Widget HTML Atas

KASUS DAN KODE ETIK SERTA IMPLEMENTASINYA-2




Dalam melakukan tugas dan fungsinya, apotek mengenal beberapa istilah pelanggaran dalam melakukan kegiatannya. Jenis pelanggaran apotek dapat dikategorikan dalam dua macam, berdasarkan berat dan ringannya pelanggaran tersebut. Kegiatan yang termasuk pelanggaran berat apotek meliputi :

a. Melakukan kegiatan tanpa ada tenaga teknis farmasi. Kegaiatan ini menurut perundangan yang berlaku tidak boleh terjadi dan dilakukan. Karena komoditi dari sebuah apotek, salah satunya adalah obat, dimana obat ini dalam peredarannya di atur dalam perundangan yang berlaku.

b. Terlibat dalam penyaluran atau penyimpangan obat palsu atau gelap. Peredaran gelap yang dimaksud adalah golongan obat dari Narkotika dan Psikotropika.

c. Pindah alamat apotek tanpa izin. Dalam pengajuan untuk mendapatkan izin apotek, telah dicantumkan denah dan lokasi apotek.

d. Menjual narkotika tanpa resep dokter. Ini adalah pelanggaran yang jarang terjadi. Para tenaga teknis farmasi di apotek, biasanya sudah mengetahui apa yang harus mereka perbuat, ketika mengahadapi resep dengan komposisi salah satunya obat narkotika.

e. Kerjasama dengan Pedagang Besar Farmasi (PBF) dalam menyalurkan obat kepada pihak yang tidak berhak dalam jumlah besar. Selain dari merusak pasar, kegaiatan seperti ini akan mengacaukan sistem peredaran obat baik di apotek, distrbutor, maupun pabrik. Akibat yang mungkin ditimbulkan adalah kesulitan konsumen untuk memilih obat mana yang baik dan benar karena banyaknya obat yang beredar.

f. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping atau Apoteker Pengganti pada waktu Apoteker Pengelelola Apotek (APA) keluar daerah.

Kegiatan yang termasuk pelanggaran ringan apotek meliputi:

a. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping pada waktu Apoteker Pengelelola Apotek (APA) tidak bisa hadir pada jam buka apotek.

b. Mengubah denah apotek tanpa izin. Tidak ada pemberitahuan kepada suku dinas kesehatan setempat.

c. Menjual obat daftar G kepada yang tidak berhak. Obat dengan daftar G yang dimaksud adalah daftar obat keras.

d. Melayani resep yang tidak jelas dokternyaNama, Surat Izin Kerja (SIK) dan alamat praktek dokter yang tidak terlihat jelas di bagian kepala resep. Jika resep semacam ini dilayani, maka ini termasuk suatu tindakan pelanggaran.

e. Menyimpan obat rusak, tidak mempunyai penandaan atau belum dimusnahkan. Termasuk obat yang di kategorikan expired date atau daluarsa. Obat-obatan diatas tidak berhak sebuah apotek menyimpan dan mendistribusikannya ke pasien.

f. Obat dalam kartu stok tidak sesuai dengan jumlah yang ada. Pelanggaran administratif ini sering kali terjadi di sebuah apotek dengan sistim manual. Sistim komputerisasi adalah solusi terbaik untuk mengatisipasi hal ini.

g. Salinan resep yang tidak ditandatangani oleh Apoteker. Sebagai penanggung jawab teknis, apoteker wajib menandatangani salinan resep dari resep asli, untuk dapat memonitor sejauh mana pemakaian dan obat apa saja yang dimasukkan dalam salinan resep.

h. Melayani salinan resep narkotika dari apotek lain. Dalam peraturan narkotika, resep yang berasal dari apotek lain dengan permintaan sejumlah obat narkotika kepada apotek yang kita pimpin adalah boleh dilakukan. Syarat yang harus dipenuhinya adalah berupa surat keterangan dari apoteker pengelola apotek tersebut bahwa akan mempergunakan obat narkotika untuk keperluan stok dan resep serta sifatnya adalah cito atau butuh cepat.

i. Lemari narkotika tidak memenuhi syarat. Penyimpanan narkotika yang diatur dalam Undang-Undang no 5 tahun 2009, adalah dengan menyimpan sediaan dalam lemari terkunci, terpisah dengan obat keras lainnya, dst.

j. Resep narkotika tidak dipisahkan. Prosedur standar yang harus beberapa apotek dan tenaga kefarmasian sudah ketahui. Salah satu kegunaan pemisahaan resep obat ini adalah mempermudah kita dalam membuat Laporan Narkotika.

k. Buku narkotika tidak diisi atau tidak bisa dilihat atau diperiksa. Hal teknis seperti sudah harus dapat dihindari dan diperbaiki. Karena jika hal ini terjadi, maka akan mempersulit administrasi dari apotek tersebut dalam pengelolaan apotek.

l. Tidak mempunyai atau mengisi kartu stok hingga tidak dapat diketahui dengan jelas asal usul obat tersebut.

Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes No. 922/ MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah:

a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan tenggang 
   waktu masing – masing dua bulan.

b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.

c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.

Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran terhadap :

a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).

b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika



KOMPILASI KASUS RUMAH SAKIT
Kompilasi Kasus Terkait Pelayanan Rumah Sakit:
Sebuah Bahan Renungan Untuk Reformasi Pelayanan Rumah Saki
Oleh: Brian A. Prastyo

