehatan ketika berhadapan dengan pasien.
Secara filosofis kondisi kedaruratan obat tidak harus terjadi manakala ilmuwan
muslim di dunia pengobatan memiliki cara pandang tentang pentingnya
mengusahakan produk farmasi yang halal. Karena pada dasarnya masih banyak alternatif
bahan obat yang halal yang belum diusahakan pengadaannya. Segala yang berasal
dari haram semuanya dinilai haram. Tujuan atau niat tidak menghalalkan cara atau proses. Namun perlu “cerdas
dan arif” dalam menilai status kedaruratan suatu kondisi, dimana dinilai oleh
yang memiliki wewenang dan keilmuan terkait itu. Jadi, diperlukan peran semua pihak untuk
mengusahakan pengadaan serta penggunaan produk yang halal dan toyib (baik).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Etika faramsi dalam Islam layaknya
sebagai landasan/pondasi aksiologi sehingga dapat menjamin nilai, kualitas dan
ilmu farmasi menjadi lebih bermanfaat terutama dalam hal penjaminan halal dan
haram bagi umat Islam.
2.
Farmasis/apoteker
memiliki tanggung jawab yang besar berkaitan dengan penjaminan mutu produk
farmasi yang dihasilkan baik obat, makanan maupun kosmetik. Penjaminan hak
konsumen muslim dalam mengkonsumsi produk menjadi tanggung jawab semua pihak
baik pemerintah, farmasi dan masyarakat pada umumnya.
3.
Tantangan
ahli farmasi muslim adalah
mengusahakan
membuat bentuk sediaan obat
dan kosmetik halal,
serta menguji khasiat obat dengan in
vitro tanpa hewan uji.
4.
Seseorang
yang sakit dapat menggunakan obat yang haram jika saat itu tidak terdapat alternatif
lain
setelah keadaan darurat dinilai
oleh tenaga ahli yang memiliki
kompetensi dan mengetahui persis kondisi pasien, dan pemerintah berwenang untuk
kondisi darurat yang menangkut kepentingan umum.
B. Saran
1.
Peran pemerintah perlu menganalisis kembali UU No.7 pasal 30 ayat 2 (e) agar
memberikan jaminan dan kepastian mengenai kehalalan bagi konsumen.
2.
MUI memberikan sertifikat halal bekerja
sama dengan pemerintah.
3.
Bagi
produsen yang menggunakan hewan sebagai bahan pembuatan obat, dapat menanyakan
hukum hewan yang digunakannya apakah halal atau haram.
4.
Perlunya membangun kesadaran semua pihak tentang pentingnya regulasi halal
untuk obat dan kosmetik serta selektif memilih produk yang halal dan toyib.
DAFTAR PUSTAKA
An-Nawawi,
2007, Terjemah Hadits Arba’in:
An-Nawawiyah, Cetakan V, Penerjemah: Tim Sholahuddin, Jakarta: Sholahuddin
Press.
Departemen
Agama RI, 2005, Al Quran dan
Terjemahannya, PT. Syamil Cipta Media, Indonesia.
Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
1996, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor:
7 tahun 1996 Tentang Pangan, DirJen
Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Wasito, H. dan D. Herawati, 2008, Etika Farmasi dalam Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu.
No comments for "ETIKA FARMASI DALAM ISLAM SEBAGAI LANDASAN AKSIOLOGI"
Post a Comment