KASUS DAN KODE ETIK SERTA IMPLEMENTASINYA-5
SUPLEMEN
PELANGGARAN ETIKA DAN
UNDANG-UNDANG KEFARMASIAN DI PELAYANAN/PRODUKSI
OT MENGANDUNG BKO
A. URAIAN KASUS
Sebuah pabrik obat
tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah memproduksi OT mengandung BKO
secara tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT TIE dan mengandung BKO
tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2
(dua).
Hasil
pengujian PPOMN terhadap barang bukti yang ditemukan menunjukkan :
Pemberkasan kasus tersebut
dilakukan oleh Penyidik POLDA Semarang dengan menggunakan Saksi Ahli dari Badan
POM RI Dari hasil pemeriksaan terhadap Tersangka :
1. Tersangka
mencampur BKO ke dalam produk OT agar lebih manjur
2. Tersangka
mencampur sendiri BKO tersebut ke dalam produk OT yang sedang dibuat
3. Tersangka
mengetahui bahwa perbuatannya mencampur BKO ke dalam produk OT adalah melanggar
Undang Undang
4. Sumber
BKO adalah SUNARKO Rekan kerjasama usaha produk OT, yang juga merupakan pemodal
perusahaan tersebut dengan modal 50%:50%
5. Perusahaan
yang dimiliki oleh Tersangka dan SUNARKO tidak memiliki nama dan izin karena
berada di bawah Koperasi Aneka Sari.
B. KAJIAN PELANGGARAN ETIKA DAN UNDANG-UNDANG
Pelanggaran-pelanggaran yang terkait mengenai proses
produksi sediaan farmasi adalah:
1. Persyaratan
usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obat
tradisional (SK MENKES NO. 246/MENKES/SK/
V/1990 tentang izin
usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat
tradisional.
Pasal 3
1. Obat
tradisional yang diproduksi, diedarkan diwilayah Indonesia maupun dieksport
terlebih dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan menteri
2. Dikecualikan
dari ketentuan ayat 1 adalah obat tradisional hasil poduksi:
a. Industri
kecil obat tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem.
b. Usaha
jamu racikan
c. Usaha
jamu gendong
Melihat
dari pasal diatas, kasus ini jelas melanggar pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 dimana
pabrik tersebut tidak mempunyai izin dan mendaftarkan pada menteri kesehatan
sedangkan pabrik tersebut memproduksi jamu yang tidak seperti dicantumkan pada
ayat 2.
Pasal 6
1. Usaha
industri obat tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Dilakukan
oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
b. Memiliki
nomor pokok wajib pajak.
Pabrik
obat tersebut tidak mendaftarkan usaha miliknya ke negara sehingga tidak
memiliki NPWP dan merupakan suatu pabrik yang tidak memiliki badan hukum.
Pasal
7
“Industri
obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak
mencemari lingkungan”
Melihat
dari kasus diatas, sangat jelas melanggar pasal 7 karena industri obat
tradisional ini ruang produksinya berada di bawah tanah dan sangat jauh dari
standar ruang produksi yang seharusnya (menurut SOP)
Pasal
8
“Usaha industri obat tradisional harus
mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya seorang apoteker warga negara
indonesia sebagai penanggung jawab teknis”
Suatu
industri obat tradisional wajib memiliki minimal seorang apoteker dalam mengelola suatu produksi yang
berhubungan dengan obat tradisional. Ditinjau dari kasus di atas, kasus
tersebut sangat jelas melangga pasal 8 dikarenakan tidak adanya apoteker
sebagai penanggung jawab teknis.
Pasal 9
1. Industri
obat tradisional dan industri kecil obat tradisional wajib mengikuti pedoman
cara pembuatan obat tradisioanl yang baik (CPOTB)
2. Pemenuhan
persyaratan dimaksud ayat 1 dinyatakan oleh petugas yang berwenang
melalui pemeriksaan setempat
Pabrik
X di atas melakukan produksi di dalam bunker (ruang bawah tanah) dengan
pencahayaan yang kurang; sanitasi yang kurang bagus; peralatan yang tidak di
standarisasi dan divalidasi (standar SOP); hasil produksi yang tidak sesuai
dengan pedoman CPOTB.