A.     Latar Belakang
Kesehatan adalah hal yang sangat penting bagi setiap manusia. Apabila kesehatan seseorang terganggu, maka produktifitasnya pun akan terganggu. Ia tidak akan dapat melakukan pekerjaan atau rutinitasnya secara optimal. Gangguan terhadap kesehatan bahkan dapat menyebabkan seseorang menjadi cacat, kehilangan kemampuan organ tubuhnya, atau yang paling ekstrem menyebabkan kematian. Dampak dari gangguan kesehatan tidak hanya dirasakan oleh individu yang bersangkutan, tetapi juga oleh lingkungan sosial yang bersangkutan. Dampak tersebut minimal dirasakan oleh keluarganya, rekan sekolahnya, atau rekan kerjanya. Apabila penyakit yang menyebabkan gangguan kesehatan tersebut termasuk penyakit menular dan berbahaya, maka dampaknya bisa lebih luas lagi. Mengingat begitu pentingnya arti kesehatan tersebut bagi manusia, maka pada umumnya setiap orang akan melakukan segala daya upaya untuk memperoleh kesembuhan jika mereka mengalami gangguan kesehatan.
Rumah Sakit adalah salah satu lembaga yang akan didatangi oleh orang yang mengalami gangguan kesehatan untuk memperoleh kesembuhan. Terhadap beberapa jenis gangguan kesehatan tertentu, orang yang bersangkutan bahkan wajib menjalani perawatan di Rumah Sakit. Hal itu dikarenakan alat yang diperlukan dan prosedur penyembuhan untuk gangguan kesehatan tersebut hanya terselenggara di Rumah Sakit. Namun, satu hal yang penting untuk dicatat; hubungan yang terjalin antara Rumah Sakit dengan orang yang mengalami gangguan kesehatan (selanjutnya disebut Pasien) tersebut adalah suatu hubungan yang tidak murni bersifat kemanusiaan, melainkan ada aspek bisnisnya.
Rumah Sakit dalam hal ini merupakan pelaku usaha, yang oleh karena itu memiliki misi mencari keuntungan ekonomis dari kegiatannya. Sedangkan, di sisi lain Pasien adalah konsumen yang membeli jasa kesehatan dari pihak Rumah Sakit. Dalam perkembangannya kegiatan bisnis yang dilakukan oleh Rumah Sakit ternyata telah melahirkan berbagai permasalahan penting yang perlu dicermati secara seksama; di antaranya tindakan Rumah Sakit yang menolak untuk merawat pasien miskin, Rumah Sakit menahan Pasien yang belum membayar biaya perawatan, Rumah Sakit tetap menagihkan biaya perawatan kepada Pasien yang miskin, dan berbagai kasus kesalahan pelayanan medik atau yang umum dikenal dengan istilah malpraktik.
Berbagai permasalahan itu penting untuk dicermati agar dapat dirumuskan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Solusi tersebut dimaksudkan agar Rumah Sakit dapat secara optimal menjadi lembaga yang melayani masyarakat dan tidak semata-mata menjadi mesin pengeruk keuntungan yang hanya melayani kepentingan pemegang saham Rumah Sakit tersebut.  
B.     Kasus Penolakan Pasien Miskin
Dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan Kedua) disebutkan bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dengan menggunakan penafsiran acontrario dapatlah dikatakan bahwa siapapun tidak boleh menghalangi seseorang untuk, dalam konteks ini, memperoleh pelayanan kesehatan. Namun pada kenyataannya, beberapa Rumah Sakit masih ada yang menolak untuk merawat Pasien miskin. Kasus tersebut selengkapnya akan dipaparkan di bawah ini.
Muhammad Zulfikri (selanjutnya disebut Zul) merupakan putra sulung pasangan Husein-Lailasari yang tinggal di Kelurahan Makasar, Jakarta Timur, yang lahir pada hari Rabu, 13 Juli 2005. Bayi itu lahir prematur dengan berat 1,4 kg lewat pertolongan dukun beranak. Pada tanggal 21 Juli 2005, Zul terkena penyakit kuning setelah dibawa mengungsi karena rumah kontrakan Husein-Lailasari kebanjiran. Pukul 09.00 WIB, Husein-Laila membawa Zul ke puskesmas. Dari puskesmas, mereka membawa Zul ke RSUD Budhi Asih, RSCM, RSPAD Gatot  Subroto, RSAL Mintoharjo, RSAB Harapan Kita, dan RS UKI. Keenam RS ini menolak. Baru pukul 20.00 (11 Jam kemudian), Zul diterima di RS Harapan Bunda di Pasar Rebo.
RS Budhi Asih, Cawang menolak merawat dengan alasan berat Zulfikri hanya 1,4 kg. Ia lalu dibawa ke RSCM; yang menolak dengan alasan tidak memiliki peralatan untuk merawat Zulfikri. Alasan yang sama juga dikemukakan RSAL Mintoharjo dan RS UKI. Sementara RSPAD Gatot Subroto menolak dengan alasan ruangan/inkubator sudah penuh; namun sebelumnya pihak RS sempat menanyakan apakah orang tua Zulfikri sanggup membayar biaya perawatan Rp 700.000 sehari. RSBA Harapan Kita juga menolak dengan alasan tidak jelas. (Kompas, 28 Juli 2005) Namun setelah dirawat di Rumah Sakit Harapan Bunda, kondisi Zul berangsur-angsur membaik. (Kompas, 31 Juli 2005)
RS Harapan Bunda sebenarnya meminta uang sebesar Rp 1 juta untuk perawatan Zul secara khusus. Namun, karena tidak punya uang, petugas meminta orantua Zul untuk mengusahakan uang Rp 500.000. Husein lantas mengandalkan Sri Mulya, kakak kandungnya, agar mencarikan pinjaman. Pada Pukul 23.00 WIB, kakaknya Husein datang membawa uang Rp 250.000, yang langsung diserahkan kepada perawat untuk keperluan obat. (Warta Kota, 25 Agustus 2005)
Ironisnya Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menyatakan bahwa sanksi terhadap Rumah Sakit yang menolak Pasien miskin belum dapat diberikan. Alasannya ialah belum ada dasar hukumnya. (Media Indonesia, 4 Agustus 2005) Mahlil Ruby, Peneliti pada Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijkan Kesehatan FKM UI, berbeda pendapat dengan Menteri Kesehatan. Ia memandang bahwa penolakan Zulfikri oleh RS publik telah melanggar Pasal 34 Ayat (1) dan 28-H Ayat (1) UUD 1945. Ia juga berpendapat bahwa penolakan tersebut dikarenakan RS publik sangat sudah berorientasi ekonomi; yaitu karena pelayanan pasien miskin tidak banyak menambah insentif tenaga kesehatan dan pemasukan kas Rumah Sakit, maka Zulfikri ditolak. (Mahlil Ruby, Rumah Sakit Publik Mulai Miskin Moral, Kompas).
C.     Kasus Penahanan Pasien
Pada medio September 2004, Rumah Sakit Siloam Gleneagles Karawaci Tangerang dilaporkan ke Polisi oleh seorang anggota keluarga Pasiennya dengan tuduhan telah melakukan penyanderaan Pasien. Berikut ini adalah gambaran dari kasus ini yang dicuplik dari berita yang dimuat di Tempo Interaktif, 16 September 2004.
Menurut Jessy Quantero, Direktur Utama Healt Care selaku pengelola RS Siloam, pasien bernama Leonardus, 53 tahun, memang merupakan pasien yang sudah lama dirawat di rumah sakit itu. "Pasien itu memang pasien nakal dan tidak punya etikat baik," kata Jessy kepada Tempo.
Leonardus, kata Jessy, mulai masuk dan dirawat di RS Siloam sejak 16 Agustus 2004 dengan kondisi cukup parah, karena sudah banyak komplikasi. Pihak rumah sakit pun sudah meminta komitmen pasien seputar kesanggupan membayar biaya pengobatan, karena pihak tempat Leonardus bekerja tidak mau menanggung biaya pengobatan Leonardus. "Pasien menyatakan sanggup untuk membayar sendiri, dan kami menjalankan kewajiban untuk merawatnya," kata Jessy.
Alhasil, kondisi Leonardus membaik, dan Leonardus berencana pulang. Tapi ketika pihak rumah sakit menagih biaya pengobatan, Leonardus justru mengaku disandera rumah sakit. "Mahalnya biaya perawatan selama sebulan dan operasi yang harus dibayar, membuat Leonardus kalap dan takut. Ia tidak bisa pulang sebelum menyelesaikan semua Administrasi sebesar Rp. 45 Juta," kata Jessy.
Menurut Jessy, pihaknya sudah mendahulukan nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak menagih secara rutin semua biaya dan mendahulukan pengobatan. Tapi kemudian, nyonya Leni -isteri Leonardus- melaporkan RS Siloam ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, karena suaminya disandera rumah sakit itu. "Walau Leonardus sudah membuat kami malu, kami tetap akan menyelesaikan masalah ini dengan cara baik-baik," kata Jessy.
Sebelum dilaporkan ke kepolisian, kata Jessy, pihaknya sudah mendapatkan kesepakatan dengan Leonardus: Leonardus akan membayar tagihan dengan mencicil Rp. 3 juta per bulan. "Tapi ketika ditangani LBH Kesehatan, kesepakatan itu langsung berubah dengan tawaran mencicil Rp. 100 ribu per bulan," kata Jessy lagi.

