KASUS DAN KODE ETIK SERTA IMPLEMENTASINYA-2
Dalam melakukan tugas dan fungsinya, apotek mengenal
beberapa istilah pelanggaran dalam melakukan
kegiatannya. Jenis pelanggaran apotek dapat dikategorikan dalam dua macam,
berdasarkan berat dan ringannya pelanggaran
tersebut. Kegiatan yang termasuk pelanggaran berat apotek meliputi :
a. Melakukan kegiatan tanpa ada tenaga teknis farmasi. Kegaiatan ini menurut perundangan yang berlaku tidak boleh terjadi dan dilakukan. Karena komoditi dari sebuah apotek, salah satunya adalah obat, dimana obat ini dalam peredarannya di atur dalam perundangan yang berlaku.
b. Terlibat dalam penyaluran atau penyimpangan obat palsu atau gelap. Peredaran gelap yang dimaksud adalah golongan obat dari Narkotika dan Psikotropika.
c. Pindah alamat apotek tanpa izin. Dalam pengajuan untuk mendapatkan izin apotek, telah dicantumkan denah dan lokasi apotek.
d. Menjual narkotika tanpa resep dokter. Ini adalah pelanggaran yang jarang terjadi. Para tenaga teknis farmasi di apotek, biasanya sudah mengetahui apa yang harus mereka perbuat, ketika mengahadapi resep dengan komposisi salah satunya obat narkotika.
e. Kerjasama dengan Pedagang Besar Farmasi (PBF) dalam menyalurkan obat kepada pihak yang tidak berhak dalam jumlah besar. Selain dari merusak pasar, kegaiatan seperti ini akan mengacaukan sistem peredaran obat baik di apotek, distrbutor, maupun pabrik. Akibat yang mungkin ditimbulkan adalah kesulitan konsumen untuk memilih obat mana yang baik dan benar karena banyaknya obat yang beredar.
f. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping atau Apoteker Pengganti pada waktu Apoteker Pengelelola Apotek (APA) keluar daerah.
Kegiatan yang termasuk pelanggaran ringan apotek meliputi:
a. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping pada waktu Apoteker Pengelelola Apotek (APA) tidak bisa hadir pada jam buka apotek.
b. Mengubah denah apotek tanpa izin. Tidak ada pemberitahuan kepada suku dinas kesehatan setempat.
c. Menjual obat daftar G kepada yang tidak berhak. Obat dengan daftar G yang dimaksud adalah daftar obat keras.
d. Melayani resep yang tidak jelas dokternya. Nama, Surat Izin Kerja (SIK) dan alamat praktek dokter yang tidak terlihat jelas di bagian kepala resep. Jika resep semacam ini dilayani, maka ini termasuk suatu tindakan pelanggaran.
e. Menyimpan obat rusak, tidak mempunyai penandaan atau belum dimusnahkan. Termasuk obat yang di kategorikan expired date atau daluarsa. Obat-obatan diatas tidak berhak sebuah apotek menyimpan dan mendistribusikannya ke pasien.
f. Obat dalam kartu stok tidak sesuai dengan jumlah yang ada. Pelanggaran administratif ini sering kali terjadi di sebuah apotek dengan sistim manual. Sistim komputerisasi adalah solusi terbaik untuk mengatisipasi hal ini.
g. Salinan resep yang tidak ditandatangani oleh Apoteker. Sebagai penanggung jawab teknis, apoteker wajib menandatangani salinan resep dari resep asli, untuk dapat memonitor sejauh mana pemakaian dan obat apa saja yang dimasukkan dalam salinan resep.
h. Melayani salinan resep narkotika dari apotek lain. Dalam peraturan narkotika, resep yang berasal dari apotek lain dengan permintaan sejumlah obat narkotika kepada apotek yang kita pimpin adalah boleh dilakukan. Syarat yang harus dipenuhinya adalah berupa surat keterangan dari apoteker pengelola apotek tersebut bahwa akan mempergunakan obat narkotika untuk keperluan stok dan resep serta sifatnya adalah cito atau butuh cepat.
i. Lemari narkotika tidak memenuhi syarat. Penyimpanan narkotika yang diatur dalam Undang-Undang no 5 tahun 2009, adalah dengan menyimpan sediaan dalam lemari terkunci, terpisah dengan obat keras lainnya, dst.
j. Resep narkotika tidak dipisahkan. Prosedur standar yang harus beberapa apotek dan tenaga kefarmasian sudah ketahui. Salah satu kegunaan pemisahaan resep obat ini adalah mempermudah kita dalam membuat Laporan Narkotika.
k. Buku narkotika tidak diisi atau tidak bisa dilihat atau diperiksa. Hal teknis seperti sudah harus dapat dihindari dan diperbaiki. Karena jika hal ini terjadi, maka akan mempersulit administrasi dari apotek tersebut dalam pengelolaan apotek.
l. Tidak mempunyai atau mengisi kartu stok hingga tidak dapat diketahui dengan jelas asal usul obat tersebut.
Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes No. 922/ MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah:
a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing – masing dua bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.
c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.
Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran terhadap :
a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
KOMPILASI KASUS RUMAH SAKIT
Kompilasi Kasus Terkait Pelayanan Rumah
Sakit:
Sebuah Bahan Renungan Untuk Reformasi
Pelayanan Rumah Saki
Oleh: Brian A. Prastyo
A.
Latar Belakang
Kesehatan adalah hal
yang sangat penting bagi setiap manusia. Apabila kesehatan seseorang terganggu,
maka produktifitasnya pun akan terganggu. Ia tidak akan dapat melakukan
pekerjaan atau rutinitasnya secara optimal. Gangguan terhadap kesehatan bahkan
dapat menyebabkan seseorang menjadi cacat, kehilangan kemampuan organ tubuhnya,
atau yang paling ekstrem menyebabkan kematian. Dampak dari gangguan kesehatan
tidak hanya dirasakan oleh individu yang bersangkutan, tetapi juga oleh
lingkungan sosial yang bersangkutan. Dampak tersebut minimal dirasakan oleh
keluarganya, rekan sekolahnya, atau rekan kerjanya. Apabila penyakit yang
menyebabkan gangguan kesehatan tersebut termasuk penyakit menular dan
berbahaya, maka dampaknya bisa lebih luas lagi. Mengingat begitu pentingnya
arti kesehatan tersebut bagi manusia, maka pada umumnya setiap orang akan
melakukan segala daya upaya untuk memperoleh kesembuhan jika mereka mengalami
gangguan kesehatan.