Pasal 23
Untuk
pendaftaran obat tradisional dimaksud dalam pasal 3 obat tradisional harus
memenuhi persyaratan:
a. Secara
empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia
b. Bahan
obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
c. Tidak
mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat
d. Tidak
mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotik.
Dalam
kasus di atas, pabrik X memproduksi obat tradisional dengan campuran bahan
kimia obat yang memiliki khasiat obat dimana obat tradisional yang seharusnya
memiliki efek samping yang lebih ringan dibandingkan obat sintetik. Namun jika
melihat kasus di atas, maka obat tradisional hasil produksi pabrik X yang
mengandung bahan kimia obat melanggar pasal tersbut di atas.
3. UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan
Konsumen
Pasal 4a
Hak konsumen adalah :
Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa.
Pabrik
X dengan jelas melanggar hak konsumen sebagaimana yang tercantum pada Pasal 4a
di mana pabrik ini memproduksi obat tradisional bercampur bahan kimia obat yang
dapat membahayakan keselamatan konsumen.
4. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang
pekerjaan kefarmasian Bagian Ketiga mengenai pekerjaan kefarmasian dalam
produksi sediaan farmasi
Pasal 7 (1)
“Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan
farmasi harus memiliki apoteker penanggung jawab”
Pasal 9 (2)
“Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika
harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang apoteker sebagai penanggung
jawab”
Dalam kasus tersebut di atas, pabrik obat
tradisional tersebut tidak mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai
penanggung jawab produksi. Hal ini menyebabkan produksi tersebut tidak memenuhi
persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). Sehingga pabrik tersebut
melanggar PP 51/2009 Pasal 7 (1) dan Pasal 9 (2).
PRODUK DITARIK Vs CPOB
Badan POM mengumumkan 5 merek obat
tradisional impor, 14 obat tradisional lokal, 2 suplemen makanan lokal dan 1
suplemen makanan impor ditarik dari peredaran karena mengandung bahan kimia
obat Sildenafil Sitrat atau Tadalafil. Yang cukup
mengejutkan, diantara ke 22 merek tersebut ada obat yang diproduksi oleh
perusahaan farmasi papan atas yang setahu saya menaruh perhatian cukup tinggi
terhadap aspek CPOB.
Daftar 22 item produk
yang ditarik :
1. Blue Moon
2. Caligula kapsul
3. Cobra -X kapsul
4. Hwang Di Shen Dan
5. Kuat tahan lama serbuk
6. Lak Gao 69
7. Lavaria
8. Maca Gold
9. Manovel
10. Okura
11. Otot Madu
12. Rama Stamin
13. Sanomale
14. Sari madu kapsul
15. Stanson
16. Sunny Zang Wang Xiong Ying Dan Pil
17. Sunny Zang Wang Xiong Ying kapsul
18. Teraza
19. Top one kapsul
20. Tripoten
21. Urat perkasa kapsul
22. Zu-Mex
Pembahasan :
Proses produksi dan
pengendalian mutu obat di industri farmasi adalah tanggungjawab apoteker.
Apoteker bertanggungjawab penuh terhadap kualitas obat yang dihasilkan oleh
sebuah industri. Pencampuran bahan kimia berkhasiat obat diluar komponen yang
disetujui Badan POM dalam proses registrasi adalah pelanggaran berat.
Sesuai aturan dalam CPOB
setiap proses produksi obat harus disertai batch record (catatan pengolahan
batch). Catatan ini memuat semua bahan baku, bahan pembantu dan bahan pengemas
beserta jumlahnya, jalannya proses produksi, dan hal-hal lain yang terkait dengan
proses produksi. Bila di kemudian hari ditemukan masalah maka dengan batch
record penyebab masalah akan mudah ditelusuri.