D.    Kasus Penagihan Biaya Terhadap Pasien Miskin
Sebagai kompensasi atas pengurangan subsidi BBM, pemerintah memperkenalkan program penggratisan biaya pengobatan untuk Pasien miskin. Namun pada kenyataannya pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat miskin sepenuhnya belum terlaksana dengan baik, bahkan cenderung cuma dalam tataran konsep. (Media Indonesia, 30 Juli 2005). Berita yang dimuat di harian Suara Merdeka pada hari Rabu, 14 September 2005 menjadi bukti mengenai hal tersebut.
Berita tersebut mempublikasikan pengalaman Subarjo (55), warga Bantul, pemegang kartu sehat, berobat ke Rumah Sakit Wirosaban, Yogyakarta. Meski sudah menunjukkan kartu untuk keluarga miskin, dia tetap dikenai biaya Rp 240.000. Karena takut, Subarjo langsung membayar sesuai dengan biaya yang diminta petugas rumah sakit. Namun Subarjo masih beruntung, karena dalam waktu bersamaan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari mengetahui peristiwa tersebut. Saat itu juga Menkes langsung meminta petugas rumah sakit untuk segera mengembalikan uang pasien itu. Setelah dimarahi Menkes, petugas pun mengembalikan uang berobat Rp 240.000 kepada Subarjo. Sementara itu, petugas pelayanan rumah sakit mengungkapkan, Subarjo tetap dipungut biaya, walaupun memegang kartu sehat karena obat yang ada dalam resep tidak termasuk dalam daftar obat kerja sama pemerintah dengan PT Askes. ''Ada dalam daftar atau tidak, pemegang kartu sehat harus mendapat pelayanan gratis,'' kata Menkes.
Bukti bahwa program penggratisan biaya tersebut belum berjalan dengan baik juga terdapat dalam berita yang dimuat di Gatra pada 2 Januari 2006. Dalam berita itu dikatakan bahwa Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, saat mengunjungi RSUD M. Yunus Bengkulu mengungkapkan kekecewaannya, karena mengetahui banyak pasien miskin di kelas III masih dibebani biaya obat-obatan. "Ini sudah tidak benar, protapnya kan sudah jelas bahwa pasien miskin di kelas III harus gratis. Mana petugas Askes tolong dijelaskan kenapa pasien masih membayar," kata Menkes kepada dokter-dokter dari RSUD, anggota Komisi IX DPR-RI serta pejabat Depkes RI.
Dari empat orang pasien miskin di kelas III RS itu, seluruhnya mengaku sudah mengeluarkan biaya untuk menebus obat-obatan. Ny. Febi, orang tua dari Gozi (2,5) yang menderita demam typoid, mengaku sudah membayar sampai Rp600 ribu untuk obat-obatan, begitu juga dengan Ny. Fatimah (65) penderita muntaber sudah membayar Rp500 ribu. Menkes yang ketika itu didampingi Dirut Askes Dr Ori Sundari, dengan suara keras meminta agar semua biaya yang dikeluarkan pasien miskin dikembalikan saat itu juga. Kepada Direktur RSUD M. Yunus Dr Syarifuddin, ia minta agar jangan ada lagi pembayaran seperserpun yang dibebankan kepada pasien miskin. Syarifuddin menegaskan, kalaupun pasien miskin membayar, nantinya dibebankan ke APBD. Namun Menkes dengan suara keras menyatakan, tidak dibenarkan pasien miskin membayar meski akhirnya diganti, karena setiap biaya pengobatan pasien miskin sudah dibayar negara dan ditagih melalui Askes.
Anak Ny. Fatimah pasien muntaber yang dirawat, Suplin menyatakan dalam membayar obat-obatan kepada pihak rumah sakit, ia tidak diberi tanda bukti ataupun kwitansi. Menkes bahkan mengkhawatirkan obat-obatan untuk pasien miskin harus ditebus sendiri tapi oleh pihak rumah sakit dimintakan ke Askes seolah-olah obat sudah diberikan secara gratis. Menkes menegaskan, RS harus memberikan perawatan optimal kepada pasien miskin, sama halnya dengan pasien di kelas maupun VIP. Pasien miskin sudah dibayar oleh negara dan pihak RS menagih ke Askes, bahkan menurut Menkes, ada satu rumah sakit yang tagihan Askesnya sampai Rp100 miliar. Pihak rumah sakit jangan memandang pasien mikin sebagai beban, bahkan seharusnya mereka berlomba-lomba merawat pasien miskin, karena segala perawatan dan obat-obatan diganti negara, bahkan jasa dokter juga dibayar. "Sangat keterlaluan kalau pihak rumah sakit masih membeda-bedakan pasien dari keluarga miskin. Pasien miskin harus gratis dan dirawat dengan baik dan saya tidak bisa terima dengan dalih apapun kalau ada pasien yang diabaikan," ujarnya. Dalam kunjungan ke RSUD M. Yunus, Menkes menemui sekitar 10 pasien miskin dan menanyakan perawatan yang diterima serta biaya perawatan. Sebagian penjelasan dari dokter ditanyakan lagi ke pasien dan ada pernyataan dokter yang faktanya tidak sama dengan yang dialami pasien.
E.     Kasus-Kasus Malpraktek
1.     Kasus Agian – Permohonan Euthanasia Pertama di Indonesia
Pemberitaan mengenai kasus ini diawali pada tanggal 29 Agustus 2004. Saat itu, detik.com dalam judul beritanya menyebutkan, ”Ny. Agian, Korban Malpraktik Masih Tergeletak Lemas.” Berdasarkan keterangan dari suami Ny. Agian yang bernama Panca Satriya Hasan Kusumo yang dimuat detik.com pada 3 September 2004, awal mula kasus ini adalah sebagai berikut.