Rumah Sakit adalah salah
satu lembaga yang akan didatangi oleh orang yang mengalami gangguan kesehatan
untuk memperoleh kesembuhan. Terhadap beberapa jenis gangguan kesehatan tertentu,
orang yang bersangkutan bahkan wajib menjalani perawatan di Rumah Sakit. Hal
itu dikarenakan alat yang diperlukan dan prosedur penyembuhan untuk gangguan
kesehatan tersebut hanya terselenggara di Rumah Sakit. Namun, satu hal yang
penting untuk dicatat; hubungan yang terjalin antara Rumah Sakit dengan orang
yang mengalami gangguan kesehatan (selanjutnya disebut Pasien) tersebut adalah
suatu hubungan yang tidak murni bersifat kemanusiaan, melainkan ada aspek
bisnisnya.
Rumah Sakit dalam hal
ini merupakan pelaku usaha, yang oleh karena itu memiliki misi mencari
keuntungan ekonomis dari kegiatannya. Sedangkan, di sisi lain Pasien adalah
konsumen yang membeli jasa kesehatan dari pihak Rumah Sakit. Dalam
perkembangannya kegiatan bisnis yang dilakukan oleh Rumah Sakit ternyata telah
melahirkan berbagai permasalahan penting yang perlu dicermati secara seksama;
di antaranya tindakan Rumah Sakit yang menolak untuk merawat pasien miskin,
Rumah Sakit menahan Pasien yang belum membayar biaya perawatan, Rumah Sakit
tetap menagihkan biaya perawatan kepada Pasien yang miskin, dan berbagai kasus
kesalahan pelayanan medik atau yang umum dikenal dengan istilah malpraktik.
Berbagai permasalahan
itu penting untuk dicermati agar dapat dirumuskan solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Solusi tersebut dimaksudkan agar Rumah Sakit dapat secara optimal menjadi
lembaga yang melayani masyarakat dan tidak semata-mata menjadi mesin pengeruk
keuntungan yang hanya melayani kepentingan pemegang saham Rumah Sakit tersebut.
B.
Kasus Penolakan Pasien Miskin
Dalam Pasal 28H ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan Kedua) disebutkan bahwa, “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.” Dengan menggunakan penafsiran acontrario dapatlah
dikatakan bahwa siapapun tidak boleh menghalangi seseorang untuk, dalam konteks
ini, memperoleh pelayanan kesehatan. Namun pada kenyataannya, beberapa Rumah
Sakit masih ada yang menolak untuk merawat Pasien miskin. Kasus tersebut
selengkapnya akan dipaparkan di bawah ini.
Muhammad Zulfikri
(selanjutnya disebut Zul) merupakan putra sulung pasangan Husein-Lailasari yang
tinggal di Kelurahan Makasar, Jakarta Timur, yang lahir pada hari Rabu, 13 Juli
2005. Bayi itu lahir prematur dengan berat 1,4 kg lewat pertolongan dukun
beranak. Pada tanggal 21 Juli 2005, Zul terkena penyakit kuning setelah dibawa
mengungsi karena rumah kontrakan Husein-Lailasari kebanjiran. Pukul 09.00 WIB,
Husein-Laila membawa Zul ke puskesmas. Dari puskesmas, mereka membawa Zul ke
RSUD Budhi Asih, RSCM, RSPAD Gatot Subroto, RSAL Mintoharjo, RSAB Harapan
Kita, dan RS UKI. Keenam RS ini menolak. Baru pukul 20.00 (11 Jam kemudian),
Zul diterima di RS Harapan Bunda di Pasar Rebo.
RS Budhi Asih, Cawang
menolak merawat dengan alasan berat Zulfikri hanya 1,4 kg. Ia lalu dibawa ke
RSCM; yang menolak dengan alasan tidak memiliki peralatan untuk merawat
Zulfikri. Alasan yang sama juga dikemukakan RSAL Mintoharjo dan RS UKI.
Sementara RSPAD Gatot Subroto menolak dengan alasan ruangan/inkubator sudah
penuh; namun sebelumnya pihak RS sempat menanyakan apakah orang tua Zulfikri
sanggup membayar biaya perawatan Rp 700.000 sehari. RSBA Harapan Kita juga
menolak dengan alasan tidak jelas. (Kompas, 28 Juli 2005) Namun setelah dirawat
di Rumah Sakit Harapan Bunda, kondisi Zul berangsur-angsur membaik. (Kompas, 31
Juli 2005)
RS Harapan Bunda
sebenarnya meminta uang sebesar Rp 1 juta untuk perawatan Zul secara khusus.
Namun, karena tidak punya uang, petugas meminta orantua Zul untuk mengusahakan
uang Rp 500.000. Husein lantas mengandalkan Sri Mulya, kakak kandungnya, agar
mencarikan pinjaman. Pada Pukul 23.00 WIB, kakaknya Husein datang membawa uang
Rp 250.000, yang langsung diserahkan kepada perawat untuk keperluan obat.
(Warta Kota, 25 Agustus 2005)
Ironisnya Menteri
Kesehatan Siti Fadillah Supari menyatakan bahwa sanksi terhadap Rumah Sakit
yang menolak Pasien miskin belum dapat diberikan. Alasannya ialah belum ada
dasar hukumnya. (Media Indonesia, 4 Agustus 2005) Mahlil Ruby, Peneliti pada
Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijkan Kesehatan FKM UI, berbeda pendapat dengan
Menteri Kesehatan. Ia memandang bahwa penolakan Zulfikri oleh RS publik telah
melanggar Pasal 34 Ayat (1) dan 28-H Ayat (1) UUD 1945. Ia juga berpendapat
bahwa penolakan tersebut dikarenakan RS publik sangat sudah berorientasi
ekonomi; yaitu karena pelayanan pasien miskin tidak banyak menambah insentif
tenaga kesehatan dan pemasukan kas Rumah Sakit, maka Zulfikri ditolak. (Mahlil
Ruby, Rumah Sakit Publik Mulai Miskin Moral, Kompas).
C.
Kasus Penahanan Pasien
Pada medio September
2004, Rumah Sakit Siloam Gleneagles Karawaci Tangerang dilaporkan ke Polisi
oleh seorang anggota keluarga Pasiennya dengan tuduhan telah melakukan
penyanderaan Pasien. Berikut ini adalah gambaran dari kasus ini yang dicuplik
dari berita yang dimuat di Tempo Interaktif, 16 September 2004.
Menurut Jessy Quantero,
Direktur Utama Healt Care selaku pengelola RS Siloam, pasien bernama Leonardus,
53 tahun, memang merupakan pasien yang sudah lama dirawat di rumah sakit itu.
"Pasien itu memang pasien nakal dan tidak punya etikat baik," kata
Jessy kepada Tempo.