Dalam kasus tersebut
apoteker yang bertanggung jawab terhadap proses produksi & pengendalian
mutu telah melanggar beberapa ketentuan yaitu :
A. Sumpah Apoteker
B. Kode Etik Apoteker :
a. Bab I kewajiban umum pasal 3 yaitu “ Seorang
Apoteker harus senantiasa menjalankan profesi sesuai kompetensi Apoteker
Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip
kemanusiaan dan melaksanakan kewajibannya.
b. Bab I kewajiban umum pasal 5 yaitu “ Di dalam
menjalankan tugasnya seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari
keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur
jabatan kefarmasian.
c. Bab II kewajiban apoteker terhadap pasien
pasal 9 yaitu “ Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat.menghormati hak azasi pasien dan melindungi
mahluk hidup insani.
C. PP No 72 Tahun 1998 (72/1998) Bab
II pasal 2 Tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi & Alat Kesehatan :
sediaan farmasi yang
berupa bahan obat dan obat sesuai dengan
persyaratan dalam buku
Farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.
Dalam kasus tersebut ada 3
kemungkinan penyebabnya. Pertama apoteker penanggungjawab tahu dan menyetujui
tindakan tidak bertanggungjawab tersebut. Kedua apoteker tahu tetapi
tidak kuasa menolak karena mendapat tekanan dari atasan. Ketiga apoteker sama
sekali tidak tahu, meskipun berdasarkan CPOB telah ditetapkan bahwa dalam
setiap kegiatan harus ada protap tetapi dalam pelaksanaannya terjadi manipulasi
oleh pihak lain. Tapi apapun alasannya, apoteker tetap harus bertanggungjawab
karena penambahan bahan kimia lain menyebabkan spesifikasi produk yang
dihasilkan tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Tetapi dalam kasus tersebut
perlu dilakukan investigasi untuk mengetahui apoteker dipaksa terlibat atau
apoteker dibuat tidak tahu. Apabila apoteker terlibat maka jelas ini adalah
sebuah konspirasi. Kalau apoteker dipaksa terlibat maka ini adalah
ketidakmampuan yang bersangkutan untuk menjunjung tinggi otonomi
profesionalnya. Jika apoteker dibuat tidak tahu maka yang bersangkutan teledor
dan patut dipertanyakan kompetensinya.
DOKTER DISPENSING
Pada sebuah Rumah Sakit di suatu kabupaten X di Indonesia,
terdapat sebuah kejanggalan yang dilakukan oleh seorang Dr. Spesialis
Kandungan, dimana dokter tersebut melakukan dispensing obat secara langsung
kepada pasiennya. Pihak rumah sakit telah menghimbau kepada dokter tersebut
untuk menyerahkan tanggung jawab penyerahan obat (dispensing obat) kepada
instalasi farmasi rumah sakit. Tetapi dokter tersebut bersikeras untuk tetap
melakukan dispensing yang dikelola oleh istrinya yang bukan seorang tenaga
kesehatan. Motif yang dilakukan dokter ini adalah untuk mengambil keuntungan
pribadi atas harga jual obat. Sampai saat ini pihak rumah sakit khususnya
instalasi farmasi tidak mampu berbuat banyak karena dokter tersebut merupakan
satu-satunya dokter spesialis kandungan di R.S Kabupaten tersebut.
Pada ilustrasi diatas, jelas sekali terlihat pelanggaran yang
dilakukan oleh dokter tersebut dimana kewenangan terhadap penyerahan obat
seharusnya berada ditangan Apoteker pada instalasi farmasi yang bersangkutan.
Sebagai seorang apoteker, seharusnya kita berusaha untuk
meluruskan tindakan yang menyimpang tersebut sesuai dengan Sumpah Apoteker,
Kode Etik Apoteker dan Undang-undang yang berlaku saat ini.