” Awalnya tak ada tanda-tanda yang mencurigakan dari kehamilan istri saya ini. Setiap bulan istri saya memeriksakan kehamilan ke dokter Gunawan Muhamad, ahli kandungan. Selama sekian bulan rutin diperiksa dokter Gunawan, ia diberikan beberapa macam obat untuk kesehatan ibu dan anak. Tidak pernah ada gejala atau tanda-tanda keracunan. Setelah kehamilan memasuki bulan ke-34, ia (Ny. Again) kembali diperiksa. Hasil USG muncul kecurigaan dan keraguan dalam diagnosa terhadap kondisi janin dengan alasan monitor terlalu kecil. Oleh dokter, istri saya disarankan melakukan pemeriksaan di Jakarta yang lebih lengkap. Terus kami bawa ke RS Harapan Kita, hasilnya tidak ada kelainan pada janin, kecuali tampak acitest pada ibu dan letak bayi sungsang. Rekomendasinya agar segera dilakukan operasi caesar. Kemudian tanggal 20 Juli dilakukan operasi caesar di RSI Bogor. Operasi berjalan selamat, karena kondisi kesehatan bayi kurang, maka oleh pihak RSI bayi dirujuk di RS PMI Bogor untuk perawatan inkubator. Sedangkan istri saya normal, tak ada masalah bahkan komunikasi berjalan dengan baik dan malam itu dibawa ke Rumah Bersalin Yuliana untuk rawat inap. Keesokan harinya, saya diberitahu oleh pihak Rumah Bersalin Yuliana, bahwa istri saya tekanan darah naik, dan langsung dibawa ke RSI Bogor tanpa persetujuan saya. Saya diminta langsung ke RSI. Sampai di sana istri saya sudah ditangani tim dokter, beberapa saat kemudian pihak RS memberikan satu resep untuk ditebus, untuk menurunkan tekanan darah. Dan hasilnya setelah resep saya tebus, beberapa saat dari situ saya tanya perkembangan lagi. Darahnya ternyata terlalu drop, 120/80.  Wah terlalu rendah, pihak rumah sakit meminta saya menebus resep lagi. Saya tebus resep di rumah sakit itu. Saya tunggu beberapa saat. Pas ditensi, saya masuk, ternyata jadi 190/140. Dokter bilang pak ini ketinggian, bapak harus beli lagi namanya dupamin cair. Dua ampul plus pengantar untuk membeli darah dua kantong. Malam itu juga jam 12 saya berikan, tanggal 21 Juli itu, saya berikan 2 ampul dupamin dan dua ampul kantong darah.  Saya menunggu lagi di luar, karena tak boleh di dalam. Sekitar setengah satu saya dipanggil masuk ruangan dengan buru-buru, Pak-pak cepet-cepet. Pas saya masuk kedapatan istri saya nampak seperti sudah mati. Saya shock, mereka panik. Saya lihat mereka panik, dengan napas bantuan. Saya lihat kantong darah sudah kosong satu dan infus dupamin itu.  Setelah itu, saya lihat kira-kira 10 menit tanpa nadi dan napas. Tensi nol. Setelah kantong darah kedua dan dupamin diperas, kira-kira sepuluh menit muncul nadi dan napas. Pas ditensi, tensinya 60/40. Dari situlah dilanjutkan sampai kantong darah dan dupamin habis. Sampai kira-kira tinggal seperempat, ditensi, tensinya tidak terkendali. 60, 90, 150., 180 terus sampai 250/210. Ya setelah selesai, di situlah akhir dari tindakan itu. Kemudian istri saya diamkan dari jam 2 siang, katanya mau dirujuk ke ICU. Baru pada jam 8 malam, baru dapat ruang ICU di rumah sakit PMI Bogor. Setelah masuk PMI, kemudian di ICU 8 hari dan dirawat inap sampai 38 hari. Baru dapat kepastian tanggal 11 Agustus kalau perlu tindakan lanjutan. Kemudian saya membawa istri saya ke RS Pertamina untuk MRI, karena beberapa hari itu kondisinya spatik. Ternyata PMI membiarkan saja. Hanya melakukan pijat-pijat saja. Setelah saya bawa ke RS Pertamina, baru pasti ada kerusakan otak, kanan kiri, otak kecil kanan dan kiri, serta kerusakan pusat saraf otak yang permanen.”
Pada 7 September 2004, diberitakan bahwa Ny. Agian Isnauli tidak hanya melaporkan dr Gunawan dari RS Islam Budi Agung ke Polda Jawa Barat dengan tuduhan telah melakukan malpraktik saja. Tetapi, ia rencananya akan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Bogor.
Pada 17 September 2004, Hasan beraudiensi dengan anggota DPRD Kota Bogor. Saat itu ia menyampaikan bahwa ia sudah mengeluarkan uang Rp. 60 Juta untuk membiayai pengobatan istrinya dan masih berhutang Rp. 17 Juta lagi ke RS PMI Bogor. Ia mengatakan bahwa tidak memiliki uang lagi untuk membiayai pengobatan istrinya, karena itu ia memohon agar istrinya disuntik mati saja (euthanasia). Pada 27 September 2004, Menteri Kesehatan A. Suyudi mengatakan bahwa euthanasia dilarang di Indonesia. Diwawancarai pada hari yang sama, Hasan mengatakan bahwa apabila pemerintah melarang euthanasia, maka dia minta pemerintah ikut menanggung biaya pengobatan istrinya, karena Ia merasa tidak mampu lagi menyediakan dana untuk pengobatan istrinya. Polemik seputar permohonan euthanasia ini mengundang komentar dari dr Marius Widjajarta dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia. Menurutnya, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif. Lebih lanjut Ia mengatakan, " Kalau orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara."
Ternyata, pada 22 Oktober 2004 Hasan secara formal mengajukan permohonan euthanasia terhadap istrinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada hari itu juga Hasan meminta penetapan euthanasia kepada Menteri Kesehatan. Namun untuk berjaga-jaga sekiranya Menteri Kesehatan menolak permohonan tersebut, Hasan juga menyerahkan surat kepada Menteri Kesehatan yang berisi permohonan keringanan biaya perawatan untuk istrinya.
Pada 26 Oktober 2004, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk Ny. Agian di RSCM. Ia mengatakan,”untuk selanjutnya, biaya perawatan dan pengobatan Ny Agian akan kita tanggung. Mudah-mudahan gratis, kita akan bantu seluruh biaya." Namun, pada 10 November 2004 Hasan malah melaporkan Menteri Kesehatan ke polisi. Ia mengatakan "Waktu kunjungannya, menkes menjanjikan akan mengcover biaya perawatan istri saya. Tapi nyatanya tagihan baru terus berdatangan. Tagihan yang saya bawa ini saja sudah menghabiskan biaya sekitar Rp 20 juta. Bahkan ada obat-obatan yang belum saya tebus."