Leonardus, kata Jessy,
mulai masuk dan dirawat di RS Siloam sejak 16 Agustus 2004 dengan kondisi cukup
parah, karena sudah banyak komplikasi. Pihak rumah sakit pun sudah meminta
komitmen pasien seputar kesanggupan membayar biaya pengobatan, karena pihak
tempat Leonardus bekerja tidak mau menanggung biaya pengobatan Leonardus.
"Pasien menyatakan sanggup untuk membayar sendiri, dan kami menjalankan
kewajiban untuk merawatnya," kata Jessy.
Alhasil, kondisi
Leonardus membaik, dan Leonardus berencana pulang. Tapi ketika pihak rumah
sakit menagih biaya pengobatan, Leonardus justru mengaku disandera rumah sakit.
"Mahalnya biaya perawatan selama sebulan dan operasi yang harus dibayar,
membuat Leonardus kalap dan takut. Ia tidak bisa pulang sebelum menyelesaikan
semua Administrasi sebesar Rp. 45 Juta," kata Jessy.
Menurut Jessy, pihaknya
sudah mendahulukan nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak menagih secara rutin
semua biaya dan mendahulukan pengobatan. Tapi kemudian, nyonya Leni -isteri
Leonardus- melaporkan RS Siloam ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, karena
suaminya disandera rumah sakit itu. "Walau Leonardus sudah membuat kami malu,
kami tetap akan menyelesaikan masalah ini dengan cara baik-baik," kata
Jessy.
Sebelum dilaporkan ke
kepolisian, kata Jessy, pihaknya sudah mendapatkan kesepakatan dengan
Leonardus: Leonardus akan membayar tagihan dengan mencicil Rp. 3 juta per
bulan. "Tapi ketika ditangani LBH Kesehatan, kesepakatan itu langsung
berubah dengan tawaran mencicil Rp. 100 ribu per bulan," kata Jessy lagi.
D.
Kasus Penagihan Biaya Terhadap Pasien Miskin
Sebagai kompensasi atas
pengurangan subsidi BBM, pemerintah memperkenalkan program penggratisan biaya
pengobatan untuk Pasien miskin. Namun pada kenyataannya pelayanan kesehatan
gratis kepada masyarakat miskin sepenuhnya belum terlaksana dengan baik, bahkan
cenderung cuma dalam tataran konsep. (Media Indonesia, 30 Juli 2005). Berita
yang dimuat di harian Suara Merdeka pada hari Rabu, 14 September 2005 menjadi
bukti mengenai hal tersebut.
Berita tersebut
mempublikasikan pengalaman Subarjo (55), warga Bantul, pemegang kartu sehat,
berobat ke Rumah Sakit Wirosaban, Yogyakarta. Meski sudah menunjukkan kartu
untuk keluarga miskin, dia tetap dikenai biaya Rp 240.000. Karena takut,
Subarjo langsung membayar sesuai dengan biaya yang diminta petugas rumah sakit.
Namun Subarjo masih beruntung, karena dalam waktu bersamaan Menteri Kesehatan
Siti Fadillah Supari mengetahui peristiwa tersebut. Saat itu juga Menkes
langsung meminta petugas rumah sakit untuk segera mengembalikan uang pasien
itu. Setelah dimarahi Menkes, petugas pun mengembalikan uang berobat Rp 240.000
kepada Subarjo. Sementara itu, petugas pelayanan rumah sakit mengungkapkan,
Subarjo tetap dipungut biaya, walaupun memegang kartu sehat karena obat yang
ada dalam resep tidak termasuk dalam daftar obat kerja sama pemerintah dengan
PT Askes. ''Ada dalam daftar atau tidak, pemegang kartu sehat harus mendapat
pelayanan gratis,'' kata Menkes.
Bukti bahwa program
penggratisan biaya tersebut belum berjalan dengan baik juga terdapat dalam
berita yang dimuat di Gatra pada 2 Januari 2006. Dalam berita itu dikatakan
bahwa Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, saat mengunjungi RSUD M. Yunus
Bengkulu mengungkapkan kekecewaannya, karena mengetahui banyak pasien miskin di
kelas III masih dibebani biaya obat-obatan. "Ini sudah tidak benar,
protapnya kan sudah jelas bahwa pasien miskin di kelas III harus gratis. Mana
petugas Askes tolong dijelaskan kenapa pasien masih membayar," kata Menkes
kepada dokter-dokter dari RSUD, anggota Komisi IX DPR-RI serta pejabat Depkes
RI.
Dari empat orang pasien
miskin di kelas III RS itu, seluruhnya mengaku sudah mengeluarkan biaya untuk
menebus obat-obatan. Ny. Febi, orang tua dari Gozi (2,5) yang menderita demam
typoid, mengaku sudah membayar sampai Rp600 ribu untuk obat-obatan, begitu juga
dengan Ny. Fatimah (65) penderita muntaber sudah membayar Rp500 ribu. Menkes
yang ketika itu didampingi Dirut Askes Dr Ori Sundari, dengan suara keras
meminta agar semua biaya yang dikeluarkan pasien miskin dikembalikan saat itu
juga. Kepada Direktur RSUD M. Yunus Dr Syarifuddin, ia minta agar jangan ada
lagi pembayaran seperserpun yang dibebankan kepada pasien miskin. Syarifuddin
menegaskan, kalaupun pasien miskin membayar, nantinya dibebankan ke APBD. Namun
Menkes dengan suara keras menyatakan, tidak dibenarkan pasien miskin membayar
meski akhirnya diganti, karena setiap biaya pengobatan pasien miskin sudah
dibayar negara dan ditagih melalui Askes.
Anak Ny. Fatimah pasien
muntaber yang dirawat, Suplin menyatakan dalam membayar obat-obatan kepada
pihak rumah sakit, ia tidak diberi tanda bukti ataupun kwitansi. Menkes bahkan
mengkhawatirkan obat-obatan untuk pasien miskin harus ditebus sendiri tapi oleh
pihak rumah sakit dimintakan ke Askes seolah-olah obat sudah diberikan secara
gratis. Menkes menegaskan, RS harus memberikan perawatan optimal kepada pasien
miskin, sama halnya dengan pasien di kelas maupun VIP. Pasien miskin sudah
dibayar oleh negara dan pihak RS menagih ke Askes, bahkan menurut Menkes, ada
satu rumah sakit yang tagihan Askesnya sampai Rp100 miliar. Pihak rumah sakit
jangan memandang pasien mikin sebagai beban, bahkan seharusnya mereka
berlomba-lomba merawat pasien miskin, karena segala perawatan dan obat-obatan
diganti negara, bahkan jasa dokter juga dibayar. "Sangat keterlaluan kalau
pihak rumah sakit masih membeda-bedakan pasien dari keluarga miskin. Pasien
miskin harus gratis dan dirawat dengan baik dan saya tidak bisa terima dengan dalih
apapun kalau ada pasien yang diabaikan," ujarnya. Dalam kunjungan ke RSUD
M. Yunus, Menkes menemui sekitar 10 pasien miskin dan menanyakan perawatan yang
diterima serta biaya perawatan. Sebagian penjelasan dari dokter ditanyakan lagi
ke pasien dan ada pernyataan dokter yang faktanya tidak sama dengan yang
dialami pasien.