Berikut pembahasan kasus
di atas berdasarkan :
1. SUMPAH APOTEKER
a. Bertentangan dengan poin ke empat yang
menyatakan bahwa “ Saya akan menjalankan tugas saya dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian ”. Sesuai
poin tersebut, seharusnya kita sebagai seorang apoteker tidak membiarkan
kewenangan penyerahan obat (dispensing) dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan
lain yang tidak berkompeten dibidang kefarmasian.
b. Bertentang dengan poin ke lima yang menyatakan “
Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh
supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan,
kepartaian / kedudukan sosial ”. Berdasarkan poin diatas, seharusnya kita
sebagai apoteker berani menegur dan memberikan peringatan kepada dokter
tersebut untuk melakukan prosedur yang semestinya, tanpa terpengaruh oleh
pertimbangan apapun termasuk kedudukan sosial antara dokter dan apoteker
sebagai rekan sejawat.
2. KODE ETIK APOTEKER
a. Pasal 6
Seorang
Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
Pembahasan:
Seorang apoteker seharusnya mampu meluruskan kekeliruan yang terjadi
di rumah sakit tersebut.
b. Pasal 7
Seorang
Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.
Pembahasan:
Dalam menjalankan profesinya, hendaknya apoteker yang menjadi informan
yang baik untuk masyarakat mengenai obat bukan tenaga kesehatan lain seperti
yang di ilustrasikan pada kasus diatas.
c. Pasal 8
Seorang
Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di
Bidang Kesehatan pada umumnya dan di Bidang Farmasi pada khususnya.
Pembahasan:
Seorang apoteker harus selalu peka terhadap informasi terbaru dalam hal ini
terkain peraturan perundang-undangan di Bidang Kesehatan pada umumnya dan di
Bidang Farmasi pada khususnya.
3. UNDANG-UNDANG KEFARMASIAN (PP 51 Tahun 2009 BAB
2)
a. Pasal 2
1.Peraturan pemerintah
ini mengatur pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan produksi, distribusi, atau
penyaluran dan pelayanan sediaan farmasi.
2.Pekerjaan kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pembahasan : Sesuai 2 ayat di atas, seharusnya
kita sebagai seorang apoteker tidak membiarkan kewenangan penyerahan obat
(dispensing) dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan lain yang tidak
berkompeten dibidang kefarmasian.
b. Pasal 5
Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian meliputi :
a. Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan sediaan
farmasi
b. Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan
farmasi
c. Pekerjaan kefarmasian dalam distribusi sediaan
farmasi
d. Pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan sediaan
farmasi
Pembahasan : Seharusnya pengadaan dan
pendistribusian obat dari PBF diteruskan ke bagian instalasi farmasi rumah
sakit yang dikelola oleh seorang apoteker begitu pula pelayanan kefarmasian,
tetapi pada kasus di atas dokter tidak seharusnya melakukan pengadaan,
pendistribusian dan pelayanan farmasi secara langsung kepada pasien.
c. Pasal 14
Ayat 1 : Setiap fasilitas distribusi atau
penyaluran sediaan farmasi berupa obat harus memiliki seorang apoteker sebagai
penanggungjawab.
Pembahasan : Pada kasus diatas, distribusi dan
peyaluran sediaan farmasi berupa obat tidak berada di bawah tanggung jawab
seorang apoteker.
d. Pasal 21
Ayat 2 : Penyerahan dan pelayanan obat
berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker.
Pembahasan : Seharusnya penyerahan dan pelayanan
obat dikelola oleh seorang apoteker berdasarkan resep dokter tetapi pada kasus
di atas dokter tidak membuat resep dahulu tetapi langsung melakukan dispensing
obat kepada pasien.
e. Pasal 22
Dalam hal di daerah
terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi yang telah memiliki
surat tanda registrasi mempunyai wewenang meracik dan menyerahkan obat kepada
pasien dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembahasan : Dokter diperbolehkan melakukan
meracik dan menyerahkan obat kepada pasien asalkan di daerah tersebut tidak ada
apotek. Dalam kasus ini, rumah sakit tersebut telah memiliki apotek yang
beroperasi sebagaimana mestinya.