Pada tanggal 6 Januari 2005 terjadi kejadian yang luar biasa. Ny. Agian yang berbulan-bulan koma telah sadar kembali. Ny Agian telah bisa meninggalkan tempat tidurnya dan melihat pemandangan dengan naik kursi roda; tentu saja masih dengan bantuan kerabatnya. Dia juga sudah bisa mengunyah karedok (makanan Sunda, sejenis gado-gado) dan sudah bisa berbicara. Menurut, Iskandar, kuasa hukumnya dari LBH Kesehatan, kondisi Agian membaik setelah mendapatkan berbagai pengobatan alternatif dari Manado, Sumut, Jabar hingga NTB. Jenis pengobatan alternatif itu misalnya pemijitan sistem refleksi dan dengan bau-bauan. Menurut Iskandar pengobatan tradisional ini merupakan upaya keluarga. "Tapi dokter tidak melarang," tandas Iskandar. Keluarga juga memberikan terapi memperdengarkan lagu-lagu nostalgia kepada Agian. "Ny Agian jadi ingat anaknya dan ingat pergaulannya dulu. Keluarga terus melakukan aneka terapi," kata Iskandar.
Pada 6 Januari 2005, Ny. Agian dapat melakukan aktifitas yang luar biasa. Ia dapat membaca surat Al Fatihah hingga selesai dan menyanyi lagu dangdut Goyang Dombret. Yanti, Perawat yang sehari-hari merawat Ny. Agian menceritakan, "Kira-kira seminggu sebelum lebaran (November 2004), Ny Agian sudah menunjukkan keadaan yang baik. Secara berangsur-angsur pulih dari tempat tidur duduk bersandar, duduk berjuntai, dan sekarang sudah kuat menopang lehernya." Dr M Imam, dokter jaga di Stroke Unit RSCM menambahkan, Ny Agian sudah mulai progesif. "Sudah sekitar 1 bulan terakhir ini. Dia sudah bisa berkomunikasi dan menerima rangsang-rangsang dari luar," kata Imam. Sedangkan ahli gizi Stroke Unit RSCM, Utih Arupah SKM, menyatakan, biaya makan per hari Agian mencapai Rp 100 ribu. Setiap hari Ny. Agian diberi susu peptamin ensure, 6 buah putih telor, sari buah, dan makan hapermuth 3 kali sehari. "Untuk kembali sembuh, Ny Agian membutuhkan gizi yang prima. Karena itu ongkos makanannya pun mencapai Rp 100 ribu per hari," katanya. "Pasien VIP biasanya nggak lebih dari segitu (Rp 100 ribu). Tapi ini kita beri yang terbaik agar kondisinya semakin membaik," demikian menurut Utih. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek pada tanggal 7 Januari 2005 berkomentar bahwa apa yang terjadi pada Ny. Agian yang telah sadar dari koma panjangnya adalah suatu mukjizat.
Pada tanggal 6 Januari 2005 itu pula Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk Ny. Agian kembali. Pada saat itu Ia mengatakan, "Tolong diberitakan ya! Orang yang sudah hidup begini masa mau disuntik mati. Ini bagi kaum perempuan sangat menyakitkan. LSM yang peduli perempuan diam saja.” Hasan saat itu tidak berada di tempat, karena sedang menjadi relawan penolong korban tsunami di Aceh. Ketiadaan Hasan membuat berbagai isu yang menjurus fitnah beredar. Salah satunya ialah isu yang mengatakan bahwa kepergian Hasan ke Aceh ialah untuk menghindari kebencian Ny. Again. Tetapi Ninda, aktivis LBH Kesehatan yang intens mendampingi Ny. Again, pada 7 Januari 2005 membantah isu tersebut. Pada 9 Januari 2005, Ninda memberitahu bahwa Ny. Agian terus menerus memanggil nama Hasan. Hal mana membuktikan bahwa Ny. Agian justru rindu pada suaminya, bukannya membencinya.
Setelah pulang dari Aceh, Hasan kembali membuat berita. Pada tanggal 11 Januari 2005 ia mengumumkan pada pers bahwa ia akan melaporkan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari ke Mabes Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik. Ia merasa difitnah Menkes yang menuduhnya lari dari tanggung jawab menjaga istrinya yang sedang sakit di RSCM Agian Isna Nauli. Hasan menuturkan, berdasarkan pengakuan dua orang wanita dari LBH kesehatan yang menemani Agian saat Menkes datang, Menkes menunjuk kedua wanita itu dan menuduh mereka hanya mencari keuntungan belaka dari sakitnya Agian.
"Itu fitnah. 'Adik-adik' dari LBH Kesehatan itu justru yang selama ini telah membantu saya. Saya sangat keberatan dengan itu," demikian kata Hasan.
Pada 5 Februari 2005 diberitakan bahwa kondisi kesehatan Ny. Agian semakin membaik, bahkan tangan dan kakinya sudah bisa digerakan. Ny. Agian bahkan sudah bisa menebar senyum dan mengenali siapa saja yang mengajaknya bicara. Mungkin karena dianggap kondisinya sudah membaik, maka pada tanggal 7 Februari 2005, pihak RSCM memindahkan Ny. Agian ke bangsal kelas III. Sebelumnya Ny. Agian dirawat di ruang khusus stroke Soepardjo Roestam RSCM. Menurut keluarga dan LBH Kesehatan yang mendampingi Ny. Agian, pemindahan dilakukan dengan paksa dikawal aparat kepolisian. Menurut Ninda, dari LBH Kesehatan, pemindahan Ny Agian ini dilakukan secara mendadak. Pihak keluarga sempat menentang pemindahan ini. Apalagi, saat itu suhu badan Ny Agian panas dan demam. Ninda menyatakan, alasan para perawat di ruang Soepardjo Roestam memindahkan Agian, karena Agian dinilai sudah tidak perlu perawatan secara medis lagi dan hanya butuh terapi saja. "Saat dipindahkan, sejumlah anggota polisi mengawal dan bahkan mereka berjaga di depan bangsal ini sampai Sabtu kemarin," jelasnya.