E.
Kasus-Kasus Malpraktek
1.
Kasus Agian – Permohonan Euthanasia
Pertama di Indonesia
Pemberitaan mengenai
kasus ini diawali pada tanggal 29 Agustus 2004. Saat itu, detik.com dalam judul
beritanya menyebutkan, ”Ny. Agian, Korban Malpraktik Masih Tergeletak Lemas.”
Berdasarkan keterangan dari suami Ny. Agian yang bernama Panca Satriya Hasan
Kusumo yang dimuat detik.com pada 3 September 2004, awal mula kasus ini adalah
sebagai berikut.
” Awalnya tak ada
tanda-tanda yang mencurigakan dari kehamilan istri saya ini. Setiap bulan istri
saya memeriksakan kehamilan ke dokter Gunawan Muhamad, ahli kandungan. Selama
sekian bulan rutin diperiksa dokter Gunawan, ia diberikan beberapa macam obat
untuk kesehatan ibu dan anak. Tidak pernah ada gejala atau tanda-tanda
keracunan. Setelah kehamilan memasuki bulan ke-34, ia (Ny. Again) kembali
diperiksa. Hasil USG muncul kecurigaan dan keraguan dalam diagnosa terhadap kondisi
janin dengan alasan monitor terlalu kecil. Oleh dokter, istri saya disarankan
melakukan pemeriksaan di Jakarta yang lebih lengkap. Terus kami bawa ke RS
Harapan Kita, hasilnya tidak ada kelainan pada janin, kecuali tampak acitest
pada ibu dan letak bayi sungsang. Rekomendasinya agar segera dilakukan operasi
caesar. Kemudian tanggal 20 Juli dilakukan operasi caesar di RSI Bogor. Operasi
berjalan selamat, karena kondisi kesehatan bayi kurang, maka oleh pihak RSI
bayi dirujuk di RS PMI Bogor untuk perawatan inkubator. Sedangkan istri saya
normal, tak ada masalah bahkan komunikasi berjalan dengan baik dan malam itu
dibawa ke Rumah Bersalin Yuliana untuk rawat inap. Keesokan harinya, saya
diberitahu oleh pihak Rumah Bersalin Yuliana, bahwa istri saya tekanan darah
naik, dan langsung dibawa ke RSI Bogor tanpa persetujuan saya. Saya diminta
langsung ke RSI. Sampai di sana istri saya sudah ditangani tim dokter, beberapa
saat kemudian pihak RS memberikan satu resep untuk ditebus, untuk menurunkan
tekanan darah. Dan hasilnya setelah resep saya tebus, beberapa saat dari situ
saya tanya perkembangan lagi. Darahnya ternyata terlalu drop, 120/80. Wah
terlalu rendah, pihak rumah sakit meminta saya menebus resep lagi. Saya tebus
resep di rumah sakit itu. Saya tunggu beberapa saat. Pas ditensi, saya masuk,
ternyata jadi 190/140. Dokter bilang pak ini ketinggian, bapak harus
beli lagi namanya dupamin cair. Dua ampul plus pengantar untuk membeli darah
dua kantong. Malam itu juga jam 12 saya berikan, tanggal 21 Juli itu,
saya berikan 2 ampul dupamin dan dua ampul kantong
darah. Saya menunggu lagi di luar, karena tak boleh di dalam. Sekitar
setengah satu saya dipanggil masuk ruangan dengan buru-buru, Pak-pak
cepet-cepet. Pas saya masuk kedapatan istri saya nampak seperti sudah mati.
Saya shock, mereka panik. Saya lihat mereka panik, dengan napas
bantuan. Saya lihat kantong darah sudah kosong satu dan infus dupamin
itu. Setelah itu, saya lihat kira-kira 10 menit tanpa nadi dan napas.
Tensi nol. Setelah kantong darah kedua dan dupamin diperas, kira-kira sepuluh
menit muncul nadi dan napas. Pas ditensi, tensinya 60/40. Dari situlah
dilanjutkan sampai kantong darah dan dupamin habis. Sampai kira-kira tinggal
seperempat, ditensi, tensinya tidak terkendali. 60, 90, 150., 180 terus sampai
250/210. Ya setelah selesai, di situlah akhir dari tindakan itu. Kemudian istri
saya diamkan dari jam 2 siang, katanya mau dirujuk ke ICU. Baru pada jam 8
malam, baru dapat ruang ICU di rumah sakit PMI Bogor. Setelah masuk PMI,
kemudian di ICU 8 hari dan dirawat inap sampai 38 hari. Baru dapat kepastian
tanggal 11 Agustus kalau perlu tindakan lanjutan. Kemudian saya membawa istri
saya ke RS Pertamina untuk MRI, karena beberapa hari itu kondisinya spatik.
Ternyata PMI membiarkan saja. Hanya melakukan pijat-pijat saja. Setelah saya
bawa ke RS Pertamina, baru pasti ada kerusakan otak, kanan kiri, otak kecil
kanan dan kiri, serta kerusakan pusat saraf otak yang permanen.”
Pada 7 September 2004,
diberitakan bahwa Ny. Agian Isnauli tidak hanya melaporkan dr Gunawan dari RS
Islam Budi Agung ke Polda Jawa Barat dengan tuduhan telah melakukan malpraktik
saja. Tetapi, ia rencananya akan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri
(PN) Bogor.
Pada 17 September 2004,
Hasan beraudiensi dengan anggota DPRD Kota Bogor. Saat itu ia menyampaikan
bahwa ia sudah mengeluarkan uang Rp. 60 Juta untuk membiayai pengobatan
istrinya dan masih berhutang Rp. 17 Juta lagi ke RS PMI Bogor. Ia mengatakan
bahwa tidak memiliki uang lagi untuk membiayai pengobatan istrinya, karena itu
ia memohon agar istrinya disuntik mati saja (euthanasia). Pada 27
September 2004, Menteri Kesehatan A. Suyudi mengatakan bahwa euthanasia dilarang
di Indonesia. Diwawancarai pada hari yang sama, Hasan mengatakan bahwa apabila
pemerintah melarang euthanasia, maka dia minta pemerintah ikut
menanggung biaya pengobatan istrinya, karena Ia merasa tidak mampu lagi
menyediakan dana untuk pengobatan istrinya. Polemik seputar permohonan euthanasia ini
mengundang komentar dari dr Marius Widjajarta dari Yayasan Konsumen Kesehatan
Indonesia. Menurutnya, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk
kategori euthanasia pasif. Lebih lanjut Ia mengatakan, " Kalau orang yang
tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah
merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun
penjara."