“KODE ETIK APOTEKER PADA BAB KEWAJIBAN UMUM
DAN IMPLEMENTASINYA”
BAB I
PENDAHULUAN
Peran profesi seorang
apoteker di apotek tidak lain adalah melaksanakan kegiatan Pharmaceutical
Care atau asuhan kefarmasian. Salah satu tujuan utama asuhan
kefarmasian adalah meningkatkan kualitas hidup pasien. Maksudnya pasien yang
sakit bisa menjadi sehat, dan pasien yang sehat bisa menjaga kesehatannya
tersebu. Di dalam menjalankan pekerjaannya seorang apoteker harus memiliki
landasan untuk meengamalkan pekerjaan kefarmasiaannya, landasan tersebut adalah
ETIKA. Etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti
karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan
berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk
menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar,
buruk atau baik. Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan
manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya
melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia
untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini.
Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan
apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru kita pahami bersama bahwa etika ini
dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian
etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi
kehidupan manusianya.
Kode etik profesi adalah
sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci
tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan
perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang
professional. Kode etik farmasis merupakan salah satu pedoman untuk membatasi,
mengatur dan sebagai petunjuk bagi farmasis dalam menjalankan profesinya secara
baik dan benar serta tidak melakukan perbuatan tercela. Berdasarkan Permenkes
no 184 tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa “Apoteker dilarang melakukan
perbuatan yang melanggar Kode Etik Apoteker” oleh sebab itu seorang
Apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker.
A. PRINSIP-PRINSIP
ETIKA PROFESI
1. Prinsip
tanggung jawab : tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya,
serta tanggung jawab atas dampak profesinya terhadap kehidupan dan kepentingan
orang lain.
2. Prinsip
keadilan : dalam menjalankan profesinya tidak merugikan hak dan kepentingan
pihak tertentu.
3. Prinsip
otonomi : merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan professional terhadap
dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan
profesinya.
4. Prinsip
integritas moral : mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran
profesinya.
B. TUJUAN
KODE ETIK PROFESI :
1. Untuk
menjunjung tinggi martabat profesi.
2. Untuk
menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
3. Untuk
meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
4. Untuk
meningkatkan mutu profesi.
5. Untuk
meningkatkan mutu organisasi profesi.
6. Meningkatkan
layanan di atas keuntungan pribadi.
7. Mempunyai
organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
8. Menentukan
baku standarnya sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi,
menghayati dan mengamalkan Sumpah / janji Apoteker.
Implementasi – Jabaran kode Etiket :
Sumpah / janji Apoteker merupakan bentuk
kontrak terikat seorang apoteker yang baru mendapat gelarnya sebagai apoteker
yang nantinya sumpah tersebut akan selalu dibawa dan diamalkan dalam melakukan
pekerjaan kefarmasian. Sumpah yang diucapkan seorang apoteker untuk dapat
diamalkan dalam pengabdiannya, harus dihayati dengan baik dan dijadikan
landasan moral dalam setiap tindakan dan perilaku. Di dalam implentasinya
banyak hal yang dapat diterapkan sesuai apa yang telah diucapkan yaitu antara
lain:
§ Melaksanakan
asuhan kefarmasian
§ Merahasiakan
kondisi pasien, resep dan medication record untuk pasien
§ Melaksanakan
praktik profesi sesuai landasan praktik profesi yaitu ilmu, hokum dan etik.
Pasal 2
Seorang Apoteker harus berusaha dengan
sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.
Implementasi – Jabaran kode Etik:
Seperti yang dijelaskan sebelumnya Kode etik
farmasis merupakan salah satu pedoman untuk membatasi, mengatur dan sebagai
petunjuk bagi farmasis dalam menjalankan profesinya secara baik dan benar serta
tidak melakukan perbuatan tercela. Kesungguhan dalam menghayati dan
mengamalkan kode etik apoteker Indonesia dinilai dari : Ada tidaknya laporan
masyarakat, serta tidak ada laporan dari sejawat apoteker atau sejawat tenaga
kesehatan lain, serta tidak ada laporan dari dinas kesehatan. Pengaturan
pemberian sanksi ditetapkan dalam pengaturan organisasi (PO). Dengan adanya
implementasi ini diharapkan nantinya banyak kalangan yang akan lebih mengenal
profesi apoteker dan diharapkan pula profesi ini lebih banyak memberikan
kontribusi dalam hal kesehatan masyarakat.
Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan
profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan
berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.
Implementasi – jabaran kode Etik:
Berdasarkan kebutuhan masyarakat akan jaminan
mutu pekerjaan kefarmasian, tuntutan pelayanan yang prima, dan adanya tantangan
pada era global, serta adanya peraturan perundangan tersebut diatas, maka
dibutuhkan profesionalisme dari Apoteker. Profesionalisme mencakup pengetahuan,
keterampilan, dan sikap dalam bekerja, termasuk melayani masyarakat.
Profesionalisme Apoteker didasarkan pada pelaksanaan pekerjaan sesuai Standar
Profesi yang mencakup standar kompetensi kerja dan etika profesi. Apoteker
adalah suatu profesi yang sangat erat kaitannya dengan pelayanan kefarmasian
pada masyarakat. Apoteker sangat dituntut profesionalisme-nya agar pengabdian
profesinya dapat dipertanggung jawabkan. Penyelenggaraan praktek kefarmasian
harus selalu dapat memberikan perlindungan pada penerima jasa pelayanan
kefarmasian, oleh karena itu seorang apoteker harus selalu mempertahankan dan
berupaya meningkatkan kompetensinya serta mutu pelayanan kefarmasian.
Pendidikan apoteker berkelanjutan merupakan salah satu sistem
pembelajaran seumur hidup yang diperoleh melalui suatu proses yang meliputi
berbagai pelatihan keprofesian setelah menyelesaikan pendidikan formal yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesi mencakup kompetensi, kemampuan,
ketrampilan, sikap dan prilaku profesi. Sehingga dalam penerapannya diperlukan
kompetensi apoteker secara professional. Bentuk implementasinya antara lain :
§ Setiap
apoteker Indonesia harus mengerti, menghayati dan mengamalkan kompetensi sesuai
dengan standar kompetensi apoteker Indonesia. Kompetensi yang dimaksud adalah:
Keterampilan, sikap dan perilaku yang berdasarkan pada ilmu, hukum dan etik.
§ Ukuran
kompetensi seorang apoteker dinilai lewat uji kompetensi
§ Kepentingan
kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap tindakan dan
keputusan seorang apoteker Indonesia
§ Bilamana
suatu sat seorang apoteker dihadapkan kepada konflik tanggung jawab
professional, maka dari berbagai opsi yang ada, seorang apoteker harus memilih
resiko yang paling kecil dan paling tepat untuk kepentingan pasien serta
masyarakat.
Pasal 4
Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti
perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya di bidang farmasi pada khususnya.
Implementasi – Jabaran Kode Etik:
Pelayanan kefarmasian yang semula hanya
berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi telah berkembang orientasinya
menuju pelayanan yang mengacu kepada pharmaceutical care/asuhan kefarmasian,
yaitu pelayanan yang konferhensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Pelayanan obat kepada penderita melalui berbagai tahapan pekerjaan
meliputi diagnosis penyakit, pemilihan, penyiapan dan penyerahan obat kepada
penderita yang menunjukkan suatu interaksi antara dokter, farmasis, penderita
sendiri dan khusus di rumah sakit melibatkan perawat. Dalam pelayanan kesehatan
yang baik, informasi obat menjadi sangat penting terutama informasi dari
farmasis, baik untuk dokter, perawat dan penderita. Sebagai konsekuensi
perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan,
ketrampilan dan prilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan
pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberian
informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhirnya sesuai
harapan dan terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus menyadari kemungkinan
terjadinya kesalahan pengobatan (medication eror) dalam proses pelayanan. Oleh
sebab itu apoteker dalam menjalankan pengabdian profesinya dalam asuhan
kefarmasian, harus selalu meningkatkan standardnya, dan apoteker harus mampu
berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapakan terapi untuk
mendukung penggunaan obat yang rasional. Hal ini pun yang akan menjadi tugas
apoteker di dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, apoteker di
tuntut lebih mengembangkan asuhan kefarmasiannya dengan tujuan peningkatan
kualitas hidup pasien terkait kesehatan dan tentunnya dilandasi oleh sikap
profesionalisme. Berbagai implementasi diantaranya :
§ Seorang
apoteker harus mengembangan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya secara
terus menerus.