Dibandingkan saat dirawat di ruang khusus perawatan Soepardjo Roestam, kualitas perawatan di bangsal kelas III jauh berbeda. Ny Agian kini dikumpulkan bersama dengan 30 pasien lainnya di bangsal itu. Dulu, Ny Agian berada di Ruang Soepardjo Roestam seorang diri. Di bangsal ini juga tidak tampak ada peralatan medis semewah di ruang Soepardjo Roestam.
Rencananya, kata Ninda, sebagai bentuk tidak terimanya keluarga atas pemindahan Ny Agian ini, minggu ini pihak keluarga akan memindahkan Ny Agian ke luar negeri. Pihak keluarga dan LBH Kesehatan juga menilai, RSCM sudah tidak serius lagi merawat Agian. Ini terihat, dari tindakan para perawat yang kurang respek terhadap Agian.
"Memang, rencananya Bang Hasan (suami Agian) akan membawa Mami ke RS di Luar Negeri minggu ini. Karena di sini dinilai sudah tidak serius. Tapi, fixed atau tidaknya dipindahkan ke luar negeri, saya belum tahu," jelasnya. Sebelumnya, memang RSCM meminta kepada keluarga untuk merawat Ny Agian di rumah, karena kondisi Agian sudah membaik. Namun, saat itu Hasan mengaku belum siap.  Seiring dengan kepindahan Ny Agian ke bangsal kelas III, wartawan juga tidak diperbolehkan oleh perawat untuk menengok atau mewawancarainya. Bila ingin melihat kondisi Ny. Agian, wartawan harus mendapat izin tertulis dari RSCM.
Berita terakhir yang terkait dengan kasus ini dimuat di detik.com  pada tanggal 20 Februari 2005. Dalam berita tersebut dikatakan bahwa untuk pemulihan kesehatannya Ny Agian Isna Nauli akan diberangkatkan ke Kuba. Namun, karena masalah biaya yang mencapai sekitar US$ 5.000, hal tersebut belum bisa dilakukan. Ketua LBH Kesehatan Iskandar Sitorus mengatakan bahwa awalnya ada tiga negara yang akan dituju untuk pemulihan kesehatan Ny Agian. Negara-negara tersebut adalah Kuba, Belanda dan Vatikan. "Tapi di antara tiga negara tersebut yang lebih responsif adalah Kuba," katanya. Menurut Sitorus, Ny Agian segera di berangkatkan ke Kuba jika uang tersebut terkumpul. "Tapi, sampai saat ini kami masih mencari donatur untuk biayanya karena sampai saat ini belum ada," ungkapnya.
2.      Kasus Adya – Gugatan Ditolak Hakim Karena Tidak Ada Otopsi
Kasus ini berawal ketika Adya Vitry Harisusanti mengalami muntah darah 20 Oktober 2002. Ia kemudian dibawa ke RS Azra Bogor dan sempat diopname. Pasien ini kemudian diperbolehkan pulang keesokkan harinya. Tak lama kemudian, pasien ini kembali mengeluh sakit di bagian kandungannya dan dibawa ke RS Sukoyo. Ia divonis menderita kista bagian di kanan dan kiri kandungannya setelah melalui pemeriksaan USG dan kemudian dirujuk ke RS PMI Bogor.
Adya lalu masuk RS PMI Bogor pada 10 November 2002 dan mendapat tindakan medis yang dianggap membingungkan karena tidak adanya informasi yang jelas. Pasien ini diberikan transfusi darah 300 cc padahal hasil lab menunjukkan kadar hemoglobin (HB)-nya masih normal. Dokter juga me-rontgen di bagian dada, padahal menurut penggugat, istrinya menderita sakit dibagian perut.
RS PMI, menurut Indra, juga dinilai telah melakukan kelalaian medis yang merugikan kondisi pasien. Pasien harus menunggu 1,5 jam dari jadual yang seharusnya dan tanpa alasan yang jelas operasi kista itu akhirnya batal dilakukan, pada 14 November 2002 karena dokter tak datang. "Tidak jadinya pelaksanaan operasi ini berakibat fatal pada kondisi fisik dan mental yang memperparah dan penyakit almarhum," kata Erna Ratnaningsih, penasehat hukum penggugat.
Selama 14 hari tanpa penjelasan yang memadai mengenai kondisi istrinya, Indra kemudian memindahkannya ke RS Pelni Petamburan. Adya kembali ditransfusi darah 500 cc. Namun hingga dirawat di rumah sakit tersebut, dokter ternyata belum mampu menghentikan pendarahan terus menerus yang diderita pasien itu.
Pemeriksaan di bagian kandungan juga menurut penggugat tidak dilakukan secara pantas dan melanggar etika kedokteran. Menurut Indra, dokter langsung memvonis istrinya terkena tumor miom (myoma) tanpa pemeriksaan lebih jauh seperti USG. Istrinya yang tanpa ditemani itu, menurutnya sangat ketakutan dan menderita depresi luar biasa. Setelah pemeriksaan USG ternyata tidak ditemukannya pendarahan di bagian kandungan dan tumor.
Karena tidak puas, Indra lalu meminta rujukan ke RSCM. Adya kemudian dirawat di RSCM pada 17 Desember 2002. Ia diminta menceritakan seluruh tindakan medis yang pernah dilakukan sebelumnya. Dokter RSCM yang menangani Adya cukup terkejut dengan apa yang dilakukan dokter sebelumnya. Setelah di diagnosa melalui radiologi nuklir ternyata ditemukan kebocoran sebanyak dua lubang di bagian usus Adya. Dokter pun memutuskan untuk mengoperasi dengan pemasangan alat CVP (Central Vena Presure).
Ternyata pemasangan alat yang dilakukan dokter sebelumnya, berakibat fatal dan menyebabkan kematian Adya. Pemasangan alat melalui jarum suntik berukuran besar itu yang dilakukan melalui pembiusan itu ternyata tidak berhasil. Darah mengalir sesaat jarum suntik itu ditusuk ke tabung CVP dan membuat Adya semakin kritis. Alat itu ternyata, menurut Indra dipasang tidak pada tempatnya. "Darah yang muncrat adalah darah segar yang berasl dari arteri jadi bukan masuk ke vena," katanya. Adya menghembuskan nafas terakhirnya 10 menit kemudian.