Ternyata, pada 22
Oktober 2004 Hasan secara formal mengajukan permohonan euthanasia terhadap
istrinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada hari itu juga Hasan meminta
penetapan euthanasia kepada Menteri Kesehatan. Namun untuk
berjaga-jaga sekiranya Menteri Kesehatan menolak permohonan tersebut, Hasan
juga menyerahkan surat kepada Menteri Kesehatan yang berisi permohonan
keringanan biaya perawatan untuk istrinya.
Pada 26 Oktober 2004,
Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk Ny. Agian di RSCM. Ia
mengatakan,”untuk selanjutnya, biaya perawatan dan pengobatan Ny Agian akan
kita tanggung. Mudah-mudahan gratis, kita akan bantu seluruh biaya."
Namun, pada 10 November 2004 Hasan malah melaporkan Menteri Kesehatan ke
polisi. Ia mengatakan "Waktu kunjungannya, menkes menjanjikan akan mengcover biaya
perawatan istri saya. Tapi nyatanya tagihan baru terus berdatangan. Tagihan
yang saya bawa ini saja sudah menghabiskan biaya sekitar Rp 20 juta. Bahkan ada
obat-obatan yang belum saya tebus."
Pada tanggal 6 Januari
2005 terjadi kejadian yang luar biasa. Ny. Agian yang berbulan-bulan koma telah
sadar kembali. Ny Agian telah bisa meninggalkan tempat tidurnya dan melihat
pemandangan dengan naik kursi roda; tentu saja masih dengan bantuan kerabatnya.
Dia juga sudah bisa mengunyah karedok (makanan Sunda, sejenis
gado-gado) dan sudah bisa berbicara. Menurut, Iskandar, kuasa hukumnya dari LBH
Kesehatan, kondisi Agian membaik setelah mendapatkan berbagai pengobatan
alternatif dari Manado, Sumut, Jabar hingga NTB. Jenis pengobatan alternatif itu
misalnya pemijitan sistem refleksi dan dengan bau-bauan. Menurut Iskandar
pengobatan tradisional ini merupakan upaya keluarga. "Tapi dokter tidak
melarang," tandas Iskandar. Keluarga juga memberikan terapi
memperdengarkan lagu-lagu nostalgia kepada Agian. "Ny Agian jadi ingat
anaknya dan ingat pergaulannya dulu. Keluarga terus melakukan aneka
terapi," kata Iskandar.
Pada 6 Januari 2005, Ny.
Agian dapat melakukan aktifitas yang luar biasa. Ia dapat membaca surat Al
Fatihah hingga selesai dan menyanyi lagu dangdut Goyang Dombret. Yanti, Perawat
yang sehari-hari merawat Ny. Agian menceritakan, "Kira-kira seminggu
sebelum lebaran (November 2004), Ny Agian sudah menunjukkan keadaan yang baik.
Secara berangsur-angsur pulih dari tempat tidur duduk bersandar, duduk
berjuntai, dan sekarang sudah kuat menopang lehernya." Dr M Imam, dokter
jaga di Stroke Unit RSCM menambahkan, Ny Agian sudah mulai progesif.
"Sudah sekitar 1 bulan terakhir ini. Dia sudah bisa berkomunikasi dan
menerima rangsang-rangsang dari luar," kata Imam. Sedangkan ahli gizi
Stroke Unit RSCM, Utih Arupah SKM, menyatakan, biaya makan per hari Agian
mencapai Rp 100 ribu. Setiap hari Ny. Agian diberi susu peptamin ensure, 6 buah
putih telor, sari buah, dan makan hapermuth 3 kali sehari. "Untuk kembali sembuh,
Ny Agian membutuhkan gizi yang prima. Karena itu ongkos makanannya pun mencapai
Rp 100 ribu per hari," katanya. "Pasien VIP biasanya nggak lebih dari
segitu (Rp 100 ribu). Tapi ini kita beri yang terbaik agar kondisinya semakin
membaik," demikian menurut Utih. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia, Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek pada tanggal 7 Januari 2005
berkomentar bahwa apa yang terjadi pada Ny. Agian yang telah sadar dari koma
panjangnya adalah suatu mukjizat.
Pada tanggal 6 Januari
2005 itu pula Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk Ny. Agian
kembali. Pada saat itu Ia mengatakan, "Tolong diberitakan ya! Orang yang
sudah hidup begini masa mau disuntik mati. Ini bagi kaum perempuan sangat
menyakitkan. LSM yang peduli perempuan diam saja.” Hasan saat itu tidak berada
di tempat, karena sedang menjadi relawan penolong korban tsunami di Aceh.
Ketiadaan Hasan membuat berbagai isu yang menjurus fitnah beredar. Salah
satunya ialah isu yang mengatakan bahwa kepergian Hasan ke Aceh ialah untuk
menghindari kebencian Ny. Again. Tetapi Ninda, aktivis LBH Kesehatan yang
intens mendampingi Ny. Again, pada 7 Januari 2005 membantah isu tersebut. Pada
9 Januari 2005, Ninda memberitahu bahwa Ny. Agian terus menerus memanggil nama
Hasan. Hal mana membuktikan bahwa Ny. Agian justru rindu pada suaminya,
bukannya membencinya.
Setelah pulang dari
Aceh, Hasan kembali membuat berita. Pada tanggal 11 Januari 2005 ia mengumumkan
pada pers bahwa ia akan melaporkan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari ke
Mabes Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik. Ia merasa difitnah Menkes yang
menuduhnya lari dari tanggung jawab menjaga istrinya yang sedang sakit di RSCM
Agian Isna Nauli. Hasan menuturkan, berdasarkan pengakuan dua orang wanita dari
LBH kesehatan yang menemani Agian saat Menkes datang, Menkes menunjuk kedua
wanita itu dan menuduh mereka hanya mencari keuntungan belaka dari sakitnya
Agian.
"Itu fitnah. 'Adik-adik' dari LBH Kesehatan itu justru yang selama ini telah membantu saya. Saya sangat keberatan dengan itu," demikian kata Hasan.
"Itu fitnah. 'Adik-adik' dari LBH Kesehatan itu justru yang selama ini telah membantu saya. Saya sangat keberatan dengan itu," demikian kata Hasan.
