PROBLEMA PERSAINGAN BISNIS APOTEK
Bisnis dibidang retail
obat-obatan masih menjadi bisnis yang menjanjikan. Hal ini dapat kita
perhatikan mulai bermunculan apotek-apotek baru di daerah sekitar kita. Akan
tetapi, banyak juga apotek-apotek lama yang gulung tikar. Walaupun demikian,
bisnis dibidang perapotekan masih tetap menjadi bisnis yang menjanjikan karena
pertama, obat telah menjadi salah satu kebutuhan primer bagi masyarakat. Jika
kita sakit pasti membutuhkan obat. Kemudian yang kedua, perizinan untuk membuka
usaha ini sekarang menjadi lebih mudah, apalagi sekarang telah dibukanya izin
pembuatan apotek rakyat.
Akan tetapi, mengapa
masih ada juga apotek-apotek yang sudah lama berdiri akhirnya ada juga yang
gulung tikar? Banyak faktor yang membuatnya seperti itu, diantaranya karena ketatnya
persaingan antar sesama apotek di sekitar apotek tersebut, baik dalam hal
persaingan harga obat, persaingan pelayanan dan lain sebagainya. Selanjutnya dikarenakan
perizinan untuk membuka apotek dipermudah, hal ini menyebabkan menjamurnya
apotek-apotek disuatu daerah tanpa memperhatikan jumlah masyarakat yang akan
dilayani. Akibatnya muncullah persaingan-persaingan antar apotek di sekitar
daerah tersebut dimana siapa yang kuat bersaing itulah yang akan bertahan
hidup.
Ketatnya persaingan
antar apotek menimbulkan persaingan yang semakin lama semakin tidak sehat,
mulai dari banting harga obat, hingga pembelanjaan obat dari distributor tidak
resmi tanpa memperhatikan keaslian dari obat tersebut. Selama harga yang
dibeli dari distributor tersebut lebih murah daripada distributor resmi (diskon
lebih besar), maka pasti akan dibeli untuk dapat menjualnya kembali kepada
konsumen dengan harga murah.
Walaupun demikian, sampai berapa lamakah apotek-apotek yang melakukan hal
demikian dapat bertahan lama? Ternyata, tidak hanya dari sisi harga saja
masyarakat membeli obat di apotek, tetapi pelayanannya juga menjadi salah satu
faktor yang diperhatikan masyarakat. Memang betul salah satu apotek menawarkan
harga obat yang paling murah di antara apotek-apotek di sekitar daerah
tersebut, tetapi pelayanannya buruk dan pernah ketahuan menjual obat palsu.
Sudah pasti dengan sendirinya masyarakat tidak akan pernah lagi untuk mebeli
obat ke apotek tersebut dikarenakan image dan reputasi yang buruk.
Persaingan antar apotek saat ini semakin ketat. Meski sejatinya
merupakan tempat pengabdian profesi, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa
persaingan yang ada tidak ubahnya dengan persaingan yang terjadi pada usaha
dagang pada umumnya. Akibat ganasnya persaingan, tidak jarang pola persaingan yang
terjadi menjurus ke win-lose situation karena kiblatnya adalah killing
for survival.
Situasi saling membunuh terjadi karena rata-rata apotek masih
menerapkan cara pemasaran yang konvensional. Mereka pada umumnya
mengandalkan rational intelligent yakni produk bagus dan harga
murah. Konsumen dibiasakan memilih apotek berdasarkan tinggi-rendahnya harga
obat yang dijual. Pada level ini pasien atau konsumen sangat mudah berpindah
bila ada perbedaan harga. Dalam dunia pemasaran cara ini dikenal juga dengan
istilah marketing 1.0.
Beberapa apotek secara sadar telah meninggalkan konsep marketing 1.0
dengan mengedepankan konsep emotional intelligent (marketing
2.0). Pasien atau konsumen diperlakukan sedemikian rupa sehingga tersentuh
hatinya. Misalnya dengan pendekatan personal yang lebih intensif. Konsumen
disapa dengan menyebut namanya. Pasien ditelpon untuk memantau perkembangan
kesehatannya. Memberikan pelayanan pengambilan resep dan pengantaran obat ke
rumah pasien. Dan cara-cara lain yang membangkitkan emosi positif konsumen.
Dengan cara ini meski harga jual lebih mahal dibanding yang lain, tapi tetap
dipilih konsumen, sebab konsumen sudah memiliki ikatan emosional dengan
apoteknya.
Namun pada saat ini, dengan semakin teredukasinya konsumen, pendekatan
pemasaran menggunakan konsep marketing 2.0 sudah tidak memadai lagi. Sekarang
pendekatan pemasaran sudah harus menggunakan pendekatan spiritual
intelligent (marketing 3.0). Aktivitas apotek harus dilakukan berlandaskan nilai-nilai universal
seperti kasih dan ketulusan.
Model untuk pendekatan ini adalah Values-driven marketing. Wujudnya akan
terlihat dari seberapa dalam hubungan apotek dengan konsumen atau stakeholder-nya.
Wujud spiritualismenya adalah bagaimana mencintai jejaring stakeholder
apotek dan menjunjung tinggi kejujuran. Jika sudah sampai tahap spiritual
sedemikian itu, hubungan antara apotek dengan siapapun yang berkepentingan,
apakah itu konsumen, karyawan, supplier, akan selalu langgeng.
Pola pemasaran yang demikian menuntut keterlibatan apoteker secara langsung.
Banyak hal-hal yang berkaitan dengan konsumen tidak bisa didelegasikan. Proses
skrining resep, pemberian asuhan kefarmasian maupun aktivitas lain dalam upaya
menunjukkan bentuk kasih dan ketulusan akan lebih efektif bila dikerjakan
langsung oleh apoteker. Dengan demikian, hal ini bisa juga berarti perwujudan
dari konsep no pharmacist no service.
Pelayanan pelanggan dilakukan pada intinya bertujuan untuk memberikan
pelayanan dengan sebaik-baiknya sehingga pelanggan merasakan kepuasan atas
pelayanan yang diberikan (customer
satisfaction). Kepuasan pada dasarnya adalah perbandingan antara kinerja
yang dilakukan oleh penyedia jasa dibandingkan dengan harapan pengguna jasa
dari perspektif pengguna jasa. Memberikan pelayanan agar pelanggan puas
ternyata tidak semudah yang dibayangkan, karena adanya persepsi yang berbeda
antara penyedia jasa dengan pengguna jasa.
Menerapkan konsep customer
leadership dalam implementasi pemasaran produk farmasi. Customer leadership adalah kemampuan
membangun dialog dan melayani pelanggan, memperoleh kepercayaan dan memenuhi
harapan serta kebutuhan pelanggan. Leadership merupakan pembentukan values, attitude dan behaviour yang dibutuhkan untuk
memotivasi diri sendiri dan orang lain secara intrinsic motivation sehingga menggapai rasa spiritual survival berupa calling
dan membership. Dampak dari spiritual leadership dalam membangun
hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya adalah dengan menciptakan values
yang selaras, pemberdayaan anggota dan individu, meningkatkan aspek psikologis
dan kesejahteraan sehingga tercapainya organizational
commitment.