Suami almarhumah Adya Vitry Harisusanti, yaitu Indra Syafri Yacub, kemudian menggugat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Pelni Petamburan (Pelni) dan Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI), yang dianggapnya telah melakukan malpraktik. Ketiga Rumah Sakit tersebut juga dilaporkan ke Menteri Kesehatan dengan tuduhan telah melakukan pelanggaran Peraturan Menteri Kesehatan. RSCM dan RS PMI Bogor diadukan karena tidak memberikan isi rekaman medis kepada Indra Syafri Yacub. Sedangkan RS Pelni Petamburan diadukan karena salah satu dokternya tidak melakukan rekaman medis saat almarhumah Adya Vitry Harisusanti dirawat disana.
Pada 30 September 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan malpraktek yang dilayangkan terhadap tiga rumah sakit. Majelis hakim yang diketuai Cicut Sutiarso menilai gugatan malpraktek yang diajukan Indra Syafri Yacub, suami korban yang bernama Adya Vitry Harisusanti terhadap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Pelni Petamburan (Pelni) dan Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI), terlalu prematur. "Sampai diajukannya gugatan, belum dilakukan pemeriksaan ataupun otopsi atas diri pasien tersebut sehingga belum diketahui sebab-sebab kematiannya," kata Sugito, salah satu hakim anggota saat membacakan putusan tersebut di PN Jakarta Pusat, Kamis (30/9). Menurut hakim, penting untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas gugatan perbuatan melawan hukum itu. Penasihat hukum Indra, Erna Ratnaningsih menilai majelis hakim tidak mempertimbangkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang diajukan pihaknya. Selain itu ia menilai dalam gugatan perbuatan hukum, otopsi bukanlah satu-satunya alat bukti. "Tidak ada seorang ahli pun mengatakan otopsi harus dilakukan," katanya. (Tempo Interaktif, 30 September 2004)
3.      Kasus Fellina – Pasien Sudah Kritis Baru Dibawa Ke Rumah Sakit
Pada tanggal 18 Agustus 2004, Keluarga Fellina Azzahra, 16 bulan, melaporkan dokter Rumah Sakit Karya Medika Cibitung ke Polda Metro Jaya terkait malpraktek. Laporan disampaikan oleh orang tua Fellina, Masriah dan Iwan Pahriaman. Kasus ini bermula dari operasi pada bulan Januari lalu untuk mengobati keluhan sakit yang diderita Fellina pada perutnya. Saat itu, menurut Masriah, usus anaknya didiagnosis mengalami tumpang tindih, akibatnya terjadi pembusukan usus sepanjang beberapa cm. Namun, operasi yang dilakukan menyebabkan usus besarnya juga keluar.
Fellina, yang memiliki berat 5,5 kg, tampak sangat kurus dan terus menangis karena kesakitan. Di sekitar perutnya, masih tampak bercak merah, khususnya di sepanjang jahitan. Sementara kantong plastik harus selalu diikatkan ke perutnya untuk menampung sari makanan yang keluar dari ususnya. Ibunya selalu membawa sekitar 10 kantong plastik kecil untuk mengganti setiap kantong plastik yang sudah penuh dengan cairan makanan.
Rumah Sakit (RS) Medika Cibitung membantah melakukan tindakan malpraktek terhadap bocah bernama Fellina Azzahra, 16 bulan. Rumah sakit menganggap keluarga pasien tidak menuruti saran yang dianjurkan. Selain itu, makin parahnya kondisi pasca operasi sehingga usus bocor karena keluarganya tidak rutin memeriksakan ke RS.
Dokter Ottman yang menangani Fellina tetap bersikukuh tindakan penanganan terhadap pasien sudah benar. Operasi yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 2004 sekitar pukul 01.00 wib ketika pasien dalam keadaan darurat. "Dilakukan empat jam setelah pasien masuk," kata dr. Ottman Nasution.
Ottman menjelaskan Fellina dioperasi karena ususnya mengalami pembusukan. Diakui dr. Ottman, saat tindakan operasi, kondisi Fellina kurang sehat. Karena kondisi darurat, medis memutuskan tetap mengoperasi. "Saat itu, kondisi tubuhnya kurang sehat. Kenapa berat badannya cuma 6 kilo untuk bayi sembilan bulan," ungkap Ottman.
Operasi dinyatakan berhasil, beberapa sentimeter ususnya dibuang. Setelah dioperasi dan dijahit, keluarga itu sempat dirawat di RS. Pada 31/1, pasangan suami istri Iwan Pahriwan, 36 tahun dan Masriyah, 30 tahun memutuskan untuk pulang ke rumah karena sudah tidak memiliki biaya untuk bertahan di rumah sakit.
Dokter Ottman menegaskan, persoalannya sebenarnya bukan kesulitan biaya. Rumah sakit menyalahkan keluarga Fellina yang tidak secara rutin seminggu sekali datang ke rumah sakit. "Ini bukan masalah uang. Saya anjurkan dia datang setiap minggu. Kalau enggak bayar enggak apa-apa kok," kata dia. Rumah sakit mengakui memang waktu itu mengenakan uang Rp 12 juta ke keluarga Fellina untuk biaya operasi dan perawatan.
Fellina kemudian dipindahkan ke RSCM. Namun, pada 7 September 2004 Fellina meninggal dunia. Hal yang mengejutkan ialah Fellina dikatakan meninggal dunia karena penyakit campak. Padahal, pada saat dimasukkan ke RSCM tidak ada indikasi penyakit campak tersebut. (Tempo News Room, 7 September 2004) Orangtua Fellina mengakui bahwa anaknya sudah dirawat oleh pihak RSCM selama sekitar 15 hari mulai dari perawatan secara intensif di ruang ICU hingga ke ruang kontrol pasien yang lebih khusus selama menjalani perawatan. Ia juga mengatakan apa yang dilakukan pihak rumah sakit membuat berat anaknya meningkat hingga mencapai 7,5 kilogram dan bisa dilakukan operasi pada ususnya yang terbuka pascaoperasi di rumah sakit Karya Medika Cibitung, Jakarta Timur. Namun pada tanggal 15 September 2004, Ia tetap melaporkan pihak RSCM ke Polda Metro Jaya, karena dianggap melakukan pembiaran sehingga anaknya meninggal di Rumah Sakit tersebut. (Tempo, 15 September 2004)