Pada 5 Februari 2005
diberitakan bahwa kondisi kesehatan Ny. Agian semakin membaik, bahkan tangan
dan kakinya sudah bisa digerakan. Ny. Agian bahkan sudah bisa menebar senyum
dan mengenali siapa saja yang mengajaknya bicara. Mungkin karena dianggap
kondisinya sudah membaik, maka pada tanggal 7 Februari 2005, pihak RSCM
memindahkan Ny. Agian ke bangsal kelas III. Sebelumnya Ny. Agian dirawat di
ruang khusus stroke Soepardjo Roestam RSCM. Menurut keluarga dan LBH Kesehatan yang
mendampingi Ny. Agian, pemindahan dilakukan dengan paksa dikawal aparat
kepolisian. Menurut Ninda, dari LBH Kesehatan, pemindahan Ny Agian ini
dilakukan secara mendadak. Pihak keluarga sempat menentang pemindahan ini.
Apalagi, saat itu suhu badan Ny Agian panas dan demam. Ninda menyatakan, alasan
para perawat di ruang Soepardjo Roestam memindahkan Agian, karena Agian dinilai
sudah tidak perlu perawatan secara medis lagi dan hanya butuh terapi saja.
"Saat dipindahkan, sejumlah anggota polisi mengawal dan bahkan mereka
berjaga di depan bangsal ini sampai Sabtu kemarin," jelasnya.
Dibandingkan saat
dirawat di ruang khusus perawatan Soepardjo Roestam, kualitas perawatan di
bangsal kelas III jauh berbeda. Ny Agian kini dikumpulkan bersama dengan 30
pasien lainnya di bangsal itu. Dulu, Ny Agian berada di Ruang Soepardjo Roestam
seorang diri. Di bangsal ini juga tidak tampak ada peralatan medis semewah di
ruang Soepardjo Roestam.
Rencananya, kata Ninda,
sebagai bentuk tidak terimanya keluarga atas pemindahan Ny Agian ini, minggu
ini pihak keluarga akan memindahkan Ny Agian ke luar negeri. Pihak keluarga dan
LBH Kesehatan juga menilai, RSCM sudah tidak serius lagi merawat Agian. Ini
terihat, dari tindakan para perawat yang kurang respek terhadap Agian.
"Memang, rencananya
Bang Hasan (suami Agian) akan membawa Mami ke RS di Luar Negeri minggu ini.
Karena di sini dinilai sudah tidak serius. Tapi, fixed atau
tidaknya dipindahkan ke luar negeri, saya belum tahu," jelasnya.
Sebelumnya, memang RSCM meminta kepada keluarga untuk merawat Ny Agian di
rumah, karena kondisi Agian sudah membaik. Namun, saat itu Hasan mengaku belum
siap. Seiring dengan kepindahan Ny Agian ke bangsal kelas III, wartawan
juga tidak diperbolehkan oleh perawat untuk menengok atau mewawancarainya. Bila
ingin melihat kondisi Ny. Agian, wartawan harus mendapat izin tertulis dari
RSCM.
Berita terakhir yang
terkait dengan kasus ini dimuat di detik.com pada tanggal 20 Februari
2005. Dalam berita tersebut dikatakan bahwa untuk pemulihan kesehatannya Ny Agian
Isna Nauli akan diberangkatkan ke Kuba. Namun, karena masalah biaya yang
mencapai sekitar US$ 5.000, hal tersebut belum bisa dilakukan. Ketua LBH
Kesehatan Iskandar Sitorus mengatakan bahwa awalnya ada tiga negara yang akan
dituju untuk pemulihan kesehatan Ny Agian. Negara-negara tersebut adalah Kuba,
Belanda dan Vatikan. "Tapi di antara tiga negara tersebut yang lebih
responsif adalah Kuba," katanya. Menurut Sitorus, Ny Agian segera di
berangkatkan ke Kuba jika uang tersebut terkumpul. "Tapi, sampai saat ini
kami masih mencari donatur untuk biayanya karena sampai saat ini belum
ada," ungkapnya.
2. Kasus
Adya – Gugatan Ditolak Hakim Karena Tidak Ada Otopsi
Kasus ini berawal ketika
Adya Vitry Harisusanti mengalami muntah darah 20 Oktober 2002. Ia kemudian
dibawa ke RS Azra Bogor dan sempat diopname. Pasien ini kemudian diperbolehkan
pulang keesokkan harinya. Tak lama kemudian, pasien ini kembali mengeluh sakit
di bagian kandungannya dan dibawa ke RS Sukoyo. Ia divonis menderita kista
bagian di kanan dan kiri kandungannya setelah melalui pemeriksaan USG dan
kemudian dirujuk ke RS PMI Bogor.
Adya lalu masuk RS PMI
Bogor pada 10 November 2002 dan mendapat tindakan medis yang dianggap
membingungkan karena tidak adanya informasi yang jelas. Pasien ini diberikan
transfusi darah 300 cc padahal hasil lab menunjukkan kadar hemoglobin (HB)-nya
masih normal. Dokter juga me-rontgen di bagian dada, padahal menurut penggugat,
istrinya menderita sakit dibagian perut.
RS PMI, menurut Indra,
juga dinilai telah melakukan kelalaian medis yang merugikan kondisi pasien.
Pasien harus menunggu 1,5 jam dari jadual yang seharusnya dan tanpa alasan yang
jelas operasi kista itu akhirnya batal dilakukan, pada 14 November 2002 karena
dokter tak datang. "Tidak jadinya pelaksanaan operasi ini berakibat fatal
pada kondisi fisik dan mental yang memperparah dan penyakit almarhum,"
kata Erna Ratnaningsih, penasehat hukum penggugat.
Selama 14 hari tanpa
penjelasan yang memadai mengenai kondisi istrinya, Indra kemudian
memindahkannya ke RS Pelni Petamburan. Adya kembali ditransfusi darah 500 cc.
Namun hingga dirawat di rumah sakit tersebut, dokter ternyata belum mampu
menghentikan pendarahan terus menerus yang diderita pasien itu.
Pemeriksaan di bagian
kandungan juga menurut penggugat tidak dilakukan secara pantas dan melanggar
etika kedokteran. Menurut Indra, dokter langsung memvonis istrinya terkena
tumor miom (myoma) tanpa pemeriksaan lebih jauh seperti USG. Istrinya yang
tanpa ditemani itu, menurutnya sangat ketakutan dan menderita depresi luar
biasa. Setelah pemeriksaan USG ternyata tidak ditemukannya pendarahan di bagian
kandungan dan tumor.
Karena tidak puas, Indra
lalu meminta rujukan ke RSCM. Adya kemudian dirawat di RSCM pada 17 Desember
2002. Ia diminta menceritakan seluruh tindakan medis yang pernah dilakukan
sebelumnya. Dokter RSCM yang menangani Adya cukup terkejut dengan apa yang
dilakukan dokter sebelumnya. Setelah di diagnosa melalui radiologi nuklir
ternyata ditemukan kebocoran sebanyak dua lubang di bagian usus Adya. Dokter pun
memutuskan untuk mengoperasi dengan pemasangan alat CVP (Central Vena Presure).