§ Aktifitas
seorang apoteker dalam mengikuti perkembangan di bidang kesehatan, diukur dari
nilai SKP (satuan kredit Partisipasi) yang diperoleh dari hasil uji
komprtensi.
§ Jumlah
SKP minimal yang harus diperoleh apoteker ditetapkan dalam peraturan
organisasi.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya Seorang
Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang
bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Implementasi – Jabatan Kode Etik:
Setelah lebih dari 40 tahun peran apoteker
telah berubah dari penggerus dan peracik obat menjadi manajer terapi obat.
Tanggung jawab ini pun lama kelamaan meningkat lagi dalam memberi dan
menggunakan obat, kualitas obat harus diseleksi, disediakan, disimpan
didistribusikan, diracik dan diserahkan untuk meningkatkan kesehatan pasien dan
tidak menyakitinya. Perubahan kearah pharmaceutical care inilah yang menjadi
adalah faktor yang kritis dalam mengimplementasikan kode etik apoteker. Seorang
apoteker harus merubah mind set nya menjadi focus
patient oriented. Tidak lebih mementingkan materi tetapi lebih mengutamakan
aplikasi teori. Seorang apoteker dalam tindakan profesionalnya harus
menghindari diri dari perbuatan yang akan merusak atau seseorang ataupun merugikan
orang lain. Bentuk implementtasi yang dapat dilakukan antara lain:
§ Seorang
apoteker dalam menjalankan tugasnya dapat memperoleh imbalan dari pasien dan
masyarakat atas jasa yang diberikannya dengan tetap memegang teguh kepada
prinsip mendahulukan kepentingan pasien.
§ Besarnya
jasa pelayanan ditetapkan dalam peraturan organisasi.
Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan
menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
Implementasi – Jabatan Kode Etik:
Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu eight
star bagi farmasis adalah TEACHER dimana Seorang farmasis tidak hanya
membagi ilmu pengetahuan pada yang lainnya, tapi juga memberi peluang pada
praktisi lainnya untuk memperoleh pengetahuan dan menyesuaikan keterampilan
yang telah dimilikinya. Implementasi – Jabaran Kode Etik:
§ Seorang
apoteker harus menjaga kepercayaan masyarakat atas profesi yang disandangkan
dengan jujur dan penuh integritas.
§ Seorang
apoteker tidak akan menyalahgunakan kemampuan profesionalnya kepada orang lain.
§ Seorang
apoteker harus menjaga perilakunya dihadapan publick.
Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber
informasi sesuai dengan profesinya.
Implementasi – Jabaran Kode Etik:
Pelayanan kefarmasian saat ini telah semakin
berkembang selain berorientasi kepada produk (product oriented) juga
berorientasi kepada pasien (patient oriented) seiring dengan peningkatan
kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan pergeseran budaya rural
menuju urban yang menyebabkan peningkatan dalam konsumsi obat terutama obat
bebas, kosmetik, kosmeseutikal, health food, nutraseutikal dan obat herbal.
Dalam perubahan orientasi tersebut dibutuhkan peran apoteker khusunya dalam
penyampaian informasi terkait obat maupun kesehatan. Informasi merupakan bagian
yang tidak bisa lepas dalam dunia farmasi khusunya obat-obatan. Hal inilah yang
harus menjadi landasan seorang apoteker dalam melakukan praktek kefarmasian.
Apoteker harus selalu memperbaharui segala informasi yang berkaitan tentang
penyakit, obat-obatan yang nantinya informasi tersebut akan diteruskan kepada
masyarakat sebagai upaya pencegahan dan pemeliharaan kesehatan. Di dalam
penyampaian informasi yang terpenting adalah kemampuan komunikasi seorang
apoteker sehingga nantinya informasi tersebut dapat diolah sejauh sepengetahuan
masyarakat. Bentuk implementasi yang dapat dilakukan antara lain :
§ Seorang
apoteker memberikan informasi kepada pasien / masyarakat harus dengan
cara yang mudah dimengerti dan yakin bahwa informasi tersebut harus sesuai,
relevan, dan “up to date”.