4.      Kasus Lucy M Sudrajat – Penolakan Pemberian Rekam Medis
Seorang dokter di Rumah Sakit Yayasan Pemeliharaan Kesehatan (YPK) bernama Dwiana Ocviyanti dilaporkan oleh Dody Sudrajat dengan tuduhan telah melakukan kelalaian yang menyebabkan meninggalnya istri Dody, Lucy Maywati Sudrajat yang dioperasi caesar di rumah sakit tersebut. Pasal yang dikenakan adalah pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal. Dalam perkembangannya, Dody kembali melaporkan dr. Dwiana ke polisi dengan  tuduhan telah melakukan penggelapan (Pasal 372 KUHP). Kejadian yang memicunya adalah tidak diberikannya rekam medis (medical record) almarhumah istrinya oleh pihak Rumah Sakit.
Kasus ini diawali pada tanggal 24 April 2003. Saat itu istri Dody yang diperiksa dr. Dwiana dinyatakan harus segera masuk Rumah Sakit YPK. Menurutnya, "Saya tidak diberi pilihan dan tidak tahu fasilitas yang tidak dimiliki rumah sakit tersebut." Selang satu hari, pada 25 April 2003, ia tidak mendapat informasi harus menandatangani konfirmasi bersedia agar istrinya dioperasi caesar. Malah pada 26 April 2003, pukul 7 pagi, empat dokter rumah sakit tersebut langsung mengoperasi istrinya dan putrinya lahir selamat. Namun, saat itu, ia diinformasikan keadaan istrinya gawat dan akhirnya mengalami henti jantung. Ia kemudian diminta untuk membawa istrinya ke rumah Sakit Thamrin; namun disana nyawa istrinya tidak tertolong lagi. (Tempo News Room, 7 Juli 2004)
Kuasa Hukum dr. Dwiana, Retno Murniati, menyatakan pihaknya tidak memberikan rekam medis kepada Dody karena berpegang pada Peraturan Menteri Kesehatan no 749A/ Menkes/ Per/ XII/ 1985 tentang Medical Record dan Surat Edaran Dirjen Pelayanan Medis No 78 tahun 1991 tentang catatan medis pasien. Dalam kedua aturan itu, menurutnya, rekam medik adalah milik rumah sakit. Pasien, katanya, bisa mendapatkan resume rekam medik bila memintanya. "Ini sudah saya katakan kepada kuasa hukum Pak Dody. Lisan dan tertulis," katanya. Resume itu, kata Retno, bisa ditambahkan, bila dirasakan masih ada informasi yang kurang. "Tapi aslinya milik rumah sakit," katanya. Ia sendiri mengatakan tidak memberikan foto kopi rekam medik itu, karena dalam peraturan sudah ditentukan yang bisa diberikan hanyalah resumenya saja. Menurut Retno, rekam medik hanya bisa diberikan bila hakim melalui pengadilan memutuskan harus diberikan kepada pasien. Tetapi, pendapat Retno tersebut dibantah oleh Rahil Jerdena Liputo dari Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan. Menurut Rahil pihak keluarga berhak mengetahui catatan medis tersebut, karena itu sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 585 tahun 1989.
5.      Kasus Ade Irma Effendi – Dugaan Kelalaian Oleh Perawat
RS Siloam Gleaneagles dilaporkan ke polisi oleh Ade Irma Effendy (37). Ade mengatakan bahwa Ia mengalami keguguran setelah ditangani dan diberi obat oleh pihak rumah sakit. Ade menduga, RS Siloam melakukan malpraktik.
Sebagaimana dilaporkan dalam Tempo Interaktif, 1 Juni 2004, kasus ini berawal ketika ibu beranak satu itu memeriksa kandungannya ke dokter Anthonius Heri yang membuka praktek di salah satu apotik di kawasan Bumi Serpong Damai. Saat memeriksa kehamilan keduanya yang berusia 15 minggu, Ade mengeluhkan adanya flek merah pada celana dalam kepada dokter tetap keluarganya itu.
Melihat kondisi Ade yang lemah, Anthonius menyarankannya untuk diperiksa lebih lanjut ke RS Siloam. Saat dilakukan pemeriksaan dengan ultra sonografi di RS Siloam pada 16 April 2004 malam, pihak dokter yang juga terdapat dokter Anthonius itu menyatakan, kandungan korban dalam kondisi baik dan sehat. Tapi, untuk menguatkan kandungan, dokter menawarkan Ade untuk beristirahat di rumah sakit atau di rumah. "Karena tidak ingin terjadi apa-apa, saya memilih dirawat di rumah sakit saja," kata Ade.
Setelah Ade dimasukkan ke ruangan bersalin, salah satu perawat langsung memberi infus. Walau tidak didampingi seorang dokterpun, si perawat mengatakan, infus diberikan berdasarkan saran dokter Anthonius. Sekitar 15 menit kemudian, obat bereaksi dan kandungan Ade mengalami kontraksi. Alhasil, janin bayi dalam kandungan Ade, keluar yang mengakibatkan kelahiran premature (abortus terancam) dan meninggal dunia. Ketika kasus ini ditanyakan kepada tim perawat yang menangani Ade, mereka mengemukakan kepada polisi bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuai dengan perintah dokter, yaitu Anthonius Herri.
Pihak RS Siloam sendiri membantah telah terjadinya malpraktik. "Tidak benar, pihak rumah sakit melakukan mal praktek. Abortus Imenen (aborsi dalam proses) terhadap pasien, dikarenakan kondisi dan situasi pasien yang saat itu memang membutuhkan perawatan intensif. Tidak benar, pasien mengalami keguguran setelah meminum obat yang diberikan dokter. Karena pemberian obat selalu diberikan sesuai dengan petunjuk dokter dan diagnosa juga dilihat dari kondisi pasien," kata Manajer Operasional RS Siloam, Andre.
Hadi Kurniawan Apt
Hadi Kurniawan Apt Just Cool Just Smile