Ternyata pemasangan alat
yang dilakukan dokter sebelumnya, berakibat fatal dan menyebabkan kematian
Adya. Pemasangan alat melalui jarum suntik berukuran besar itu yang dilakukan
melalui pembiusan itu ternyata tidak berhasil. Darah mengalir sesaat jarum
suntik itu ditusuk ke tabung CVP dan membuat Adya semakin kritis. Alat itu
ternyata, menurut Indra dipasang tidak pada tempatnya. "Darah yang muncrat
adalah darah segar yang berasl dari arteri jadi bukan masuk ke vena,"
katanya. Adya menghembuskan nafas terakhirnya 10 menit kemudian.
Suami almarhumah Adya
Vitry Harisusanti, yaitu Indra Syafri Yacub, kemudian menggugat Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Pelni Petamburan (Pelni) dan Rumah Sakit
Palang Merah Indonesia (PMI), yang dianggapnya telah melakukan malpraktik.
Ketiga Rumah Sakit tersebut juga dilaporkan ke Menteri Kesehatan dengan tuduhan
telah melakukan pelanggaran Peraturan Menteri Kesehatan. RSCM dan RS PMI Bogor
diadukan karena tidak memberikan isi rekaman medis kepada Indra Syafri Yacub.
Sedangkan RS Pelni Petamburan diadukan karena salah satu dokternya tidak
melakukan rekaman medis saat almarhumah Adya Vitry Harisusanti dirawat disana.
Pada 30 September 2004,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan malpraktek yang dilayangkan
terhadap tiga rumah sakit. Majelis hakim yang diketuai Cicut Sutiarso menilai
gugatan malpraktek yang diajukan Indra Syafri Yacub, suami korban yang bernama
Adya Vitry Harisusanti terhadap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah
Sakit Pelni Petamburan (Pelni) dan Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI),
terlalu prematur. "Sampai diajukannya gugatan, belum dilakukan pemeriksaan
ataupun otopsi atas diri pasien tersebut sehingga belum diketahui sebab-sebab
kematiannya," kata Sugito, salah satu hakim anggota saat membacakan
putusan tersebut di PN Jakarta Pusat, Kamis (30/9). Menurut hakim, penting
untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas gugatan perbuatan melawan hukum
itu. Penasihat hukum Indra, Erna Ratnaningsih menilai majelis hakim tidak
mempertimbangkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang diajukan pihaknya. Selain itu
ia menilai dalam gugatan perbuatan hukum, otopsi bukanlah satu-satunya alat
bukti. "Tidak ada seorang ahli pun mengatakan otopsi harus
dilakukan," katanya. (Tempo Interaktif, 30 September 2004)
3. Kasus
Fellina – Pasien Sudah Kritis Baru Dibawa Ke Rumah Sakit
Pada tanggal 18 Agustus
2004, Keluarga Fellina Azzahra, 16 bulan, melaporkan dokter Rumah Sakit Karya
Medika Cibitung ke Polda Metro Jaya terkait malpraktek. Laporan disampaikan
oleh orang tua Fellina, Masriah dan Iwan Pahriaman. Kasus ini bermula dari operasi
pada bulan Januari lalu untuk mengobati keluhan sakit yang diderita Fellina
pada perutnya. Saat itu, menurut Masriah, usus anaknya didiagnosis mengalami
tumpang tindih, akibatnya terjadi pembusukan usus sepanjang beberapa cm. Namun,
operasi yang dilakukan menyebabkan usus besarnya juga keluar.
Fellina, yang memiliki
berat 5,5 kg, tampak sangat kurus dan terus menangis karena kesakitan. Di
sekitar perutnya, masih tampak bercak merah, khususnya di sepanjang jahitan.
Sementara kantong plastik harus selalu diikatkan ke perutnya untuk menampung
sari makanan yang keluar dari ususnya. Ibunya selalu membawa sekitar 10 kantong
plastik kecil untuk mengganti setiap kantong plastik yang sudah penuh dengan
cairan makanan.
Rumah Sakit (RS) Medika
Cibitung membantah melakukan tindakan malpraktek terhadap bocah bernama Fellina
Azzahra, 16 bulan. Rumah sakit menganggap keluarga pasien tidak menuruti saran
yang dianjurkan. Selain itu, makin parahnya kondisi pasca operasi sehingga usus
bocor karena keluarganya tidak rutin memeriksakan ke RS.
Dokter Ottman yang
menangani Fellina tetap bersikukuh tindakan penanganan terhadap pasien sudah
benar. Operasi yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 2004 sekitar pukul 01.00
wib ketika pasien dalam keadaan darurat. "Dilakukan empat jam setelah
pasien masuk," kata dr. Ottman Nasution.
Ottman menjelaskan
Fellina dioperasi karena ususnya mengalami pembusukan. Diakui dr. Ottman, saat
tindakan operasi, kondisi Fellina kurang sehat. Karena kondisi darurat, medis
memutuskan tetap mengoperasi. "Saat itu, kondisi tubuhnya kurang sehat. Kenapa
berat badannya cuma 6 kilo untuk bayi sembilan bulan," ungkap Ottman.
Operasi dinyatakan
berhasil, beberapa sentimeter ususnya dibuang. Setelah dioperasi dan dijahit,
keluarga itu sempat dirawat di RS. Pada 31/1, pasangan suami istri Iwan
Pahriwan, 36 tahun dan Masriyah, 30 tahun memutuskan untuk pulang ke rumah
karena sudah tidak memiliki biaya untuk bertahan di rumah sakit.
Dokter Ottman
menegaskan, persoalannya sebenarnya bukan kesulitan biaya. Rumah sakit
menyalahkan keluarga Fellina yang tidak secara rutin seminggu sekali datang ke
rumah sakit. "Ini bukan masalah uang. Saya anjurkan dia datang setiap
minggu. Kalau enggak bayar enggak apa-apa kok," kata dia. Rumah sakit
mengakui memang waktu itu mengenakan uang Rp 12 juta ke keluarga Fellina untuk
biaya operasi dan perawatan.