§ Sebelum
memberikan informasi apoteker harus menggali informasi yang dibutuhkan dari
pasien ataupun orang yang datang menemui apoteker mengenai pasien serta
penyakitnya.
§ Seorang
apoteker harus mampu berbagai informasi mengenai pelayanan kepada pasien dengan
tenaga profesi kesehatan yang terlibat.
§ Seorang
apoteker harus senantiasa meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap obat,
dalam bentuk penyuluhan, memberikan informasi secara jelas, melakukan
monitoring penggunaan obat dan sebagainya.
Pasal 8
Seorang Apoteker harus aktif mengikuti
perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya di
bidang farmasi pada khususnya.
Implementasi – Jabaran Kode Etik:
Era gobalisasi menuntut adanya kesiapan
seluruh tenaga kesehatan khusunya apoteker Indonesia untuk dapat bersaing di
dalam maupun di luar negeri, termasuk dengan tenaga kerja asing. Perubahan ini
menuntut apoteker untuk lebih mengembangkan ilmu kefarmasiannya. Dan adanya
perubahan ini harus dilandasi dengan kekuatan hokum yang legal untuk menjamin
dilakukankkya pekerjaan kefarmasian, dan Seorang apoteker berkewajban untuk
selalu mengikuti perkembangan kemajuan undang-undang kesehatan dan ilmu
pengetahuan, terutama yang berhubungan erat dengan ilmu kefarmasian. Tidak
ada alasan bagi apoteker tidak tahu peraturan perundangan yang terkait dengan
kefarmasian. Untuk itu setiap apoteker harus selalu aktif mengikuti
perkembangan paraturan, sehingga setiap apoteker dapat menjalankan profesinya
dengan tetap berada dalam koridor peraturan perundangan yang berlaku. Salah
satu bentuk implementasi yang dapat dilakukan antara lain :
§ Apoteker
harus membuat Standar Prosedur Operasional (SOP) sebagai pedoman kerja bagi
seluruh personil di industri, dan sarana pelayanan kefarmasian
sesuai kewenangan atas dasar peraturan perundangan yang ada.
§ Aktif
dalam mengikuti Kongres Bertaraf nasional yang diselenggarakan ISFI terkait
perubahan PP dan UU kefarmasian.
KESIMPULAN
Dari penjabaran kode etik di atas dapat di
tarik kesimpulan :
1. Apoteker
(Farmasis) sebagai salah satu profesi kesehatan yang mempunyai peranan penting
dalam upaya kesehatan masyarakat, selain itu dalam mengimplementasikan
pekerjaan kefarmasiaannya seorang apoteker hendaknya memiliki sertifikat
kompetensin yang bertujuan sebagai payung perlindungan hukum dalam melakukan
praktik profesi dan untuk mengangkat kredibilitas profesi apoteker di mata
masyarakat. Ke depan hendaknya praktisi profesi dan organisasi profesi juga
memikirkan untuk mengembangkan SKA (Standar Kompetensi Apoteker) yang lebih
spesifik (spesialis), mengingat apoteker tersebar dalam beberapa beberapa jenis
pekerjaan kefarmasian yakni Industri Farmasi, PBF, Gudang Farmasi
Kabupaten/Kota, Asuransi, Apotek, Rumah Sakit dan Puskesmas.
2. Apoteker
hendaknya selalu berusaha meng-upgrade wawasan dan pengetahuan kefarmasiannya
dan tidak berpuas diri hanya dengan mengandalkan SKA, sehingga pengakuan dari
masyarakat akan eksistensi profesi apoteker yang selama ini kita idamkan dapat
terwujud segera. Long Live Learning, belajar sepanjang hayat hendaknya selalu
menjadi moto apoteker-apoteker Indonesia.
No comments for "KASUS DAN KODE ETIK SERTA IMPLEMENTASINYA-5"
Post a Comment