Fellina kemudian
dipindahkan ke RSCM. Namun, pada 7 September 2004 Fellina meninggal dunia. Hal
yang mengejutkan ialah Fellina dikatakan meninggal dunia karena penyakit
campak. Padahal, pada saat dimasukkan ke RSCM tidak ada indikasi penyakit
campak tersebut. (Tempo News Room, 7 September 2004) Orangtua Fellina mengakui
bahwa anaknya sudah dirawat oleh pihak RSCM selama sekitar 15 hari mulai dari
perawatan secara intensif di ruang ICU hingga ke ruang kontrol pasien yang
lebih khusus selama menjalani perawatan. Ia juga mengatakan apa yang dilakukan
pihak rumah sakit membuat berat anaknya meningkat hingga mencapai 7,5 kilogram
dan bisa dilakukan operasi pada ususnya yang terbuka pascaoperasi di rumah
sakit Karya Medika Cibitung, Jakarta Timur. Namun pada tanggal 15 September
2004, Ia tetap melaporkan pihak RSCM ke Polda Metro Jaya, karena dianggap
melakukan pembiaran sehingga anaknya meninggal di Rumah Sakit tersebut. (Tempo,
15 September 2004)
4. Kasus
Lucy M Sudrajat – Penolakan Pemberian Rekam Medis
Seorang dokter di Rumah
Sakit Yayasan Pemeliharaan Kesehatan (YPK) bernama Dwiana Ocviyanti dilaporkan
oleh Dody Sudrajat dengan tuduhan telah melakukan kelalaian yang menyebabkan
meninggalnya istri Dody, Lucy Maywati Sudrajat yang dioperasi caesar di rumah
sakit tersebut. Pasal yang dikenakan adalah pasal 359 KUHP tentang kelalaian
yang menyebabkan orang lain meninggal. Dalam perkembangannya, Dody kembali
melaporkan dr. Dwiana ke polisi dengan tuduhan telah melakukan
penggelapan (Pasal 372 KUHP). Kejadian yang memicunya adalah tidak diberikannya
rekam medis (medical record) almarhumah istrinya oleh pihak Rumah Sakit.
Kasus ini diawali pada
tanggal 24 April 2003. Saat itu istri Dody yang diperiksa dr. Dwiana dinyatakan
harus segera masuk Rumah Sakit YPK. Menurutnya, "Saya tidak diberi pilihan
dan tidak tahu fasilitas yang tidak dimiliki rumah sakit tersebut." Selang
satu hari, pada 25 April 2003, ia tidak mendapat informasi harus menandatangani
konfirmasi bersedia agar istrinya dioperasi caesar. Malah pada 26 April 2003,
pukul 7 pagi, empat dokter rumah sakit tersebut langsung mengoperasi istrinya
dan putrinya lahir selamat. Namun, saat itu, ia diinformasikan keadaan istrinya
gawat dan akhirnya mengalami henti jantung. Ia kemudian diminta untuk membawa
istrinya ke rumah Sakit Thamrin; namun disana nyawa istrinya tidak tertolong
lagi. (Tempo News Room, 7 Juli 2004)
Kuasa Hukum dr. Dwiana,
Retno Murniati, menyatakan pihaknya tidak memberikan rekam medis kepada Dody
karena berpegang pada Peraturan Menteri Kesehatan no 749A/ Menkes/ Per/ XII/
1985 tentang Medical Record dan Surat Edaran Dirjen Pelayanan
Medis No 78 tahun 1991 tentang catatan medis pasien. Dalam kedua aturan itu,
menurutnya, rekam medik adalah milik rumah sakit. Pasien, katanya, bisa
mendapatkan resume rekam medik bila memintanya. "Ini sudah saya katakan
kepada kuasa hukum Pak Dody. Lisan dan tertulis," katanya. Resume itu,
kata Retno, bisa ditambahkan, bila dirasakan masih ada informasi yang kurang.
"Tapi aslinya milik rumah sakit," katanya. Ia sendiri mengatakan
tidak memberikan foto kopi rekam medik itu, karena dalam peraturan sudah
ditentukan yang bisa diberikan hanyalah resumenya saja. Menurut Retno, rekam
medik hanya bisa diberikan bila hakim melalui pengadilan memutuskan harus
diberikan kepada pasien. Tetapi, pendapat Retno tersebut dibantah oleh Rahil
Jerdena Liputo dari Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan. Menurut Rahil pihak
keluarga berhak mengetahui catatan medis tersebut, karena itu sudah diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 585 tahun 1989.
5. Kasus
Ade Irma Effendi – Dugaan Kelalaian Oleh Perawat
RS Siloam Gleaneagles
dilaporkan ke polisi oleh Ade Irma Effendy (37). Ade mengatakan bahwa Ia
mengalami keguguran setelah ditangani dan diberi obat oleh pihak rumah sakit.
Ade menduga, RS Siloam melakukan malpraktik.
Sebagaimana dilaporkan
dalam Tempo Interaktif, 1 Juni 2004, kasus ini berawal ketika ibu beranak satu
itu memeriksa kandungannya ke dokter Anthonius Heri yang membuka praktek di
salah satu apotik di kawasan Bumi Serpong Damai. Saat memeriksa kehamilan
keduanya yang berusia 15 minggu, Ade mengeluhkan adanya flek merah pada celana
dalam kepada dokter tetap keluarganya itu.
Melihat kondisi Ade yang
lemah, Anthonius menyarankannya untuk diperiksa lebih lanjut ke RS Siloam. Saat
dilakukan pemeriksaan dengan ultra sonografi di RS Siloam pada 16 April 2004
malam, pihak dokter yang juga terdapat dokter Anthonius itu menyatakan,
kandungan korban dalam kondisi baik dan sehat. Tapi, untuk menguatkan
kandungan, dokter menawarkan Ade untuk beristirahat di rumah sakit atau di
rumah. "Karena tidak ingin terjadi apa-apa, saya memilih dirawat di rumah
sakit saja," kata Ade.
Setelah Ade dimasukkan
ke ruangan bersalin, salah satu perawat langsung memberi infus. Walau tidak
didampingi seorang dokterpun, si perawat mengatakan, infus diberikan
berdasarkan saran dokter Anthonius. Sekitar 15 menit kemudian, obat bereaksi
dan kandungan Ade mengalami kontraksi. Alhasil, janin bayi dalam kandungan Ade,
keluar yang mengakibatkan kelahiran premature (abortus terancam) dan meninggal
dunia. Ketika kasus ini ditanyakan kepada tim perawat yang menangani Ade,
mereka mengemukakan kepada polisi bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuai
dengan perintah dokter, yaitu Anthonius Herri.
Pihak RS Siloam sendiri
membantah telah terjadinya malpraktik. "Tidak benar, pihak rumah sakit
melakukan mal praktek. Abortus Imenen (aborsi dalam proses)
terhadap pasien, dikarenakan kondisi dan situasi pasien yang saat itu memang
membutuhkan perawatan intensif. Tidak benar, pasien mengalami keguguran setelah
meminum obat yang diberikan dokter. Karena pemberian obat selalu diberikan
sesuai dengan petunjuk dokter dan diagnosa juga dilihat dari kondisi
pasien," kata Manajer Operasional RS Siloam, Andre.